Juli 09, 2016

LELANG BERDASARKAN PASAL 6 UUHT “BATAL DEMI HUKUM”


MOCH. ANSORY
Direktur Eksekutive LPK KOMNAS PK-PU INDONESIA
Direktur Eksekutif
ENTITAS HUKUM INDONESIA

     Menurut Direktur Eksekutive LPK KOMNAS PK-PU INDONESIA (MOCH. ANSORY) Eksekusi jaminan Hak Tanggungan merupakan langkah terakhir yang dilakukan kreditor selaku penerima Hak Tanggungan apabila debitor selaku pemberi Hak Tanggungan cidera janji melalui Pasal 6 UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah serta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah. 
     Menurut ketentuan dalam Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut dinyatakan apabila debitor wanprestasi (cidera janji), maka pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak untuk menjual obyek hak Tanggungan atas kekuasan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. 
     Pelaksaan lelang melalui Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan yang  tanpa melalui pertolongan hakim ataupun tanpa fiat eksekusi dari pengadilan. Secara teoritis pasal tersebut terkendala dengan Pasal 26 Undang-Undang Hak Tanggungan.
      Pelaksanaan lelang eksekusi obyek Hak Tanggungan berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggngan di KPKNL diseluruh Indonesia dalam praktek berpedoman pada ketentuan Undang-Undang Hak Tanggugan dan faktor-faktor yang menjadi kendala dalam pelaksanaan lelang eksekusi berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan dan penyelesaiannya, berakibat  Sangat merugikan dan Menyengsarakan Masyarakat Indonesia khususnya yang sedang mengalami problem ekonominya yang terganggu (kurang beruntung). 
     Moch. Ansory menjelaskan Selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 14 UUHT, peraturan mengenai eksekusi hypotheek yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini, berlaku terhadap eksekusi hak tanggungan.
     Sehingga untuk “sementara” sebelum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur eksekusi Hak Tanggungan, maka eksekusi Hak Tanggungan didasarkan pada ketentuan Pasal 224 HIR. 
  Merujuk Sikap Tegas pengadilan dalam hal ini Mahkamah Agung (MA), Pengadilan tidak membenarkan penjualan objek hipotik oleh kreditur melalui lelang tanpa ada fiat dari pengadilan negeri setempat. Putusan MA No. 3021 K/Pdt/1984 tertanggal 30 Januari 1984 Dalam putusan ini  MA menyatakan berdasarkan Pasal 224 HIR pelaksanaan lelang akibat grosse akte hipotik yang memakai irah-irah seharusnya dilaksanakan atas perintah ketua pengadilan negeri.
    Pemerintah menjawab pertanyaan dan  kerisauan kalangan perbankan melalui pengesahan  Undang-Undang No. 4  Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.
    Berdasarkan aturan ini jika debitur wanprestasi, maka objek hak tanggungan dijual melalui pelelangan umum untuk pelunasan piutang pemegang hak tanggungan dengan hak mendahului kreditur lain. 
     Jadi, melaksanakan eksekusi hak tanggungan bisa batal demi hukum apabila tidak memenuhi syarat.     
    Pertama, penjualan objek hak tanggungan bisa dilakukan di bawah tangan berdasarkan kesepakatan  pemberi dan pemegang hak tanggungan.
     Kedua, penjualan hanya dapat dilakukan setelah lewat satu bulan sejak pemberitahuan oleh pemberi atau  pemegang hak tanggungan kepada pihakpihak berkepentingan. Pemberitahuan juga harus ditambahkan pengumuman minimal di dua media massa. Ketiga,tidak ada pihak yang keberatan.  Persoalannya, debitur tak selamanya  menerima begitu saja eksekusi.
     Debitur melakukan perlawanan. Jika perlawanan ini diterima,  pengadilan akan memprosesnya sebagai perkara biasa. Hal ini akan menyita waktu, tenaga dan biaya bagi perbankan. Kalau UU Hak Tanggungan tetap  tak menjawab kerisauan kalangan perbankan,perlu adanya pengajuan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. 
     Berdasarkan Pasal 6 UU Hak Tanggungan, jika debitur cedera janji atau wanprestasi, pemegang hak tanggungan  pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum. Pelunasan piutang diambil dari hasil lelang. Inilah yang lazim disebut parate eksekusi. Rumusan ini  berasal dari Pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata.
     Merujuk rumusan Pasal 6 UUHT, proses  eksekusi dilakukan tanpa campur tangan atau melalui pengadilan. Dengan kata lain, tak perlu meminta fiat Inilah yang dalam praktik bisa  membingungkan. Memang, sebagian besar ketua pengadilan menganut prinsip eksekusi harus melalui fiat ketua pengadilan, yang berarti mengesampingkan rumusan Pasal 6 UUHT Tetapi, tetap saja sering timbul hambatan dan persoalan hukum di lapangan.
     Salah satu penyebab adalah putusan MA No. 3021/K/Pdt/1984 tertanggal 30 Januari 1984 yang menyatakan parate eksekusi  yang dilakukan  dengan meminta persetujuan ketua pengadilan negeri meskipun didasarkan Pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata adalah perbuatan melawan hukum dan  lelang yang dilakukan menjadi batal. 
     Apabila rasio pertimbangan MA dalam putusan tadi diikuti, maka fungsi dari janji untuk menjual  atas kekuasaan sendiri (yang menyangkut hak tanggungan menurut Pasal 6 jo Pasal 11 ayat (2) huruf  e UU Hak Tanggungan) menjadi kehilangan makna. Sebab, ciri pokok dari parate eksekusi berdasarkan janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri adalah eksekusi dilakukan tanpa fiat ketua pengadilan. Kalau tetap harus ada fiat, parate eksekusi sama saja dengan eksekusi pada grosse akte hipotik dan surat utang yang mempunya titel eksekutorial.  Telah terjadi pergeseran pengertian parate eksekusi menurut doktrin.
    Namun pelaksanaan eksekusi objek hak tanggungan yang masih memerlukan fiat ketua pengadilan bukanlah merujuk  pada putusan MA tadi, melainkan tersirat dari Pasal 26 UU Hak  Tanggungan dan penjelasannya.
     Sertifikat Hak Tanggungan memuat irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG YAHA ESA",dengan demikian sertipikat hak  tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan  putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui tata cara dan menggunakan lembaga parate eksekusi sesuai dengan peraturan Hukum Acara Perdata Indonesia. Eksekusi Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 20 Ayat (1) huruf b Jo Pasal 14 Undang-undang Hak Tanggungan ini memerlukan campur tangan pengadilan. Hal ini disebabkan karena masih adanya pandangan bahwa pelaksanaan eksekusi berdasarkan Pasal 6 jo Pasal 11 Ayat (2) huruf e tetap memerlukan ijin/fiat eksekusi pengadilan.
     Menurut Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 23/12/BPPP tanggal 28 Pebruari 1991, upaya-upaya penyelamatan kredit yang dapat dilakukan oleh bank adalah sebagai berikut : a) Penjadwalan kembali (Rescheduling), yaitu dengan melakukan perubahan syarat-syarat perjanjian kredit yang berhubungan dengan jadwal pembayaran kembali kredit  atau jangka waktu kredit, termasuk grade period atau masa tenggang, baik termasuk perubahan besarnya jumlah angsuran atau tidak.
     b) Persyaratan kembali (Reconditioning), dengan melakukan perubahan atas sebagian atau seluruh syarat-syarat perjanjian kredit, yang tidak hanya terbatas pada perubahan jadwal angsuran dan atau jangka waktu kredit saja. Namun perubahan tersebut tanpa memberikan tambahan kredit atau tanpa melakukan konversi  atas seluruh atau sebagian dari kredit menjadi perusahaan.
     c) Penataan kembali (Restructuring) yaitu suatu upaya dari bank yang berupa melakukan perubahan-perubahan syarat-syarat perjanjian kredit yang berupa pemberian tambahan kredit, atau melakukan konversi atas seluruh atau sebagian dari kredit menjadi  equity perusahaan, yang dilakukan dengan atau tanpa Rescheduling dan atas Reconditioning.
   Pada akhir Penjelasannya Direktur Eksekutive KOMNAS PK-PU INDONESIA menghimbau, Masyarakat yang assetnya dilelang tanpa Fiat Ketua Pengadilan disarankan melakukan upaya hokum Perlawanan di Pengadilan Negeri dimana domisili Bank (Tergugat) berkantor (Ansory. Red).
(http://entitas-hukum-indonesia.blogspot.co.id/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar