Mei 06, 2015

Koruptor Juga Layak Ditembak Mati


MyPassion
Ilustrasi
 
Anggota Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Abdul Aziz Khafia menyampaikan apresiasi terhadap sikap pemerintahan Joko Widodo, yang tetap mengeksekusi mati delapan bandar narkoba. "DPD layak menyatakan apresiasi terhadap sikap pemerintah yang telah mengeksekusi mati delapan bandar narkoba di tengah tekanan banyak pihak," kata Abdul Aziz Khafia, dalam Dialog Kenegaraan "Indonesia Darurat Narkoba", di Gedung DPD, kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Rabu (29/4). Menurut senator asal DKI Jakarta itu, peristiwa tersebut hendaknya dijadikan momentum bagi bangsa sebagai pintu masuk untuk konsisten dalam memberantas penyalahgunaan narkoba.
Eksekusi mati, sambung Abdul Aziz, lebih merupakan sikap reaktif terhadap posisi Indonesia yang saat ini menjadi negara pengguna, pengedar sekaligus produsen narkoba. "Untuk menghadapinya, pemerintah harus punya sikap mengantisipasi. Eksekusi tersebut lebih berbentuk reaktif belaka. Tanpa langkah antisipasi, kejadian serupa akan tetap terulang," tambah Abdul Aziz.
Selain itu, Abdul Aziz juga merumuskan dua masalah lainnya yang juga sangat mengancam kelangsungan bangsa. "Narkoba, jelas merusak generasi muda. Tapi teroris dan korupsi juga sangat berbahaya. Karena itu, pelaku teroris dan koruptor juga layak dihukum mati,"  tegas Abdul Aziz.
Sementara itu, Presiden Filipina, Benigno Aquino III menyampaikan ucapan terima kasihnya kepada  pemerintah Indonesia karena menunda eksekusi mati atas Mary Jane Veloso, salah satu terpidana mati kasus narkoba yang sempat menjalani isolasi di Pula Nusakambangan. Filipina meyakini penundaan itu akan membuka sindikat narkoba dan perdagangan manusia yang menjerat Mary Jane. Dalam sebuah pernyataan, Juru Bicara Istana Malacanang, Herminio Coloma Jr menyatakan, kini Mary Jane akan punya kesempatan untuk buka-bukaan tentang pihak yang telah merekrutnya.  “Ini bisa menjelaskan bagaimana sindikat menipunya menjadi antek kejahatan tanpa sepengetahuannya untuk menjadi kurir narkoba,” katanya seperti dikutip Phillipine Star.
Sedianya, Mary Jane masuk dalam 9 nama terpidana mati yang dieksekusi di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, Rabu (29/4) dini hari. Namun, sehari sebelum pelaksanaan eksekusi, Presiden Benigno meminta pemerintah Indonesia menunda pelaksanaan eksekusi atas Mary Jane, karena kesaksiannya dibutuhkan untuk membongkar sindikat kejahatan yang tengah diusut aparat penegak hukum di Filipina.
Keputusan Presiden Joko Widodo menunda eksekusi mati atas Mary Jane pun membuat lega Filipina. Harapan pemerintah Filipina keadilan juga menghampiri Mary Jane jika kelak sindikat yang memanfaatkannya terbongkar seluruhnya.
“Saya akui rasa keadilan mereka (Indonesia, red) dalam menilai informasi baru yang kami sediakan, dan dalam pemahaman bahwa Mary Jane adalah orang yang pergi ke negeri mereka (Indonesia) untuk mencari kehidupan dan kesempatan yang lebih baik, dan yang paling mungkin adalah dimanfaatkan oleh sindikat kejahatan,” ujar Coloma.
Pemerintah Indonesia menunda eksekusi atas Mary Jane pada menit-menit terakhir setelah ada permintaan dari Presiden Filipina, Benigno Aquino III. Dasarnya adalah pengakuan seorang wanita bernama Maria Cristina Sergio yang merasa bertanggung jawab atas kasus yang menjerat Mary Jane. Cristina yang merekrut Mary Jane menyerahan diri ke markas kepolisian Provinsi Nueva Ecija di Kota Cabanatuan,  Selasa (28/4) pagi untuk meminta perlindungan. Wanita yang punya nama lain Tintin itu tercatat sebagai warga Talavera di Nueva Ecija. Maria menyerahkan diri bersama pasangannya,  Julius Lacanilao sekitar pukul 10.30, Selasa (28/4).
Kepala Kepolisian Luzon, Superintenden Ronald Santos menjelaskan, pasangan itu mendatangi kepolisian dengan ditemani ayah Julius yang bernama Ramon. Berdasarkan pengakuan ke polisi, Cristina mengaku mendapat ancaman pembunuhan melalui telepon seluler dan akunnya di Facebook.
“Dia sering mendapat panggilan telepon yang mengucapkan kata-kata buruk padanya  dan anggota keluarganya,” kata Santos seperti dikutip The Philippine Star. “Dia muncul secara sukarela ke kantor polisi demi alasan keamanan, termasuk keluarganya.” Kini, Maria bersama pasangannya, Julius Lacanilao menghadapi tuduhan melakukan perekrutan tenaga kerja ilegal, perdagangan manusia dan penipuan. Selain Maria dan Julius, kasus itu juga melibatkan seorang pria asal Afrika bernama Ike.
Jaksa Agung Filipina, Claro Arellano mengatakan, pihaknya akan melakukan gelar perkara pendahuluan kasus itu pada 8 dan 14 Mei yang akan datang. Namun, Maria kini masih dalam penanganan kepolisian karena merasa nyawanya terancam.
Biro Investigasi Nasional (NBI) Filipina yang berada di bawah Departemen Kehakiman menyatakan, Mary Jane merupakan korban perekrutan ilegal dan perdagangan manusia. “Mary Jane tidak tahu bahwa ada obat terlarang di dalam bagasi yang dibawanya dan dia adalah korban penipuan serta manipulasi oleh perekrut ilegal,” tulis NBI dalam laporannya. (http://manadopostonline.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar