Eksekusi
Sumiarsih dan Sugeng—sudah dilakukan pada Juli 2008. Postingan ini sengaja saya ambil
dari Jawapos—karena ceritanya sungguh menarik. Ketika kejadian
pembunuhan terencana 20 tahunlalu, saya baru berumur 7 tahun—tentu belum
tahu apa-apa.
Dan, ketika membaca cerita dibalik eksekusi dan
pembunuhan—sangat sadis (dalam pikiran saya..)—sungguh saya sangat tidak
percaya. Kenapa, sangat tega membunuh satu keluarga. Sudah kemana akal
sehat orang-orang tersebut.
Terlebih, Sunarsih—istri Letkol (Mar) Purwanto—sedang
hamil. Kemana ya perasaan “5 orang biadab” itu (maaf kalau kata-katanya
berlebihan). Tapi, sekali lagi, tulisan yang ditulis oleh Jawa
Pos—betul menggugah dan sangat menarik sekali. Berikut tulisan para
wartawan Jawa Pos yang saya ambil dari http://www.jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=12885
SURABAYA - Sumiarsih dan Sugeng,
terpidana mati kasus pembunuhan keluarga Letkol (Mar) Purwanto pada
1988, akhirnya dieksekusi tadi malam. Sekitar pukul 24.00 nyawa ibu dan
anak itu lepas dari raga di hadapan regu tembak Brimob.
Sekitar
pukul 23.45, enam mobil yang diyakini membawa Sumiarsih dan Sugeng
keluar dari Rutan Medaeng. Tidak jelas di mobil yang mana Sumiarsih dan
Sugeng dibawa karena semua kaca gelap.
Bukan hanya itu. Untuk mengecoh wartawan yang terus
menguntit, lima unit di antara enam mobil Panther dan Kijang itu
dipasang nopol sama, yakni W 567 MM. Warna mobil juga hanya dua. Yakni,
empat silver dan dua hitam.
Iring-iringan mobil tersebut masuk tol Waru menuju
arah Surabaya. Keenam mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Setelah itu,
tak bisa diketahui ke arah mana mereka. Jawa Pos yang terus menguntit salah satu mobil akhirnya kehilangan jejak di kawasan Tandes.
Sebelum itu, besar kemungkinan ada di antara enam
mobil itu yang keluar tol Gunugsari dan Satelit. Sekitar pukul 00.15,
dua mobil dengan ciri-ciri sama masuk halaman Mapolda Jatim di Jalan A.
Yani.
Lapangan tembak polda memang menjadi salah satu alternatif tempat eksekusi. Tempat lain adalah Mako Brimob di Nginden.
Dokter Rutan Medaeng dr M. Saiful mengatakan, sebelum
kedua terpidana mati itu dimasukkan mobil, Saiful sempat memeriksa
kondisi kesehatan Sugeng. Sedangkan Sumiarsih diperiksa dr Sri M.
Batubara.
”Ketika diperiksa, kondisinya baik-baik saja. Relatif tidak tegang,” ujar Saiful.
Tapi, bisa juga keenam mobil itu hanya untuk mengecoh wartawan yang sejak tiga hari belakangan terus nyanggong di Rutan Medaeng. Sebab, sekitar pukul 22.30, Jawa Pos yang nyanggong di Mako Brimob Nginden mendengar tiga kali suara tembakan.
Sekitar 10 menit kemudian, sebuah ambulans keluar
dari markas tersebut. Kalau itu benar suara tembakan eksekusi, berarti
Sumiarsih dan Sugeng dibawa keluar rutan lewat pintu lain.
Sejak pagi, suasana Rutan Medaeng terlihat lebih
sibuk dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya. Polisi yang menjaga
jalan masuk rutan juga bertambah banyak. Jika sebelumnya hanya sekitar
sepuluh polisi, kemarin pagi ditambah menjadi satu peleton.
Semakin siang kesibukan menyiapkan eksekusi semakin
terlihat. Pada pukul 11.45, beberapa petugas mensterilkan akses masuk ke
rutan. Kendaraan roda empat yang terparkir di pinggir jalan dipindahkan
ke halaman Kantor Rupbasan yang lokasinya tidak jauh dari rutan.
Bahkan, mobil-mobil yang baru berdatangan dihalau
agar tidak parkir di lokasi pintu masuk rutan. Sebab, gerbang selatan
rutan, rencananya, menjadi akses masuk mobil yang akan membawa Sumiarsih
dan Sugeng.
Suasana tegang semakin terasa pada pukul 19.15.
Sekitar 20 personel dari unit tangkal yang mengenakan rompi khusus
berjaga-jaga di depan kantor rutan. Petugas lantas mensterilkan jalan
mulai depan rutan ke selatan hingga gerbang Kantor Rupbasan. Sepeda
motor dan pedagang di depan rutan diminta pindah.
Menjelang pukul 21.00, pendeta Gatot yang akan
memimpin kebaktian di dalam rutan datang bersama L. Sukarno, salah
seorang ulama. Tidak berselang lama, sekitar sepuluh petugas berpakaian
preman memasuki rutan.
Beberapa saat kemudian, rombongan jaksa pendamping
tiba di rutan dengan menggunakan mobil. Tampak jaksa Novika, Ariana
Juliastuti, beberapa rohaniwan, dan dokter memasuki rutan. Kedua jaksa
perempuan itulah yang akan mendampingi Sumiarsih hingga di lokasi
penembakan.
Pukul 22.15, beberapa mobil patwal yang tadinya
berada di lingkungan rutan meluncur ke jalan raya. Polisi memperketat
penjagaan di pintu keluar rutan. Puncak ketegangan terjadi pukul 23.45
ketika enam mobil dengan nopol yang sama keluar rutan secara
bersama-sama.
Sumiarsih dan Sugeng dieksekusi sesuai ketentuan
Undang-Undang Nomor 2 PNPS/ 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana
Mati. Sebelum dibawa ke tempat eksekusi, Sumiarsih dan Sugeng diberi
pakaian bersih dan sederhana serta didampingi seorang rohaniwan. Mereka
sudah ditunggu dua regu tembak yang siap sejak satu jam sebelumnya.
Regu tembak yang berasal dari pasukan Brimob Polri
itu dilengkapi 12 senjata laras panjang untuk anggota regu, sepucuk
senjata genggam (pistol) untuk bintara regu, dan sepucuk senjata genggam
plus sebilah pedang untuk komandan regu.
Setelah persiapan beres, jaksa (kepala kejaksaan
negeri atau jaksa eksekutor) menyaksikan komandan regu mengisi ke-12
pucuk senjata laras panjang. Pelurunya terdiri atas enam peluru tajam
dan enam peluru hampa. Anggota regu tak tahu senjata siapa yang
mengeluarkan peluru tajam dan menewaskan kedua terpidana.
Selanjutnya, jaksa memerintahkan regu pengawal (tiga
orang) membawa terpidana ke posisi penembakan. Borgol terpidana
dilepaskan dan diberi kesempatan menenangkan diri selama tiga menit
dengan didampingi rohaniwan.
Setelah semua siap, komandan pasukan menutup mata
Sumiarsih dan Sugeng dengan kain hitam. Untuk eksekusi mati, mata
terpidana memang harus ditutup, kecuali yang bersangkutan menolak. Tubuh
Sumiarsih dan Sugeng diikat pada tiang penyangga dalam posisi berdiri.
Sebelum dieksekusi, dokter memberi tanda hitam pada
baju yang dikenakan Sumiarsih dan Sugeng. Tanda tersebut persis pada
posisi jantung. Itulah yang menjadi sasaran penembakan.
Kemudian, jaksa memerintahkan regu tembak mengambil
posisi berhadapan dengan terpidana dengan jarak 5-10 meter. Jaksa
memerintahkan eksekusi kepada komandan regu. Sebagai tanda kepada
anggota, komandan regu mengacungkan pedang ke depan untuk isyarat
”siap”. Pedang diangkat ke atas untuk isyarat ”bidik” dan pedang
disentakkan ke bawah secara cepat untuk perintah tembak.
Tugas selanjutnya beralih kepada dokter dengan
memeriksa tanda-tanda kehidupan terpidana. Setelah keduanya dipastikan
meninggal, pasukan pengawal melepaskan ikatan, lalu dokter membuat visum
et repertum.
Pembunuhan Purwanto dan keluarga
Peristiwa pembunuhan yang menghebohkan Surabaya itu
terjadi pada 13 Agustus 1988. Saat itu, lima orang yang terdiri atas
Djais Adi Prayitno, 54; didampingi istri, Sumiarsih, 40; Daim, 27; Nano;
Sugeng (anak Sumiarsih), 24; dan Serda Pol Adi Saputra (menantu
Prayitno) mendatangi rumah Letkol Marinir Purwantodi Dukuh Kupang Timur
XVII Surabaya.
Kedatangan mereka pukul 10.00 itu dianggap kunjungan
biasa. Sebab, dua keluarga tersebut dikenal cukup akrab. Karena itu,
Purwanto yang juga Kepala Primkopal (koperasi milik Angkatan Laut) yang
sedang menunggu kelahiran anak keempat itu pun menemui mereka sendiri di
ruang tamu.
Ruang tamu sedang sepi. Tiga anak Purwanto tidak ada
di rumah. Haryo Bismoko (siswa kelas I SMA Trimurti) dan Haryo Budi
Prasetyo (siswa SD kelas VI) sedang bermain di depan rumah. Haryo
Abrianto mengikuti pendidikan di Akabri. Sunarsih, istri Purwanto yang
sedang hamil, memasak di dapur.
Setelah merasa aman, lima orang tersebut menghabisi Purwanto. Mereka memukul Purwanto dengan alu di
bagian belakang kepalanya. Perwira Marinir itu dikabarkan sempat
melawan. Sebab, ditemukan memar di beberapa bagian di tubuhnya. Selain
itu, tulang iga Purwanto patah.Tubuh tanpa nyawa Purwanto dibawa ke garasi.
Mendengar keributan itu, Bismoko dan Budi Prasetya
pun menuju garasi. Di sana mereka dipukul oleh Adi Saputra. Ternyata,
mereka malah berlarian sambil berteriak. Salah satu di antara mereka
kemudian ditangkap dan dipukul oleh Sugeng.
Sunarsih mendengar keributan itu. Bersama Sumaryatun,
keponakan Purwanto, dia masuk garasi. Di belakang mereka, Prayit dan
Sumiarsih sudah berjaga-jaga. Selanjutnya, Adi dan Sugeng menyambut
Sunarsih. Mereka berdua mencekik Sunarsih dengan alu. Sementara, Daim kebagian membunuh Sumaryatun.
Lengkap sudah. Lima orang tersebut tewas seketika.
Lima orang itu pun menyeret lima tubuh tak bernyawa ke garasi. Mereka
memasukannya ke mobil Daihatsu Taft milik korban.
Dari rumah, mobil berisi mayat itu dibawa dua orang
(Adi dan Sugeng) ke daerah Songgoriti, Batu. Mobil dan lima jenazah
dibuang seakan-akan korban kecelakaan. Malam harinya, ketika kabar
kecelakaan tersebut menyebar, Prayit menyiapkan skenario lain.
Sebelum mayat dibawa ke rumah duka, Prayit
mempersiapkan rumah Purwanto. Dia membersihkan, menata kursi, dan
menyuruh orang-orang untuk mengganti lampu neon.
Anak pertama Purwanto, Haryo Abriyanto, pun datang.
Dia tampak terpukul dengan kejadian itu. Prayit sebagai kerabat dekat
keluarga itu ikut menenangkannya. Prayit-lah orang pertama yang membuka
peti mati para korban. Bahkan, dia masih bisa merekam gambar kedatangan
jenazah itu dengan kmera video. (http://renimaldini.wordpress.com)