Mei 06, 2015

Legitimasi Politik di Balik Eksekusi Terpidana Mati Narkoba

Legitimasi Politik di Balik Eksekusi Terpidana Mati Narkoba
facebook
Ronny Basista, M.Si 
 
KETIKA tersiar kabar eksekusi terhadap terpidana mati ditunda, berbagai sinyalemen bermunculan. Di antaranya, pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi dianggap takut terhadap tekanan negara asing, terutama negara yang warganya akan turut dieksekusi. Imbauan dunia internasional memang terasa cukup kencang.
Tak kurang para menteri luar negeri Australia, Brazil, Perancis dan Filipina sudah melakukan berbagai usaha diplomatik untuk mencegah terjadinya eksekusi hukuman mati. Bahkan, Presiden Brazil, Dilma Rousseff, menunjukkan ekspresi yang “kurang bersahabat” dengan menunda menerima surat kepercayaan (credential letter) dari pemerintah kita yang diserahkan Duta Besar Toto Riyanto. Sang Dubes pun dipanggil pulang ke Jakarta.
Puncaknya adalah saat Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Ban Ki-Moon, meminta Presiden Jokowi untuk menghentikan rencana eksekusi. Berbagai peristiwa diplomatik ini dihidangkan media melalui berita yang dramatis, dan dibumbui berbagai debat tanpa kusir di media sosial.
Jokowi menolak semua tuntutan yang menghendaki dibatalkannya hukuman mati terhadap terpidana narkoba itu. Sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap keselamatan warga negaranya, ia berdalih dengan tegas bahwa saat ini Indonesia berada pada level “darurat narkoba”. Hal ini (eksekusi) dianggap dapat mencegah semakin banyaknya peredaran narkoba di kemudian hari. Pada beberapa hari menjelang eksekusi, sang presiden bahkan tidak bersedia lagi menjawab pertanyaan wartawan seputar hal ini. Dan, eksekusi oleh regu tembak itu pun akhirnya menjadi kenyataan.
Peningkatan Kadar Legitimasi
Publikasi media mengenai isu ini begitu gencarnya. Di era saat ini, media bisa sangat menguntungkan dan sebaliknya bisa memerosokkan pamor seseorang. Sebagai politisi yang dibesarkan media, Jokowi dengan lihai “memanfaatkan” momen ini. Agenda politiknya selama ini selalu menarik diliput media, seperti inspeksi mendadak—atau yang kemudian dikenal dengan istilah blusukan¬—hingga masuk ke dalam got menjadi modal baginya membentuk citra peduli. Cara mendapatkan legitimasi melalui simbol ini tampaknya dioptimalkan betul oleh Jokowi.
Legitmasi merupakan penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak moral pemimpin untuk memerintah, membuat, dan melaksanakan keputusan politik. Hanya masyarakat saja yang dapat memberikan legitimasi pada kewenangan pemimpin yang memerintah. Agar kewenangannya berjalan optimal, pemimpin berupaya memastikan kadar legitimasinya di masyarakat tetap tinggi. Tanpa legitimasi yang tinggi, pemimpin akan kesulitan melaksanakan kebijakannya karena ia perlu dukungan masyarakat. Tanpa dukungan masyarakat, kewenangannya ikut luntur.
Dalam sosiologi politik, cara mendapatkan dan mempertahankan legitimasi bisa melalui tiga hal, yaitu simbolis, prosedural, dan materiil. Jokowi selama ini begitu optimal memainkan politiknya melalui aksi simbolis seperti inspeksi mendadak ke pasar-pasar, meninjau langsung pembangunan jalan dan jembatan, dan lain-lain termasuk turut berbasah-basahan bersama korban banjir. Aksi-aksi simbolik ini menciptakan imej sebagai figur yang merakyat. Hal inilah yang jarang dilakukan para pemimpin saat ini. “Untungnya” aksi simbolik ini diikuti dengan aksi nyata yang ditandai oleh berhasilnya dia menjalankan roda pemerintahan di Kota Solo.
Kini, di tengah mulai memudarnya pamor, akibat berbagai kebijakannya yang dinilai belum banyak berpihak kepada masyarakat, di samping berbagai janji kampanyenya yang belum terealisir, model simbolik ini coba dikedepankan lagi. Isu eksekusi ini telah memantik semangat patriotik di kalangan masyarakat. Mereka yang mendukung Jokowi maupun yang anti, pada umumnya mendukung eksekusi dan berharap pemerintah tidak takut pada tekanan dunia internasional. Mereka merasa akan dibuat bangga sebagai bangsa yang gagah dan berani ketika berhasil mengenyahkan tekanan itu. Gelora ini disambut dengan sangat baik oleh Jokowi. Tanpa disadari oleh penentangnya, hal ini justru meningkatkan kadar legitimasi pemerintahan Joko Widodo.
Pencegahan Dampak Buruk
Hukuman eksekusi sendiri bukanlah keputusan eksekutif melainkan yudikatif (pengadilan). Sorotan tertuju pada presiden selaku kepala negara yang memiliki kewenangan memberi pengampunan (grasi) namun menolak mengeluarkannya. Dengan dalih “darurat narkoba” maka hukuman mati akan menjadi ancaman serius bagi mereka yang berbisnis barang haram ini.
Bagaimanapun juga, selain negara dengan hukuman keras terhadap kasus narkoba, Indonesia juga dikenal sebagai negara dengan jumlah konsumsi narkoba yang besar. Pada era 1990-an, Menteri Agama Tarmizi Taher merintis kebijakan metode terapi klinik bagi konsumen narkoba, untuk menurunkan jumlah korban narkoba. Presiden Gus Dur juga menganggap persoalan narkoba ini masuk ranah kesehatan, bukan kriminal. Sementara itu, pada masa pemerintahan SBY, konsumsi narkoba mulai meningkat menjadi isu keamanan (security issue).
Tampaknya pemerintahan Jokowi mengedepankan strategi “pencegahan dampak buruk” dengan mengambil “jalan pintas” hukuman mati bagi pelaku narkoba. Kita tidak tahu persis apakah dengan kebijakan ini peredaran narkoba di negara ini menurun drastis di kemudian hari. Belum ada penelitian tentang hal ini. Yang jelas, sebanyak 60 persen dari 12.000-an narapidana di Jakarta saja merupakan kasus narkoba. Hal ini diperparah dengan lemahnya pengawasan di dalam penjara sehingga justru peredarannya di sana tidak terhentikan. Belum lagi jika kita melihat betapa jeleknya layanan kesehatan di penjara yang membuat penyebaran HIV di kalangan “penduduknya” semakin rentan.
So What?
Dengan kasus ini Indonesia dinilai akan menghadapi berbagai kerikil dalam hubungan luar negeri. Negara tetangga, Australia, sebelumnya telah menegaskan hal ini akan berdampak “serius” dalam hubungan diplomatik. Serius ataupun tidak, yang jelas saat ini di Australia sendiri tengah terjadi aksi “saling menyalahkan”. Senat Australia justru menyalahkan polisi federal (AFP) yang membiarkan Chan dan Sukumaran terbang ke Indonesia menjalankan aksi penyelundupan narkoba pada tahun 2005 silam.
Well, suka tidak suka, melalui isu ini legitimasi pemerintah perlahan mulai meningkat, sehingga dalam menjalankan kebijakan akan minim resistensi. Tentu, hal ini tergantung dinamika berikutnya. Oleh karena itu, ke depan, mestinya kita lebih kritis kepada persoalan-persoalan yang substansial ketimbang hal-hal simbolis. Spekulasi bahwa yang ditembak itu bukanlah narapidana melainkan gembel, seperti yang sedang gembor di media sosial, hanya membuat kita terkekeh, karena hampir sama dengan menuding pemerintah takut pada negara asing yang ternyata dimentahkan oleh eksekusi yang tetap dilakukan. Berlaku kritis itu substantif, dong. Ayo, bangun, jangan nyinyir terus. (*)
Penulis: Ronny Basista, M.Si
Dosen FISIP Universitas Terbuka Pekanbaru


Tidak ada komentar:

Posting Komentar