PERTANYAAN:
Assalamualikum Wr, Wb
Pak Rasyid yang terhormat, izinkan kami mengajukan beberapa pertanyaan sehubungan permasalahan Perdata Sengketa Lahan yang kami hadapi, perlu diketahui adalah saat ini proses hukum yang sudah kami jalani sampai pada keputusan Peninjauan Kembali ( PK ) yang kami menangkan, dan saat ini kami sedang dalam proses Eksekusi Lahan, yang mana sudah dilakukan permohonannya.
Adapun proses yang sudah berjalan adalah Surat Peringatan / Teguran telah disampaikan kepada Pihak yang kalah dalam kasus ini sebanyak 3 kali. Atas permintaan Pengadilan sebelum Eksekusi Paksa dilakukan kami diminta untuk berkordinasi dengan pihak BPN untuk dilakukan pengukuran lahan agar dapat di Inventarisasi bangunan yang akan di Eksekusi.
Namun karena ada Peraturan daerah Kab. Kukar yang menyatakan pelimpahan penyelesaian sengketa untuk surat berjenis SEGEL maka koordinasi dilakukan dengan Dinas Pertanahan Kukar Sehingga oleh pengadilan meminta BPN melakukan penyuratan resmi tentang hal tersebut kepada Pengadilan Negri Tenggarong. karena sebelumnya kami telah menginformasikan secara lisan kepada pengadilan perihal permohonannya ( pengadilan negri Tenggarong ) salah alamat ke BPN. perlu bapak ketahui alat bukti kami adalah Surat Tanah yang berbentuk SEGEL, Bukan Sertifikat.
Pak Rasyid yang terhormat, izinkan kami mengajukan beberapa pertanyaan sehubungan permasalahan Perdata Sengketa Lahan yang kami hadapi, perlu diketahui adalah saat ini proses hukum yang sudah kami jalani sampai pada keputusan Peninjauan Kembali ( PK ) yang kami menangkan, dan saat ini kami sedang dalam proses Eksekusi Lahan, yang mana sudah dilakukan permohonannya.
Adapun proses yang sudah berjalan adalah Surat Peringatan / Teguran telah disampaikan kepada Pihak yang kalah dalam kasus ini sebanyak 3 kali. Atas permintaan Pengadilan sebelum Eksekusi Paksa dilakukan kami diminta untuk berkordinasi dengan pihak BPN untuk dilakukan pengukuran lahan agar dapat di Inventarisasi bangunan yang akan di Eksekusi.
Namun karena ada Peraturan daerah Kab. Kukar yang menyatakan pelimpahan penyelesaian sengketa untuk surat berjenis SEGEL maka koordinasi dilakukan dengan Dinas Pertanahan Kukar Sehingga oleh pengadilan meminta BPN melakukan penyuratan resmi tentang hal tersebut kepada Pengadilan Negri Tenggarong. karena sebelumnya kami telah menginformasikan secara lisan kepada pengadilan perihal permohonannya ( pengadilan negri Tenggarong ) salah alamat ke BPN. perlu bapak ketahui alat bukti kami adalah Surat Tanah yang berbentuk SEGEL, Bukan Sertifikat.
Adapun pertanyaan kami adalah :
- Apakah langkah yang kami tempuh sesuai dengan permintaan pengadilan untuk dilakukan pengukuran ulang oleh pihak lain dalam hal ini BPN/Dinas Pertanahan sudah sesuai dengan SOP Permohonan Eksekusi Perdata menurut Undang-undang RI… ?? Karena sita jaminan sudah dilakukan sejak awal sebelum di sidangkan di pengadilan yang dalam bahasa Hukumnya sudah ditetapkan sebagai CONSERVATOIR BESLAG.
- Apakah ada Sanksi Hukum apabila Lahan yang sudah di tetapkan sebagai CONSERVATOIR BESLAG diperjual belikan, karena dalam kasus ini Lahan yang kami menangkan telah terjadi Jual Beli oleh pihak yang kalah, dan di ketahui oleh Pengadilan, karena telah melihat langsung di lapangan kondisi yang terjadi, dan tidak melakukan tindak apa-apa baik itu berupa teguran/peringatan secara lisan dan tulisan, sementara kami di minta untuk melakukan proses Eksekusi.
Demikian pertanyaan dan permasalahan
kami, sekiranya ada biaya yang timbul dari pertanyaan ini, kami
bersedia untuk menyelesaikannya atas niat baik kami karena kesediaan
Bapak membantu permasalahan yang kami hadapi.
Terimakasih atas kesediaan bapak meluangkan waktu dan kesempatannya
membaca email kami ini, Mohon maaf apabila ada tulisan kami yang tidak
berkenan pada bapak. Wassalamualaikum We, Wb
TertandaHAIRUDDIN BIN HAJI YAHYA
NB : Berikut kami Lampirkan Putusan PK yang kami menangkan
JAWABAN:
Wa’alaikum salam wr wb.
Saudara penanya yang kami hormati.
Terima kasih sebelumnya telah berkunjung ke website kami.
Saudara penanya yang kami hormati.
Terima kasih sebelumnya telah berkunjung ke website kami.
1. Paparan jawaban pertanyaan angka 1
Penggugat wajib menunjukkan barang objek sengketa.
Hukum membebankan kewajiban kepada Penggugat untuk menyebut secara jelas dan satu persatu barang objek yang hendak disita.
a. Tidak dibenarkan menyebut secara umum
Permintaan sita yang diajukan secara umum terhadap semua atau sebagian harta kekayaan Tergugat, dianggap tidak memenuhi sayarat. Meskipun pasal 1131 KUH Perdata menegaskan, segala harta kekayaan debitur menjadi tanggungan untuk membayar utangnya; tidak berarti permohonan sita semata-mata dilakukan secara umum tanpa menyebut satu per satu barang apa yang hendak disita. Permintaan sita yang demikian tidak terang, sebab tidak diketahui persis apa saja harta kekayaan tergugat, sehingga tidak jelas barang apa dan mana yang hendak disita.
b. Menyebut rici identitas yang melekat pada barang
Selain dirinci dan disebut satu persatu barang milik Tergugat yang hendak disita, rincian itu harus dibarengi dengan penyebutan identitas barang secara lengkap, meliputi:
– Jenis atau bentuk barang
– Letak dan batas-batasnya serta ukurannya dengan ketentuan, jika tanah yang bersertifikat, cukup menyebut nomor sertifikat hak yang tercantum di dalamnya
– Nama pemiliknya
– Taksiran harganya
– Jika mengenai rekening, disebut nomor rekeningnya, pemiliknya dan bank tempat rekening berada maupun jumlahnya
– Jika saham, disebut nama pemegangnya, jumlahnya, dan tempatnya terdaftar.
Permintaan sita yang tidak menyebut secara jelas identitasnya, dianggap merupakan permintaan yang kabur objeknya, sehingga tidak mungkin diletakkan sita. Terhadap permintaan seperti itu, cukup dasar alasan menolaknya.
Hakim atau Pengadilan tidak dibebani kewajiban untuk mencari dan menemukan identitas barang yang hendak disita, karena hal itu semata-mata menjadi beban yang dipikulkan hukum kepada Penggugat. Oleh karena itu, tidak ada dasar alasan bagi Penggugat meminta kepada Hakim agar mencari dan menemukan identitas barang yang hendak disita, karena penyitaan itu adalah untuk kepentingan Penggugat, maka dia yang mesti menyebut identitasnya secara terang dan pasti.
(sumber: M. Yahya Harahap S.H, Hukum Acara Perdata tentang gugatan, persidangan, penyitaan, pembuktian, dan putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, cet.8, 2008, h. 291).
Sebelum dilakukan sita terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan setempat
Berdasarkan pasal 153 HIR, pasal 180 RBG datau pasal 211 Rv, pemeriksaan setempat dapat diadakan berdasarkan hal berikut:
a. Oleh Hakim karena jabatannya
Hakim karena jabatannya, secara ex officio dapat menetapkan atau memerintahkan diadakan pemeriksaan setempat, apabila hal itu dianggapnya penting untuk mengetahui secara pasti keadaan yang berkenaan dengan objek gugatan. Sehubungan dengan itu, hakim perlu memperhatikan SEMA no.7 tahun 2001. Apabila dari hasil proses persidangan, terdapat kesan atau indikasi barang objek gugatan masih kabur, sangat tepat dan beralasan melaksanakan penggarisan SEMA melakukan pemeriksaan setempat, guna menghindari kesulitan pelasanaan eksekusi putusan di belakang hari.
b. Atas permintaan para pihak
Atas permintaan salah satu pihak maupun atas permintaan bersama kedua belah pihak, dapat dilakukan pemeriksaan setempat. Hak para pihak tentang ini ditegaskan dalam pasal 153 HIR, 180 RBG atau pasal 211 Rv, bahwa atas permintaan para pihak, dapat diadakan pemeriksaan setempat. Permintaan itu dapat diajukan salah satu pihak apabila pihak lawan membantah kebenaran letak, luas, atau batas-batas tanah objek sengketa. Maka untuk memperoleh kejelasan yang pasti, sangat penting dilakukan pemeriksaan setempat. Seperti yang dapat dilihat pada Putusan No.274 K/Sip/1976 maupun No.436 K/Sip/1974, hakim tingkat kasasi berpendapat, letak dan ukuran luas atau batas-batas tanah terperkara belum jelas dan pasti, sehingga dianggap sangat urgen melakukan pemeriksaan setempat.
(sumber: M. Yahya Harahap S.H, Hukum Acara Perdata tentang gugatan, persidangan, penyitaan, pembuktian, dan putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, cet.8, 2008, h. 782).
Berdasarkan tulisan tersebut di atas, maka tentunya SEGEL berbeda dengan SERTIFIKAT yang secara lengkap telah menyebutkan identitas objek sengketa. Untuk menentukan kejelelasan tersebut dilakukan pada saat pemeriksaan setempat, baik karena ex officio hakim atau permintaan para pihak.
Ketika sudah masuk ranah eksekusi, maka yang diikuti adalah sesuai bunyi amar Putusan PK Mahkamah Agung tersebut, yaitu menolak PK Pemohon peninjauan kembali, dst apakah ada atau tidak diperintahkan mengukur ulang kembali. Kesimpulannya pada pokoknya kembali kepada putusan Pengadilan Negeri Tenggarong tersebut sesuai dengan bunyi amarnya sebagaimana yang tertera.
Secara lebih mendalam, Kami tidak boleh mengomentari atau sampai menilai sebuah putusan, karena terkait dengan Kode Etik Pedoman Perilaku hakim, kami hanya dapat menjelasakan langkah yang harus dilakukan adalah mengikuti prosedur pelaksanaan eksekusi, antara lain:
1. EKSEKUSI RIIL TERHADAP PUTUSAN YANG TELAH BHT, PUTUSAN PROVISI, AKTA PERDAMAIAN PENGADILAN.
a. Adanya permohonan dari Pemohon (Pihak yang menang) dalam hal putusan telah berkekuatan hukum tetap baik putusan tingkat Pengadilan Negeri yang diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara, putusan perdamaian, putusan verstek yang terhadapnya tidak diajukan verzet atau banding, putusan Pengadilan Tinggi yang diterima oleh kedua belah pihak dan tidak dimohonkan kasasi dan putusan Mahkamah Agung dalam hal Kasasi
b. Selanjutnya Ketua Pengadilan negeri mengeluarkan Penetapan aanmaning/teguran terhadap pihak yang kalah untuk melaksanakan isi putusan yang berkekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 8 (delapan) hari setelah pihak yang kalah dipanggil untuk ditegur (8 hari adalah batas maksimum (Pasal 196 HIR atau Pasal 207 RBG)). dibuat berita acara aanmaning.
c. Apabila pihak yang kalah setelah ditegur tidak mau menjalankan putusan , Ketua pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan perintah eksekusi sesuai amar dalam putusan, dimana perintah menjalanan eksekusi ditujukan kepada Panitera atau Jurusita dan dalam pelaksanaannya apabila diperlukan dapat meminta bantuan kekuatan umum.
Dibuat berita acara pelaksanaan isi putusan.
2. EKSEKUSI RIIL TERHADAP PUTUSAN SERTA MERTA (UITVOERBAAR BIJ VOORRAAD)
a. Adanya permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri dari pihak yang menang dalam hal salah satu amar putusan dinyatakan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad), dimana putusan/perkara tersebut belum berkekuatan hukum tetap.
b. Selanjutnya apabila putusan/perkara masih dalam upaya hukum banding, maka sebelum putusan tersebut dijalankan, dimohonkan terlebih dahulu izin kepada Ketua Pengadilan Tinggi, apabila putusan/perkara masih dalam upaya hukum Kasasi, maka izin untuk pelaksanaan putusannya dimohonkan terlebih dahulu kepada Ketua Mahkamah Agung.
c. Setelah izin keluar, maka proses eksekusi mengikuti proses seperti yang telah dibahas diatas.
d. Dalam pelaksanaan eksekusi putusan serta merta ada syarat yang harus dipenuhi yaitu adanya pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/obyek eksekusi sehingga tidakmenimbulkan kerugian pada pihak lain apabila ternyata dikemudian hari dijatuhkan putusan yang membatalkan putusan pengadilan sebelumnya (SEMA NO. 3 Tahun 2000 Jo. SEMA No. 4 Tahun 2001)
3. EKSEKUSI PEMBAYARAN SEJUMLAH UANG TERHADAP PUTUSAN YANG TELAH BHT, PUTUSAN PROVISI, AKTA PERDAMAIAN PENGADILAN.
a. Proses pelaksanaan isi putusan pembayaran sejumlah uang mengikuti sebagaimana point Eksekusi Riil …..punt 1 s/d 2.
b. Selanjutnya setelah pihak yang kalah diaanmaning dan tidak juga melaksanakan isi putusan, maka Ketua Pengadilan mengeluarkan penetapan perintah untuk lelang eksekusi, dimana perintah ditujukan kepada Panitera atau Jurusita dan dalam pelaksanaannya dibantu oleh KPKNL (Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang).
c. Sebelum mengeluarkan penetapan Perintah Lelang eksekusi, Ketua Pengadilan Negeri berdasarkan permohopnan Pemohon terlebih dahulu menyita eksekusi obyek yang akan dilelang (Pasal 197 ayat (1) HIR) , apabila dalam putusan telah ada sita atau CB, maka CB secara otomatis menjadi Sita eksekusi.
d. selanjutnya dalam proses dan tata cara lelang mengikuti aturan yang diatur oleh Peraturan menteri Keuangan (Permenkeu) N0.93/PMK.06/2010.
4. EKSEKUSI TERHADAP GROSSE AKTA PENGAKUAN HUTANG
a. Kreditur pemegang grosse atas pengakuan hutang yang berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dapat langsung memohon eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan dalah hal debitur ingkar janji.
b. Berdasarkan permohonan dari kreditur dalam hal debitur ingkar janji Ketua Pengadilan Neg eri Bandung mengeluarkan Penetapan aanmaning/teguran agar dalam jangka waktu 8 (delapan) hari setelah ditegur debitur/Termohon Eksekusi memenuhi kewajibannya kepada kreditur/Pemohon Eksekusi (8 hari adalah batas maksimum (Pasal 196 HIR atau Pasal 207 RBG).
dibuat berita acara aanmaning.
c. Selanjutnya proses eksekusi mengikuti point pada Eksekusi pembayaran sejumlah uang…dst punt 2 s/d 4.
d. Eksekusi berdasarkan grosse akta pengakuan hutang hanya dapat dilaksanakan, apabila debitur sewaktu ditegur membenarkan jumlah hutangnya.
e. Apabila debitur membantahjumlah hutang tersebut dan besarnya hutang menjadi tidak fixed, maka eksekusi tidak bisa dilanjutkan. Kreditur, yaitu bank untuk dapat mengajukan tagihannya harus melalui suatu gugatan.
5. EKSEKUSI TERHADAP HAK TANGGUNGAN
a. Eksekusi Hak Tanggungan dilaksanakan seperti eksekusi pembayaran sejumlah uang terhadap putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum yang tetap.
b. Eksekusi dimulai dengan teguran dan berakhir dengan pelelangan yang dibebani Hak Tanggungan.
c. Setelah dilakukan pelelangan terhadap objek yang dibebani Hak Tanggungan dan uang hasil lelang diserahkan kepada Kreditur, maka Hak Tanggungan yang membebani obyek tersebut akan diroya dan diserahkan kepada pembeli lelang secara bersih dan bebas dari semua beban.
d. Apabila Debitur/Terlelang tidak mau menyerahkan obyek yang telah dilelang, maka berlaku ketantuan yang terdapat dalam Pasal 200 ayat (1) HIR.
e. Selanjutnya berdasarkan Pasal 200 ayat (1) HIR, pembeli lelang dapat memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk melaksanakan eksekusi pengosongan terhadap 8obyek lelang yang telah dibelinya dari penghunian debitur/Termohon Eksekusi atau siapapun yang mendapat hak dari padanya serta barang-barang yang ada didalamnya.
f. sebagai tindak lanjut dari permohonan tersebut, selanjutnya diproses eksekusi sebagaimana eksekusi riil terhadap Putusan BHT.
6. EKSEKUSI TERHADAP JAMINAN FIDUSIA
a. Mengenai Fidusia diatur dalam Undang-undang No. 42 tahun 1999.
b. Prosedur dan tata cara eksekusi dilakukan seperti dalam eksekusi Hak Tanggungan.
2. Paparan jawaban pertanyaan angka 2
a. Penjagaan barang sita jaminan
Secara tegas diatur dalam pasal 508 Rv dan secara implisit pada pasal 197 ayat (9) HIR, bahwa dalam hal penjagaan sita jaminan barang tidak bergerak:
– Tersita menjadi penjaganya, dan
– Sifatnya demi hukum.
Berdasarkan aturan tersebut, maka yang wajib menjaga barang sitaan berupa barang tidak bergerak bukanlah kewajiban pengadilan, tetapi kewajiban pihak tersita, wajar saja pengadilan tidak mencampuri urusan tersebut apabila pihak tersita memindahtangankan atau memperjualbelikan barang sitaan,,,,, ketika ada laporan dari para pihak yang keberatan, maka barulah Pengadilan akan memproses sesuai aturan yang berlaku apakah secara perdata taukah secara pidana.
b. Boleh dipakai tersita
Hal ini juga diatur dalam pasal 508 Rv, dan dapat dijadikan pedoman kebolehan pemakaian barang sitaan, dengan syarat:
– Pemakaian tidak boleh berakibat pada turunnya harga barang sitaan atau habisnya barang sitaan dalam pemakaian
– Bila harganya turun, tergugat diancam membayar ganti rugi dan bunga
c. Hasil yang tumbuh setelah penyitaan
Sering timbul masalah mengenai haisl yang timbul dari barang sitaan. Pemecahan atas permasalah itu dapat dipedomani dalam pasal 509 Rv, yang menjelaskan ketentuan:
– Hasil tanah yang dikumpulkan setelah sita jaminan diumumkan atau siap hendak dikumpulkan, dianggap sebagai barang yang melekat pada objek sita jaminan
– Dan hasil tersebut merupakan bagian yang harus dibayar kepada penggugat bersama-sama dengan hasil penjualan lelang barang objek sita jaminan.
Berdasarkan hal-hal tersebut, perbuatan memindahtangankan /
memperjualbelikan barang sitaan dapat dituntut ganti rugi dan atau
apabila terdapat unsur pidananya seperti penggelapan dapat dipidanakan.Penggugat wajib menunjukkan barang objek sengketa.
Hukum membebankan kewajiban kepada Penggugat untuk menyebut secara jelas dan satu persatu barang objek yang hendak disita.
a. Tidak dibenarkan menyebut secara umum
Permintaan sita yang diajukan secara umum terhadap semua atau sebagian harta kekayaan Tergugat, dianggap tidak memenuhi sayarat. Meskipun pasal 1131 KUH Perdata menegaskan, segala harta kekayaan debitur menjadi tanggungan untuk membayar utangnya; tidak berarti permohonan sita semata-mata dilakukan secara umum tanpa menyebut satu per satu barang apa yang hendak disita. Permintaan sita yang demikian tidak terang, sebab tidak diketahui persis apa saja harta kekayaan tergugat, sehingga tidak jelas barang apa dan mana yang hendak disita.
b. Menyebut rici identitas yang melekat pada barang
Selain dirinci dan disebut satu persatu barang milik Tergugat yang hendak disita, rincian itu harus dibarengi dengan penyebutan identitas barang secara lengkap, meliputi:
– Jenis atau bentuk barang
– Letak dan batas-batasnya serta ukurannya dengan ketentuan, jika tanah yang bersertifikat, cukup menyebut nomor sertifikat hak yang tercantum di dalamnya
– Nama pemiliknya
– Taksiran harganya
– Jika mengenai rekening, disebut nomor rekeningnya, pemiliknya dan bank tempat rekening berada maupun jumlahnya
– Jika saham, disebut nama pemegangnya, jumlahnya, dan tempatnya terdaftar.
Permintaan sita yang tidak menyebut secara jelas identitasnya, dianggap merupakan permintaan yang kabur objeknya, sehingga tidak mungkin diletakkan sita. Terhadap permintaan seperti itu, cukup dasar alasan menolaknya.
Hakim atau Pengadilan tidak dibebani kewajiban untuk mencari dan menemukan identitas barang yang hendak disita, karena hal itu semata-mata menjadi beban yang dipikulkan hukum kepada Penggugat. Oleh karena itu, tidak ada dasar alasan bagi Penggugat meminta kepada Hakim agar mencari dan menemukan identitas barang yang hendak disita, karena penyitaan itu adalah untuk kepentingan Penggugat, maka dia yang mesti menyebut identitasnya secara terang dan pasti.
(sumber: M. Yahya Harahap S.H, Hukum Acara Perdata tentang gugatan, persidangan, penyitaan, pembuktian, dan putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, cet.8, 2008, h. 291).
Sebelum dilakukan sita terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan setempat
Berdasarkan pasal 153 HIR, pasal 180 RBG datau pasal 211 Rv, pemeriksaan setempat dapat diadakan berdasarkan hal berikut:
a. Oleh Hakim karena jabatannya
Hakim karena jabatannya, secara ex officio dapat menetapkan atau memerintahkan diadakan pemeriksaan setempat, apabila hal itu dianggapnya penting untuk mengetahui secara pasti keadaan yang berkenaan dengan objek gugatan. Sehubungan dengan itu, hakim perlu memperhatikan SEMA no.7 tahun 2001. Apabila dari hasil proses persidangan, terdapat kesan atau indikasi barang objek gugatan masih kabur, sangat tepat dan beralasan melaksanakan penggarisan SEMA melakukan pemeriksaan setempat, guna menghindari kesulitan pelasanaan eksekusi putusan di belakang hari.
b. Atas permintaan para pihak
Atas permintaan salah satu pihak maupun atas permintaan bersama kedua belah pihak, dapat dilakukan pemeriksaan setempat. Hak para pihak tentang ini ditegaskan dalam pasal 153 HIR, 180 RBG atau pasal 211 Rv, bahwa atas permintaan para pihak, dapat diadakan pemeriksaan setempat. Permintaan itu dapat diajukan salah satu pihak apabila pihak lawan membantah kebenaran letak, luas, atau batas-batas tanah objek sengketa. Maka untuk memperoleh kejelasan yang pasti, sangat penting dilakukan pemeriksaan setempat. Seperti yang dapat dilihat pada Putusan No.274 K/Sip/1976 maupun No.436 K/Sip/1974, hakim tingkat kasasi berpendapat, letak dan ukuran luas atau batas-batas tanah terperkara belum jelas dan pasti, sehingga dianggap sangat urgen melakukan pemeriksaan setempat.
(sumber: M. Yahya Harahap S.H, Hukum Acara Perdata tentang gugatan, persidangan, penyitaan, pembuktian, dan putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, cet.8, 2008, h. 782).
Berdasarkan tulisan tersebut di atas, maka tentunya SEGEL berbeda dengan SERTIFIKAT yang secara lengkap telah menyebutkan identitas objek sengketa. Untuk menentukan kejelelasan tersebut dilakukan pada saat pemeriksaan setempat, baik karena ex officio hakim atau permintaan para pihak.
Ketika sudah masuk ranah eksekusi, maka yang diikuti adalah sesuai bunyi amar Putusan PK Mahkamah Agung tersebut, yaitu menolak PK Pemohon peninjauan kembali, dst apakah ada atau tidak diperintahkan mengukur ulang kembali. Kesimpulannya pada pokoknya kembali kepada putusan Pengadilan Negeri Tenggarong tersebut sesuai dengan bunyi amarnya sebagaimana yang tertera.
Secara lebih mendalam, Kami tidak boleh mengomentari atau sampai menilai sebuah putusan, karena terkait dengan Kode Etik Pedoman Perilaku hakim, kami hanya dapat menjelasakan langkah yang harus dilakukan adalah mengikuti prosedur pelaksanaan eksekusi, antara lain:
1. EKSEKUSI RIIL TERHADAP PUTUSAN YANG TELAH BHT, PUTUSAN PROVISI, AKTA PERDAMAIAN PENGADILAN.
a. Adanya permohonan dari Pemohon (Pihak yang menang) dalam hal putusan telah berkekuatan hukum tetap baik putusan tingkat Pengadilan Negeri yang diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara, putusan perdamaian, putusan verstek yang terhadapnya tidak diajukan verzet atau banding, putusan Pengadilan Tinggi yang diterima oleh kedua belah pihak dan tidak dimohonkan kasasi dan putusan Mahkamah Agung dalam hal Kasasi
b. Selanjutnya Ketua Pengadilan negeri mengeluarkan Penetapan aanmaning/teguran terhadap pihak yang kalah untuk melaksanakan isi putusan yang berkekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 8 (delapan) hari setelah pihak yang kalah dipanggil untuk ditegur (8 hari adalah batas maksimum (Pasal 196 HIR atau Pasal 207 RBG)). dibuat berita acara aanmaning.
c. Apabila pihak yang kalah setelah ditegur tidak mau menjalankan putusan , Ketua pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan perintah eksekusi sesuai amar dalam putusan, dimana perintah menjalanan eksekusi ditujukan kepada Panitera atau Jurusita dan dalam pelaksanaannya apabila diperlukan dapat meminta bantuan kekuatan umum.
Dibuat berita acara pelaksanaan isi putusan.
2. EKSEKUSI RIIL TERHADAP PUTUSAN SERTA MERTA (UITVOERBAAR BIJ VOORRAAD)
a. Adanya permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri dari pihak yang menang dalam hal salah satu amar putusan dinyatakan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad), dimana putusan/perkara tersebut belum berkekuatan hukum tetap.
b. Selanjutnya apabila putusan/perkara masih dalam upaya hukum banding, maka sebelum putusan tersebut dijalankan, dimohonkan terlebih dahulu izin kepada Ketua Pengadilan Tinggi, apabila putusan/perkara masih dalam upaya hukum Kasasi, maka izin untuk pelaksanaan putusannya dimohonkan terlebih dahulu kepada Ketua Mahkamah Agung.
c. Setelah izin keluar, maka proses eksekusi mengikuti proses seperti yang telah dibahas diatas.
d. Dalam pelaksanaan eksekusi putusan serta merta ada syarat yang harus dipenuhi yaitu adanya pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/obyek eksekusi sehingga tidakmenimbulkan kerugian pada pihak lain apabila ternyata dikemudian hari dijatuhkan putusan yang membatalkan putusan pengadilan sebelumnya (SEMA NO. 3 Tahun 2000 Jo. SEMA No. 4 Tahun 2001)
3. EKSEKUSI PEMBAYARAN SEJUMLAH UANG TERHADAP PUTUSAN YANG TELAH BHT, PUTUSAN PROVISI, AKTA PERDAMAIAN PENGADILAN.
a. Proses pelaksanaan isi putusan pembayaran sejumlah uang mengikuti sebagaimana point Eksekusi Riil …..punt 1 s/d 2.
b. Selanjutnya setelah pihak yang kalah diaanmaning dan tidak juga melaksanakan isi putusan, maka Ketua Pengadilan mengeluarkan penetapan perintah untuk lelang eksekusi, dimana perintah ditujukan kepada Panitera atau Jurusita dan dalam pelaksanaannya dibantu oleh KPKNL (Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang).
c. Sebelum mengeluarkan penetapan Perintah Lelang eksekusi, Ketua Pengadilan Negeri berdasarkan permohopnan Pemohon terlebih dahulu menyita eksekusi obyek yang akan dilelang (Pasal 197 ayat (1) HIR) , apabila dalam putusan telah ada sita atau CB, maka CB secara otomatis menjadi Sita eksekusi.
d. selanjutnya dalam proses dan tata cara lelang mengikuti aturan yang diatur oleh Peraturan menteri Keuangan (Permenkeu) N0.93/PMK.06/2010.
4. EKSEKUSI TERHADAP GROSSE AKTA PENGAKUAN HUTANG
a. Kreditur pemegang grosse atas pengakuan hutang yang berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dapat langsung memohon eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan dalah hal debitur ingkar janji.
b. Berdasarkan permohonan dari kreditur dalam hal debitur ingkar janji Ketua Pengadilan Neg eri Bandung mengeluarkan Penetapan aanmaning/teguran agar dalam jangka waktu 8 (delapan) hari setelah ditegur debitur/Termohon Eksekusi memenuhi kewajibannya kepada kreditur/Pemohon Eksekusi (8 hari adalah batas maksimum (Pasal 196 HIR atau Pasal 207 RBG).
dibuat berita acara aanmaning.
c. Selanjutnya proses eksekusi mengikuti point pada Eksekusi pembayaran sejumlah uang…dst punt 2 s/d 4.
d. Eksekusi berdasarkan grosse akta pengakuan hutang hanya dapat dilaksanakan, apabila debitur sewaktu ditegur membenarkan jumlah hutangnya.
e. Apabila debitur membantahjumlah hutang tersebut dan besarnya hutang menjadi tidak fixed, maka eksekusi tidak bisa dilanjutkan. Kreditur, yaitu bank untuk dapat mengajukan tagihannya harus melalui suatu gugatan.
5. EKSEKUSI TERHADAP HAK TANGGUNGAN
a. Eksekusi Hak Tanggungan dilaksanakan seperti eksekusi pembayaran sejumlah uang terhadap putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum yang tetap.
b. Eksekusi dimulai dengan teguran dan berakhir dengan pelelangan yang dibebani Hak Tanggungan.
c. Setelah dilakukan pelelangan terhadap objek yang dibebani Hak Tanggungan dan uang hasil lelang diserahkan kepada Kreditur, maka Hak Tanggungan yang membebani obyek tersebut akan diroya dan diserahkan kepada pembeli lelang secara bersih dan bebas dari semua beban.
d. Apabila Debitur/Terlelang tidak mau menyerahkan obyek yang telah dilelang, maka berlaku ketantuan yang terdapat dalam Pasal 200 ayat (1) HIR.
e. Selanjutnya berdasarkan Pasal 200 ayat (1) HIR, pembeli lelang dapat memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk melaksanakan eksekusi pengosongan terhadap 8obyek lelang yang telah dibelinya dari penghunian debitur/Termohon Eksekusi atau siapapun yang mendapat hak dari padanya serta barang-barang yang ada didalamnya.
f. sebagai tindak lanjut dari permohonan tersebut, selanjutnya diproses eksekusi sebagaimana eksekusi riil terhadap Putusan BHT.
6. EKSEKUSI TERHADAP JAMINAN FIDUSIA
a. Mengenai Fidusia diatur dalam Undang-undang No. 42 tahun 1999.
b. Prosedur dan tata cara eksekusi dilakukan seperti dalam eksekusi Hak Tanggungan.
2. Paparan jawaban pertanyaan angka 2
a. Penjagaan barang sita jaminan
Secara tegas diatur dalam pasal 508 Rv dan secara implisit pada pasal 197 ayat (9) HIR, bahwa dalam hal penjagaan sita jaminan barang tidak bergerak:
– Tersita menjadi penjaganya, dan
– Sifatnya demi hukum.
Berdasarkan aturan tersebut, maka yang wajib menjaga barang sitaan berupa barang tidak bergerak bukanlah kewajiban pengadilan, tetapi kewajiban pihak tersita, wajar saja pengadilan tidak mencampuri urusan tersebut apabila pihak tersita memindahtangankan atau memperjualbelikan barang sitaan,,,,, ketika ada laporan dari para pihak yang keberatan, maka barulah Pengadilan akan memproses sesuai aturan yang berlaku apakah secara perdata taukah secara pidana.
b. Boleh dipakai tersita
Hal ini juga diatur dalam pasal 508 Rv, dan dapat dijadikan pedoman kebolehan pemakaian barang sitaan, dengan syarat:
– Pemakaian tidak boleh berakibat pada turunnya harga barang sitaan atau habisnya barang sitaan dalam pemakaian
– Bila harganya turun, tergugat diancam membayar ganti rugi dan bunga
c. Hasil yang tumbuh setelah penyitaan
Sering timbul masalah mengenai haisl yang timbul dari barang sitaan. Pemecahan atas permasalah itu dapat dipedomani dalam pasal 509 Rv, yang menjelaskan ketentuan:
– Hasil tanah yang dikumpulkan setelah sita jaminan diumumkan atau siap hendak dikumpulkan, dianggap sebagai barang yang melekat pada objek sita jaminan
– Dan hasil tersebut merupakan bagian yang harus dibayar kepada penggugat bersama-sama dengan hasil penjualan lelang barang objek sita jaminan.
Demikian jawaban dari kami.
Atas kesalahan dan kekurangannya, kami mohon maaf
Semoga bermanfaat
Wassalam
(http://konsultasi-hukum-online.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar