Berbeda dengan di Indonesia, di Amerika Serikat banyak
yang dengan sukarela mengajukan diri jadi anggota regu tembak.
Sebagian besar orang mungkin menilai profesi algojo hukuman
mati adalah pekerjaan yang mengerikan. Namun, bagi mereka yang menjalaninya,
hal itu tidak sepenuhnya demikian.
Salah satunya adalah algojo eksekusi dari Indonesia yang
berhasil diwawancarai oleh jurnalis News Corp, Paul Toohey. Si algojo,
yang tidak disebutkan namanya, adalah salah satu anggota regu tembak yang
mengeksekusi mati lima terpidana mati kasus penyelundupan narkoba di
Nusakambangan tanggal 18 Januari silam.
Kini, dirinya kembali dipilih untuk melakukan eksekusi babak
selanjutnya. Di antara mereka yang akan ia eksekusi adalah terpidana mati kasus
penyelundupan heroin 8,2 kilogram asal Australia, Myuran Sukumaran dan Andrew
Chan.
Memang, si algojo tidak tahu, apakah senapan yang ia pakai
berisi peluru tajam atau peluru kosong. Namun, kenyataan itu tetap saja tak
membuat dirinya bisa dengan mudah melakukan pekerjaan itu.
"Sebagai anggota Brimob, saya harus melakukan tugas saya
dan saya tidak punya pilihan," kata si eksekutor kepada Toohey.
"Namun, sebagai manusia, saya tidak akan pernah
melupakan ini sepanjang hidup saya," sambungnya.
Perasaan sang anggota Brimob amat berlawanan dengan apa yang
ada di benak para eksekutor hukuman mati di Amerika Serikat.
Utah, negara bagian yang kabarnya sedang merencanakan untuk
mengadopsi kembali eksekusi mati dengan regu tembak, hal serupa tidak ditemui.
Malahan, menurut politisi Utah, Paul Ray, banyak sekali relawan yang ingin
menjadi anggota regu tembak.
Ray mengatakan, jika undang-undang eksekusi mati dengan regu
tembak disahkan nanti, otoritas penjara bisa memilih para penembak dari banyak
polisi yang mengajukan diri. Para penembak biasanya dipilih dari wilayah tempat
terpidana mati melakukan kejahatannya. (News.com.au)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar