Maret 05, 2015

Kapan Eksekusi Mati Koruptor?


Editor
Dhuha Hadiansyah
 
 Wen Qiang (29 Januari, 1956 – 7 Juli, 2010) terperanjat mendapat vonis mati oleh majelis hakim pemerintah komunis Tiongkok. Sebagai (setara) Kapolda Chongqing selama 16 tahun, Wen dikenal orang kuat dan merasa tak bakal disentuh hukum.
Wen didakwa menggondol uang suap senilai 12 juta Yuan (Rp 22,8milyar). Dia juga dituduh beberapa kali memerkosa seorang mahasiswi. Istri Wen, Zhou Xiaoya, juga diseret ke pengadilan bersama tiga polisi senior Chongqing. Namun, hanya Wen yang dihukum mati karena dianggap sebagai otak utama.
Aparat Polisi yang selama ini dipimpin Wen menggiringnya ke tempat eksekusi mati pada 7 Juli 2010. Hakim minta agar hukuman mati harus sehemat mungkin untuk menghindari kerugian negara (bandingkan dengan eksekusi pengedar narkoba di Indonesia akhir-aklhir ini).
Saking hematnya, para eksekutor hanya diberi satu peluru yang harus diarahkan langsung ke otak dan harus mati. Kabar beredar bahwa keluarga Wen diwajibkan membayar ganti rugi atas satu peluru itu (biasanya harga standard untuk satu peluru adalah US$ 2).
Hukuman mati Wen disiarkan keseluruh Tiongkok melalui media televisi. Pemerintah juga mengultimatum bakal menyeret ribuan pengusaha yang terlibat praktik suap.
Hukuman mati memang menyakitkan bagi pelaku dan lebih menyakitkan bagi keluarga karena negara memastikan mereka harus hidup miskin karena negara merampas seluruh harta pelaku tindak pidana korupsi. Namun, dampak positifnya bakal dirasakan kemudian oleh rakyat banyak.
Sejak skandal Wen yang mengerikan ini, kota Chongqing yang dikenal para pejabatnya hidup senang dari hasil suap para pengusaha nakal, kini menjadi bersih.
Begitulah cara Tiongkok memperlakukan para Koruptor baik itu pejabat maupun pengusaha yang mendapatkan manfaat dari tindak korupsi itu. Sejak ada UU Hukuman mati bagi Koruptor pada 1993, tak sedikit pejabat Tiongkok yang hengkang keluar negeri.
Hampir sebagian besar pejabat korup itu meminta perlindungan dari negara negara Barat dan Amerika. Sebab, kedua negara ini mengharamkan hukuman mati dan melindungi setiap orang yang terjerat hukuman mati atau kedua negara ini menolak permintaan ekstradisi atas pelaku korupsi yang diancam hukuman mati.
Bagaimana Indonesia?
Seperti kita ketahui bersama, hukum tak pernah tajam menyayat para penegak dan pembuatnya. Alih-alih dihukum mati, koruptor dari jenis politisi dan penegak hukum justru paling mudah mendapat pengampunan.
Pemerintah hanya berani menembak para pengedar narkoba kelas teri dan pembunuh dari kalangan rakyat biasa. Bagaimana jika yang membunuh adalah pemegang senjata berijin atau pengedar dana hasil membegal uang rakyat?
Pemerintah harus segera merevolusi hukuman mati dengan melebarkan jaringnya, guna menjerat para koruptor. Rakyat pasti bersuka cita dan alam pun pasti mendukung. (http://nasional.rimanews.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar