Tribun Bali/Zaenal Nur Arifin
Ratusan
aparat kepolisian berpakaian lengkap datang ke Lapas Kerobokan,
Denpasar, Rabu (4/3/2015) dini hari sekitar pukul 03.00 WITA. Hal
tersebut berkaitan dengan detik-detik menjelang pemindahan dua terpidana
mati Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran ke Nusakambangan.
Di tengah perhatian dunia internasional yang menolak keras eksekusi mati sebelas terpidana narkoba, termasuk duo Bali Nine Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, seorang warga negara Brasil, dan Nigeria, Pemerintah Indonesia tak bakal mundur.
Di balik proses eksekusi mati itu, realita lain dihadirkan regu tembak selaku eksekutor di lapangan. Seorang anggota Brimob yang pernah menjadi anggota regu tembak mengungkapkan pengalamannya kepada The Guardian, Jumat (6/3/2015).
Petugas yang enggan disebutkan namanya ini mengaku mudah untuk menarik pelatuk. Tapi hal terburuk yang dialami eksekutor ketika berhubungan dengan seseorang yang akan mati, mengikat badan, tangan dan kaki tahanan di tiang eksekusi menggunakan tali. Inilah momen terburuk yang bisa menghantui.
"Beban yang lebih berat harus ditanggung para petugas yang bertanggung jawab menangani para tahanan, ketimbang para eksekutor yang melepaskan tembakan," katanya. "Karena petugas-petugas itu terlibat menjemput, mengikat tangan tahanan bersamaan, sampai mereka meninggal."
Personel Brimob yang menjadi regu tembak eksekusi mati tidak selamanya bertugas sebagai eksekutor. Petugas tersebut menggambarkan momen paling suram dalam "pekerjaannya," sebagai orang terakhir yang menyentuh tahanan beberapa saat sebelum mereka "direnggut nyawanya."
Satu tim ditugaskan untuk mengawal dan membelenggu para tahanan, tim kedua adalah regu tembak. Petugas Brimob yang memberikan pengakuannya kepada The Guardian masuk ke dalam kedua tim tersebut.
"Kami melihat orang cukup dekat, sejak mereka masih hidup dan berbicara, sampai mereka mati. Kami mengetahui itu secara jelas," ungkap petugas tadi.
Sebanyak lima petugas Brimob ditugaskan untuk satu tahanan. Tugas mereka mengawal tahanan keluar dari sel isolasi di tengah malam dan menemani mereka ke tanah kosong.
"Para tahanan dapat memutuskan apakah mereka ingin menutupi wajahnya," sebelum diikat. Ini untuk memastikan badan mereka tidak bergerak. Beberapa saat sebelumnya, para tahanan bisa mendapatkan nasihat agama.
Ketika mengikat tangan tahanan, para petugas tidak boleh berbicara. Tahanan bisa memilih posisi berlutut atau berdiri sebelum dieksekusi. Tapi, selama proses itu berlangsung, petugas memperlakukan mereka secara baik.
"Saya tidak berbicara dengan para tahanan. Saya memperlakukan mereka seperti anggota keluarga saya sendiri. Saya hanya mengatakan, 'Maaf, saya hanya melakukan pekerjaan,'" cerita petugas tadi.
Di malam gelap, hanya nyala obor sebagai penerang di lokasi eksekusi mati. Sebanyak 12 petugas Brimob dikerahkan sebagai regu tembak. Mereka dipersenjatai M16. Ketika perintah keluar, mereka mulai menembak tahanan dari jarak 10 meter. Anggota regu tak tahu siapa di antara mereka yang benar-benar memiliki peluru sampai mematikan tahanan.
Petugas regu tembak dipilih berdasarkan kemampuan menembak, kebugaran mental dan fisik. "Kami hanya datang, mengambil senjata, menembak, dan menunggu sampai tahanan mati. Setelah senjata meletus, kita menunggu 10 menit. Jika dokter mengucapkan dia sudah mati maka kita kembali pulang. Itu saja."
Sebelum eksekusi, senjata untuk petugas pun sudah disiapkan. Eksekusi mati tak memakan waktu lebih dari lima menit atau lebih. Setelah itu seorang dokter memastikan para tahanan sudah mati. Jika belum, seorang petugas diperintahkan menembak kepala tahanan dari jarak dekat.
Mayat tahanan kemudian diangkut ke tempat di mana mereka dimandikan, lalu ditempatkan ke dalam peti mati. Mereka diperlakukan sesuai dengan tradisi keagamaan masing-masing.
Para eksekutor hanya menjalankan tugasnya, melaksanakan perintah berdasarkan hukum, terlepas apakah mereka percaya pada hukuman mati atau tidak.
"Saya terikat sumpah sebagai seorang prajurit. Tahanan melanggar hukum dan kami melakukan perintah. Kami hanya pelaksana. Pertanyaan apakah itu dosa atau tidak terserah Allah," katanya.
Mengingat keterlibatannya sebagai eksekutor, petugas tadi memilih tidak mengingat jalannya eksekusi. Setelah hari eksekusi, petugas menjalani tiga hari untuk mendapatkan bimbingan rohani dan bantuan psikologis.
Ada batasan seorang petugas untuk menjadi eksekutor hukuman mati. "Jika kita mengeksekusi sekali atau dua kali bukan masalah. Tapi akan menimbulkan masalah psikologis bagi petugas yang banyak melakukan eksekusi," ceritanya.
Petugas tadi mengaku ada sekira 50 orang berstatus sebagai terpidana mati. Bisa saja dirinya mendapatkan giliran sebagai eksekutor berikutnya. Tapi ia berharap tak melakukannya lagi. "Jika ada petugas lain, biarkan mereka melakukannya."
Satu hari, si petugas berharap tak mengingat momen tersebut. Ia berdoa seperti para tahanan yang dieksekusi mati. Petugas tadi mendoakan para tahanan yang dieksekusi mati meninggal dalam damai.
Kepala Korps Brimob Brigjen Robby Kaligis kepada Jakarta Post baru-baru ini mengakui tekanan psikologis yang dialami anak buahnya. "Menembak itu mudah. Tapi jauh lebih sulit untuk memastikan mereka siap mental," katanya.
Menanggapi kenangan buruk tersebut, Brigjen Robby menambahkan, "Saya tak ingin mengingat bagian itu dalam hidup saya. Kita perlu fokus untuk kehidupan hari ini dan akan datang." Di era 80 an, ketika masih berpangkat letnan, Robby pernah ditunjuk sebagai masuk sebagai regu tembak. (The Guardian/The Jakarta Post)
Petugas yang enggan disebutkan namanya ini mengaku mudah untuk menarik pelatuk. Tapi hal terburuk yang dialami eksekutor ketika berhubungan dengan seseorang yang akan mati, mengikat badan, tangan dan kaki tahanan di tiang eksekusi menggunakan tali. Inilah momen terburuk yang bisa menghantui.
"Beban yang lebih berat harus ditanggung para petugas yang bertanggung jawab menangani para tahanan, ketimbang para eksekutor yang melepaskan tembakan," katanya. "Karena petugas-petugas itu terlibat menjemput, mengikat tangan tahanan bersamaan, sampai mereka meninggal."
Personel Brimob yang menjadi regu tembak eksekusi mati tidak selamanya bertugas sebagai eksekutor. Petugas tersebut menggambarkan momen paling suram dalam "pekerjaannya," sebagai orang terakhir yang menyentuh tahanan beberapa saat sebelum mereka "direnggut nyawanya."
Satu tim ditugaskan untuk mengawal dan membelenggu para tahanan, tim kedua adalah regu tembak. Petugas Brimob yang memberikan pengakuannya kepada The Guardian masuk ke dalam kedua tim tersebut.
"Kami melihat orang cukup dekat, sejak mereka masih hidup dan berbicara, sampai mereka mati. Kami mengetahui itu secara jelas," ungkap petugas tadi.
Sebanyak lima petugas Brimob ditugaskan untuk satu tahanan. Tugas mereka mengawal tahanan keluar dari sel isolasi di tengah malam dan menemani mereka ke tanah kosong.
"Para tahanan dapat memutuskan apakah mereka ingin menutupi wajahnya," sebelum diikat. Ini untuk memastikan badan mereka tidak bergerak. Beberapa saat sebelumnya, para tahanan bisa mendapatkan nasihat agama.
Ketika mengikat tangan tahanan, para petugas tidak boleh berbicara. Tahanan bisa memilih posisi berlutut atau berdiri sebelum dieksekusi. Tapi, selama proses itu berlangsung, petugas memperlakukan mereka secara baik.
"Saya tidak berbicara dengan para tahanan. Saya memperlakukan mereka seperti anggota keluarga saya sendiri. Saya hanya mengatakan, 'Maaf, saya hanya melakukan pekerjaan,'" cerita petugas tadi.
Di malam gelap, hanya nyala obor sebagai penerang di lokasi eksekusi mati. Sebanyak 12 petugas Brimob dikerahkan sebagai regu tembak. Mereka dipersenjatai M16. Ketika perintah keluar, mereka mulai menembak tahanan dari jarak 10 meter. Anggota regu tak tahu siapa di antara mereka yang benar-benar memiliki peluru sampai mematikan tahanan.
Petugas regu tembak dipilih berdasarkan kemampuan menembak, kebugaran mental dan fisik. "Kami hanya datang, mengambil senjata, menembak, dan menunggu sampai tahanan mati. Setelah senjata meletus, kita menunggu 10 menit. Jika dokter mengucapkan dia sudah mati maka kita kembali pulang. Itu saja."
Sebelum eksekusi, senjata untuk petugas pun sudah disiapkan. Eksekusi mati tak memakan waktu lebih dari lima menit atau lebih. Setelah itu seorang dokter memastikan para tahanan sudah mati. Jika belum, seorang petugas diperintahkan menembak kepala tahanan dari jarak dekat.
Mayat tahanan kemudian diangkut ke tempat di mana mereka dimandikan, lalu ditempatkan ke dalam peti mati. Mereka diperlakukan sesuai dengan tradisi keagamaan masing-masing.
Para eksekutor hanya menjalankan tugasnya, melaksanakan perintah berdasarkan hukum, terlepas apakah mereka percaya pada hukuman mati atau tidak.
"Saya terikat sumpah sebagai seorang prajurit. Tahanan melanggar hukum dan kami melakukan perintah. Kami hanya pelaksana. Pertanyaan apakah itu dosa atau tidak terserah Allah," katanya.
Mengingat keterlibatannya sebagai eksekutor, petugas tadi memilih tidak mengingat jalannya eksekusi. Setelah hari eksekusi, petugas menjalani tiga hari untuk mendapatkan bimbingan rohani dan bantuan psikologis.
Ada batasan seorang petugas untuk menjadi eksekutor hukuman mati. "Jika kita mengeksekusi sekali atau dua kali bukan masalah. Tapi akan menimbulkan masalah psikologis bagi petugas yang banyak melakukan eksekusi," ceritanya.
Petugas tadi mengaku ada sekira 50 orang berstatus sebagai terpidana mati. Bisa saja dirinya mendapatkan giliran sebagai eksekutor berikutnya. Tapi ia berharap tak melakukannya lagi. "Jika ada petugas lain, biarkan mereka melakukannya."
Satu hari, si petugas berharap tak mengingat momen tersebut. Ia berdoa seperti para tahanan yang dieksekusi mati. Petugas tadi mendoakan para tahanan yang dieksekusi mati meninggal dalam damai.
Kepala Korps Brimob Brigjen Robby Kaligis kepada Jakarta Post baru-baru ini mengakui tekanan psikologis yang dialami anak buahnya. "Menembak itu mudah. Tapi jauh lebih sulit untuk memastikan mereka siap mental," katanya.
Menanggapi kenangan buruk tersebut, Brigjen Robby menambahkan, "Saya tak ingin mengingat bagian itu dalam hidup saya. Kita perlu fokus untuk kehidupan hari ini dan akan datang." Di era 80 an, ketika masih berpangkat letnan, Robby pernah ditunjuk sebagai masuk sebagai regu tembak. (The Guardian/The Jakarta Post)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar