Para penagih utang cicilan kendaraan bermotor, yang sering dijuluki
”mata elang”, mulai beraksi di luar batas. Sembilan penagih utang (debt
collector) ditetapkan sebagai tersangka penganiaya anggota TNI Angkatan
Laut, Kopral Satu Sugiyarto, hingga tewas. Penganiayaan itu terjadi
lantaran Sugiyarto berusaha membela temannya, Amen, yang berusaha
mempertahankan sepeda motornya yang hendak dirampas para penagih utang
itu.
Sugiyarto, seorang anggota TNI yang menurut polisi telah
desersi, meregang nyawa saat dilarikan ke RS Harapan Jayakarta, Jakarta
Timur, karena pendarahan terus-menerus dari luka tikam di dada dan
kepala, Jumat, 21 November dini hari lalu. Sementara kawan korban, Amen,
kehilangan daun telinga kanan karena ditebas salah satu penagih utang
itu.
Hingga awal Desember ini, kasus penganiayaan oleh para
penagih utang itu masih disidik Satuan Reserse Kriminal Polres Jakarta
Timur. Sembilan penagih utang hingga kini ditahan di Polres Jaktim,
yakni JS, ZB, OW alias Bule, ACL, HPG alias Hendro, AK, DP, YL, dan SN.
Kepada
penyidik, Amen mengungkapkan, sepeda motornya tak hanya dirampas para
penagih utang itu. Mereka juga meminta dia menyerahkan uang Rp 500.000
dengan alasan sebagai uang tebusan.
Menurut Amen, sehari sebelum
peristiwa perampasan terjadi, sepeda motor Honda Scoopy miliknya
dipinjam Sugiyarto. Namun, sepeda motor itu dipinjamkan lagi oleh
Sugiyarto kepada temannya yang bernama Jonathan.
Pada hari
kejadian, Jonathan memarkir sepeda motor itu di dekat tempat tinggal
para penagih utang tersebut di Jalan Pemuda, Jakarta Timur. ”Saat itu,
Jonathan sedang makan di warung dekat tempat tinggal para penagih utang
itu. Kebetulan salah satu penagih utang melihat sepeda motor saya
diparkir di sana,” katanya.
Menurut Komisaris Sri Bhayangkari
dari Humas Polres Jaktim, para penagih utang itu menahan sepeda motor
milik Amen yang masuk dalam daftar kredit kendaraan yang menunggak
sampai 10 bulan. ”Jonathan diminta para penagih utang itu untuk
menghubungi pemilik sepeda motor itu,” ucap Sri.
Namun, yang
datang pertama adalah Sugiyarto. Di lokasi, Sugiyarto baru menghubungi
Amen. Setelah Amen datang, lanjut Sri, para penagih utang itu meminta
bayaran Rp 500.000 kepada Amen sebagai uang tebusan.
Menolak membayar
Amen menolak memenuhi permintaan para penagih utang itu sehingga kemudian pecah pertengkaran dengan para penagih utang itu.
Sugiyarto
yang berusaha membela Amen ditikam dengan berbagai benda tajam oleh
para penagih utang itu sehingga luka parah dan akhirnya meninggal.
Hanya
berselang beberapa jam, sembilan penagih utang itu ditangkap polisi.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Jakarta Timur Ajun Komisaris Besar
Ade Rahmat Idnal mengatakan, para tersangka ditangkap di rumah
kontrakan mereka. Dari rumah itu ditemukan sejumlah senjata tajam,
seperti golok, parang, mata panah, dan busur.
Menurut Idnal, para
pelaku itu biasa membawa senjata tajam saat sedang bertugas sebagai
”mata elang”. Istilah itu dipakai untuk menyebut pekerjaan mereka
mengawasi dan mencatat setiap nomor polisi kendaraan yang masih
menunggak cicilan kredit kendaraan bermotor.
”Menurut pengakuan pelaku, mereka membawa senjata tajam untuk melindungi diri,” katanya.
Menurut
Sri, tindakan pelaku tetap melanggar hukum meski dengan dalih tengah
bertugas sebagai penagih utang. ”Mereka mengaku dipekerjakan di beberapa
perusahaan pemberi kredit kendaraan atau leasing. Hal ini juga sedang
didalami karena tindakan mereka meminta bayaran dan menganiaya pemilik
kendaraan itu tidak benar,” jelas Sri.
Menurut Sri, seharusnya
pihak pemberi kredit tak perlu menggunakan tenaga penagih utang jika
setiap kendaraan dilengkapi jaminan fidusia seperti diatur dalam
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999. Sesuai UU tersebut, polisi bisa
memberi bantuan kepada pemberi kredit untuk menarik kendaraan yang
dijamin dengan fidusia.
”Hanya, jaminan fidusia ini ditanggung pemberi kredit dan biayanya bisa mencapai Rp 1 juta (per kendaraan),” kata Sri.
Kepala
Unit Reserse Kriminal Polsek Metro Palmerah Jakarta Barat Ajun
Komisaris Khoiri menyarankan korban kekerasan penagih utang melaporkan
kasusnya ke polisi. ”Hukum positif kita tak mengenal mekanisme penagih
utang seperti ini,” tandasnya.
Ulah para penagih utang ini tentu
memberikan rasa tak nyaman. Bahkan, kegiatan mereka mengawasi dan
mencatat nomor polisi kendaraan di pinggir jalan pun kerap mengundang
tanya. Biasanya mereka bergerombol lebih dari lima orang dan
masing-masing memegang telepon seluler untuk mencatat nomor polisi yang
mereka awasi.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris
Besar Rikwanto mengimbau warga senantiasa patuh hukum. Menurut dia, jika
warga mengkredit kendaraan, bayarlah cicilannya dengan teratur sesuai
jadwal. Jika tak mampu mengangsur lagi, kembalikan kendaraan tersebut
kepada perusahaan leasing atau bicarakan baik-baik untuk meminta
penangguhan atau penjadwalan ulang.
”Jika dicegat para penagih
utang, warga sebaiknya juga konfirmasi ulang ke pihak pemberi kredit
sebelum menyerahkan sepeda motornya. Tak menutup kemungkinan, tindakan
para penagih utang ini digunakan untuk kejahatan,” katanya. (http://megapolitan.kompas.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar