Januari 09, 2015

Ketika ”Mata Elang” Beraksi di Luar Batas...

Para penagih utang cicilan kendaraan bermotor, yang sering dijuluki ”mata elang”, mulai beraksi di luar batas. Sembilan penagih utang (debt collector) ditetapkan sebagai tersangka penganiaya anggota TNI Angkatan Laut, Kopral Satu Sugiyarto, hingga tewas. Penganiayaan itu terjadi lantaran Sugiyarto berusaha membela temannya, Amen, yang berusaha mempertahankan sepeda motornya yang hendak dirampas para penagih utang itu.

Sugiyarto, seorang anggota TNI yang menurut polisi telah desersi, meregang nyawa saat dilarikan ke RS Harapan Jayakarta, Jakarta Timur, karena pendarahan terus-menerus dari luka tikam di dada dan kepala, Jumat, 21 November dini hari lalu. Sementara kawan korban, Amen, kehilangan daun telinga kanan karena ditebas salah satu penagih utang itu.

Hingga awal Desember ini, kasus penganiayaan oleh para penagih utang itu masih disidik Satuan Reserse Kriminal Polres Jakarta Timur. Sembilan penagih utang hingga kini ditahan di Polres Jaktim, yakni JS, ZB, OW alias Bule, ACL, HPG alias Hendro, AK, DP, YL, dan SN.

Kepada penyidik, Amen mengungkapkan, sepeda motornya tak hanya dirampas para penagih utang itu. Mereka juga meminta dia menyerahkan uang Rp 500.000 dengan alasan sebagai uang tebusan.

Menurut Amen, sehari sebelum peristiwa perampasan terjadi, sepeda motor Honda Scoopy miliknya dipinjam Sugiyarto. Namun, sepeda motor itu dipinjamkan lagi oleh Sugiyarto kepada temannya yang bernama Jonathan.

Pada hari kejadian, Jonathan memarkir sepeda motor itu di dekat tempat tinggal para penagih utang tersebut di Jalan Pemuda, Jakarta Timur. ”Saat itu, Jonathan sedang makan di warung dekat tempat tinggal para penagih utang itu. Kebetulan salah satu penagih utang melihat sepeda motor saya diparkir di sana,” katanya.

Menurut Komisaris Sri Bhayangkari dari Humas Polres Jaktim, para penagih utang itu menahan sepeda motor milik Amen yang masuk dalam daftar kredit kendaraan yang menunggak sampai 10 bulan. ”Jonathan diminta para penagih utang itu untuk menghubungi pemilik sepeda motor itu,” ucap Sri.

Namun, yang datang pertama adalah Sugiyarto. Di lokasi, Sugiyarto baru menghubungi Amen. Setelah Amen datang, lanjut Sri, para penagih utang itu meminta bayaran Rp 500.000 kepada Amen sebagai uang tebusan.

Menolak membayar

Amen menolak memenuhi permintaan para penagih utang itu sehingga kemudian pecah pertengkaran dengan para penagih utang itu.

Sugiyarto yang berusaha membela Amen ditikam dengan berbagai benda tajam oleh para penagih utang itu sehingga luka parah dan akhirnya meninggal.

Hanya berselang beberapa jam, sembilan penagih utang itu ditangkap polisi. Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Jakarta Timur Ajun Komisaris Besar Ade Rahmat Idnal mengatakan, para tersangka ditangkap di rumah kontrakan mereka. Dari rumah itu ditemukan sejumlah senjata tajam, seperti golok, parang, mata panah, dan busur.

Menurut Idnal, para pelaku itu biasa membawa senjata tajam saat sedang bertugas sebagai ”mata elang”. Istilah itu dipakai untuk menyebut pekerjaan mereka mengawasi dan mencatat setiap nomor polisi kendaraan yang masih menunggak cicilan kredit kendaraan bermotor.

”Menurut pengakuan pelaku, mereka membawa senjata tajam untuk melindungi diri,” katanya.

Menurut Sri, tindakan pelaku tetap melanggar hukum meski dengan dalih tengah bertugas sebagai penagih utang. ”Mereka mengaku dipekerjakan di beberapa perusahaan pemberi kredit kendaraan atau leasing. Hal ini juga sedang didalami karena tindakan mereka meminta bayaran dan menganiaya pemilik kendaraan itu tidak benar,” jelas Sri.

Menurut Sri, seharusnya pihak pemberi kredit tak perlu menggunakan tenaga penagih utang jika setiap kendaraan dilengkapi jaminan fidusia seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999. Sesuai UU tersebut, polisi bisa memberi bantuan kepada pemberi kredit untuk menarik kendaraan yang dijamin dengan fidusia.

”Hanya, jaminan fidusia ini ditanggung pemberi kredit dan biayanya bisa mencapai Rp 1 juta (per kendaraan),” kata Sri.

Kepala Unit Reserse Kriminal Polsek Metro Palmerah Jakarta Barat Ajun Komisaris Khoiri menyarankan korban kekerasan penagih utang melaporkan kasusnya ke polisi. ”Hukum positif kita tak mengenal mekanisme penagih utang seperti ini,” tandasnya.

Ulah para penagih utang ini tentu memberikan rasa tak nyaman. Bahkan, kegiatan mereka mengawasi dan mencatat nomor polisi kendaraan di pinggir jalan pun kerap mengundang tanya. Biasanya mereka bergerombol lebih dari lima orang dan masing-masing memegang telepon seluler untuk mencatat nomor polisi yang mereka awasi.

Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Rikwanto mengimbau warga senantiasa patuh hukum. Menurut dia, jika warga mengkredit kendaraan, bayarlah cicilannya dengan teratur sesuai jadwal. Jika tak mampu mengangsur lagi, kembalikan kendaraan tersebut kepada perusahaan leasing atau bicarakan baik-baik untuk meminta penangguhan atau penjadwalan ulang.

”Jika dicegat para penagih utang, warga sebaiknya juga konfirmasi ulang ke pihak pemberi kredit sebelum menyerahkan sepeda motornya. Tak menutup kemungkinan, tindakan para penagih utang ini digunakan untuk kejahatan,” katanya. (http://megapolitan.kompas.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar