Singapura
melaksanakan hukuman gantung terhadap dua pria yang dinyatakan bersalah
terlibat perdagangan narkotika Juli tahun ini. Ini adalah pelaksanaan hukuman mati pertama di negeri itu dalam tiga tahun terakhir. Singapura menghentikan semua eksekusi pada Juli 2011, sambil mengkaji ulang penggunaan hukuman mati dan kini memberi hakim keleluasaan dalam kasus-kasus tertentu. Menurut Amnesty International, Singapura merupakan salah satu negara dengan jumlah hukuman mati per kapita tertinggi di dunia dan diperkirakan Singapura mengeksekusi 420 orang antara tahun 1991 hingga 2004. Seorang penulis Inggris Alan Shadrake dipenjara setelah ia merilis sebuah buku yang mengkritik penggunaan hukuman mati dan sistem peradilan negara itu. Dia pertama kali menjadi tajuk berita pada 2005, ketika melakukan wawancara langka dengan pensiunan petugas hukum gantung di Singapura, yang menjelaskan secara terang-terangan bagaimana ia menggantung tahanan yang menanti hukuman mati. “Saya sudah mengutip banyak kasus ketidakadilan ketika sejumlah anak muda digantung, padahal mereka semestinya tidak digantung.” Salah satu kasus yang memprihatinkan adalah kasus Vingnes Mourthy, pemuda asal Malaysia berusia 23 tahun yang digantung pada 2003, karena berdagang kurang dari 30 gram heroin ke Singapura. Alan mengatakan sebagian besar barang bukti yang digunakan untuk menghukum dia, berasal dari petugas polisi korup yang waktu itu juga tengah diselidiki. “Ia secara serentak tengah diselidiki karena pemerkosaan dan mensodomi seorang perempuan yang diborgol di rumah susun temannya. Pasti mereka sudah tahu hal ini ketika sidang berlangsung. Sementara anak laki-laki itu digantung. Dua tahun kemudian, petugas polisi itu dituntut karena korupsi. Ketika perempuan itu menuntut dia karena melakukan pemerkosaan, ia malah mencoba menyuap perempuan itu.” “Petugas polisi tersebut dipenjara selama 15 bulan. Sekarang saya punya wawancara dengan seorang pengacara papan atas-- ada rekamannya yang mengatakan, kalau petugas polisi itu diadili terlebih dulu, mereka tidak mungkin menyatakan bahwa Vinges Moruthy itu bersalah karena melakukan perdagangan narkoba.” Setelah peluncuran buku itu, keluarga Vignes Mourthy meminta pemerintah Singapura untuk mengaku mereka bersalah membunuh anak laki-laki mereka. N. Surendran, anggota Lawyers for Liberty. “Kami membawa kasus keluarga ini ketika anak mereka salah eksuskusi dan itu tidak sah menurut hukum. Kami juga membawa kasus Alan Shadrake karena ia telah dianiaya oleh Singapura, dan hal yang ia lakukan justru baik. Ia mengekspor hal-hal yang ngeri yang terjadi. Dan dia mengeskpos kegagalan keadilan yang melibatkan seorang warga Malaysia.” Meski sudah terlambat untuk mengembalikan Vignes Mourthy para pegiat dan pengacara hak azasi manusia kini berjuang untuk menyelamatkan penyelundup heroin asal Malaysia lainnya yang masih muda yang sedang menanti eksekusi. Vui Kong tahun ditangkap di Singapura, karena memiliki 47 gram heroin, yang dua kali lebih besar dari jumlah maksimal yang sudah ditentukan dalam hukuman mati. Latheefa Khoya dari Lawyers for Liberty mengatakan, pemerintah Malaysia tak berbuat banyak untuk membantu dia. “Laki-laki yang miskin dan malang dari Sabah ini tidak punya suara dan tidak bernilai secara politik, dan karena itulah kami tidak melihat upaya agresif lainnya yang dilakukan para politisi atau pemerintah untuk berupaya menyelamatkan nyawa warga Malaysia lainnya. Kami sudah kehilangan satu nyawa, tapi belum terlambat untuk menyelamatkan nyawa orang lain.” Satu kampanye untuk menyelamatkan dia juga diadakan di Singapura. Lebih dari seratus lima puluh warga Singapura berkumpul di Speaker's Corner di bawah rintik hujan. Mereka datang kesini untuk memberikan dukungan pada Yong Vui Kong, bandar narkoba yang kini menghadapi eksekusi. Pengacara hak azasi manusia M. Ravi mewakili dia. “Young Vui Kong adalah jiwa yang lembut. Ia menjadi orang Budha dan berubah. Anda tahu waktu itu ada hari khusus untuk menyampaikan rasa iba dan kasih kami pada Vui Kong dan 40 orang datang. Saya menunjukkan gambar orang-orang yang datang kepada dia. Dia menatap foto itu selama 20 menit.” “Anda tahu, satu fakta yang membuat saya sedih...di Singapura selama sepuluh tahun terakhir sejak presiden yang sekarang ini berkuasa -dan kita tahu dia tidak punya kekuasaan- sedih sekali melihat Kabinet yang merasa tidak pantas bagi mereka untuk memberikan grasi kepada mereka yang sudah digantung selama sepuluh tahun terakhir. Berapa ratus orang yang sudah digantung selama sepuluh tahun terakhir itu.” Menteri Hukum Singapura K. Shanmugam mengatakan Vui Kong diselamatkan maka itu bakal membuat kesan yang salah ke pada para bandar narkoba yang besar. Ia mengatakan, pesan itu seolah-olah menyuruh para bandar besar itu untuk mencari korban yaitu anak muda atau ibu dengan anak yang masih kecil, dan menyuruh mereka bawa narkoba ke Singapura. B/A: Setelah Monica Kotwani menyusun laporan ini untuk Asia Calling, Yong Vui Kong yang menjadi pengedar narokoba pertama dihukum mati Singapura, dikurangi hukumannya menjadi hukuman seumur hidup dan 15 kali hukuman cambuk. Hukuman ini sesuai UU Penyalahgunaan Obat-obatan terlarang yang diamandemen. Pengacara Yong, M. Ravi menyatakan kepada media, “Ini adalah hari yang paling membahagiakan bagi klien saya. Yong sudah melakukan kesalahan dan kini sudah bertobat. Dia gembira mendapatakn kembali hidupnya.” (http://www.portalkbr.com) |
Januari 09, 2015
Hukuman Mati Pertama Dalam Tiga Tahun Terakhir di Singapura
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar