Sepasang laki-laki dan perempuan masing-masing dihukum cambuk 100 kali atas dakwaan zina, dan seorang non muslim dikenai 28 cambuk atas dakwaan penjualan minuman keras di Kabupaten Aceh Tengah, Selasa, 12 April 2016.
Prosesi eksekusi cambuk yang digelar di halaman Gedung Olah Seni Takengon ini adalah pelaksanaan hukuman cambuk pertama terhadap pelaku zina dan warga non-Muslim sejak Aceh memberlakukan syariat Islam secara parsial tahun 2001.
Kepala Seksi Operasi dan Pengendalian Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah (Satpol PP dan WH) Aceh Tengah, Muslim, menyatakan di tempat yang sama juga dicambuk sepasang pelaku khalwat (mesum) masing-masing tiga kali.
Menurut dia, vonis bersalah terhadap pasangan yang melakukan zina, UMR (42) dan FTM (30), dijatuhkan majelis hakim Mahkamah Syariah Takengon pada 11 Maret lalu.
Muslim menyatakan pihaknya menyiapkan 10 algojo dari polisi WH untuk melakukan eksekusi cambuk terhadap kelima pelanggar syariat Islam tersebut.
“Yang lama eksekusi cambuk terhadap pelaku zina. Algojo ganti-ganti setiap 10 kali cambuk satu orang algojo,” katanya kepada BeritaBenar.
Ia menambahkan setiap 20 kali cambuk, tim medis memeriksa kesehatan pelaku zina yang dicambuk secara berturut-turut.
“Yang perempuan tidak pingsan. Dia kuat menahan cambukan dari algojo,” ujarnya.
Menurut saksi mata, saat eksekusi berlangsung terdengar beberapa kali teriakan dari kerumunan penonton supaya algojo menghunus rotan lebih keras lagi ke punggung terpidana cambuk. Sekitar 1.000 warga dan pejabat setempat menyaksikan hukuman yang terbuka untuk publik itu.
Tanpa pengacara
Kepala Seksi Intel Kejaksaan Negeri Takengon, Lili Suparli, menyatakan pelaksanaan eksekusi cambuk digelar setelah mempunyai kekuatan hukum tetap dari Mahkamah Syariah setempat karena para terpidana tidak menempuh upaya banding.
“Dalam persidangan, keduanya langsung mengakui telah berbuat zina sehingga jaksa tak perlu melakukan pembuktian dengan menghadirkan para saksi,” tutur Lili, seraya menambahkan hal itu sesuai klausul yang terdapat dalam Qanun Jinayat.
Menurut qanun yang resmi diberlakukan sejak 23 Oktober 2015 disebutkan bahwa seseorang yang mengaku telah melakukan perbuatan zina, pengakuannya dianggap sebagai permohonan untuk dijatuhi hukuman zina.
Dalam qanun itu juga disebutkan hukuman terhadap pelaku zina 100 kali cambuk.
Lili menyebutkan bahwa selama dua kali persidangan, pasangan itu tidak didampingi pengacara.
Sejak hukuman cambuk mulai diberlakukan tahun 2005 silam, kebanyakan terdakwa yang telah dieksekusi cambuk karena melanggar aturan syariat Islam tak didampingi pengacara.
Menurut Lili, pasangan itu ditangkap oleh warga di sebuah desa di Aceh Tengah pada Januari silam. Kemudian keduanya diserahkan ke penyidik Polisi Resort Aceh Tengah untuk diproses hukum.
“Mereka ditangkap warga saat sedang melakukan perbuatan itu. UMR adalah kepala desa, sedangkan FTM seorang janda,” ujar Muslim, “setelah kasus itu, ia dipecat dari jabatan kepala desa.”
Ketentuan untuk non-Muslim
Terkait hukuman atas perempuan Kristen berinisial RS (60) yang terbukti menjual minuman keras, Lili menjelaskan bahwa hal itu diatur dalam Qanun Jinayat dalam bentuk “perkecualian”.
Dalam Qanun Nomor 6 Tahun 2014 disebutkan bila melakukan pelanggaran bersama orang Islam, non-Muslim bisa memilih untuk diproses melalui pengadilan negeri dengan aturan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau tunduk pada Mahkamah Syariah yang menggunakan hukum jinayat.
Tapi ada juga klausul yang bunyinya kalau pelanggaran tidak diatur dalam KUHP atau ketentuan pidana lain di Indonesia, warga non-Muslim tetap diproses melalui hukum pidana Islam tersebut.
“Menjual minuman keras tak diatur dalam KUHP. Makanya ia diproses dengan qanun tersebut,” jelas Lili, seraya menambahkan bahwa selama proses hukum, perempuan itu juga tidak didampingi pengacara.
Lili menyebutkan RS ditangkap polisi pada akhir 2015. Kemudian, Mahkamah Syariah menjatuhkan hukuman cambuk 30 kali sesuai tuntutan jaksa.
“Hukuman 28 kali cambuk itu setelah dipotong masa tahanan selama dua bulan yang sama dengan dua kali cambuk,” ujarnya.
Lili memastikan bahwa meski hukuman dalam Qanun Jinayat lebih berat, tapi angka pelanggaran syariat Islam di Aceh Tengah meningkat, terutama kasus-kasus khalwat, berdua-duaan di tempat sepi antara pasangan yang belum menikah. (http://www.benarnews.org/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar