Pendahuluan
Pengertian lelang secara umum adalah penjualan dimuka umum yang dipimpin oleh pejabat lelang dengan penawaran harga secara terbuka atau lisan, tertutup atau secara tertulis, yang didahului dengan pengumuman lelang serta dilakukan pada saat dan tempat yanng telahditentukan.Sementara dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 atau disebut dengan Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) menyebutkan pengertian dari hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Undang-undang Hak Tanggungan dibentuk sebagai pelaksanaan dari Pasal 51 UUPA yang menggantikan berlakunya ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang diatur dalam Kitab Undang-undang HukumPerdata dan Creditverband yang di atur dalam Staatsblad 1908 No. 542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937 No. 190.
Hak Tanggungan adalah merupakan salah satu jenis jaminan kebendaan yang meskipun tidak dinyatakan dengan tegas, adalah jaminan yang lahir dari suatu perjanjian. Jika dilihat dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 UUHT dapat diketahui bahwa pada dasarnya pemberian Hak Tanggungan hanya dapat dimungkinkan jika dibuat dalam bentuk perjanjian.
Landasan Hukum Eksekusi Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 20 UUHT, dimana dalam Pasal tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya eksekusi atau penjualan hak atas tanah yang dibebani dengan Hak Tanggungan dapat dilaksanakan melalui 2 cara :
Lelang berdasarkan ketentuan Pasal 6 UUHT
Apabila debitor cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.
Lelang berdasarkan Pasal 20 Ayat (1) huruf b jo. Pasal 14 Ayat (2)
Rumusan Pasal 14 ayat (2) UUHT secara jelas menyatakan bahwa sertipikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial sebagaimana halnya suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Melalui penjualan secara lelang, seorang pembeli akan terjamin kepastian hukumnya atas kepemilikan obyek lelang (tanah) tersebut, karena dari setiap pelaksanaan lelang akan diterbitkan risalah lelang yang merupakan akta otentik dari pembelian suatu barang melalui proses penjualan secara lelang, sehingga dengan alat bukti risalah lelang tersebut hak kepemilkan atas obyek lelang ( tanah ) akan jatuh kepada pihak pemenang lelang, meskipun belum secara sempurna mendapat hak atas tanah tersebut, karena hak atas tanah tersebut harus didaftarkan, guna memperoleh legitimasi yang sempurna akan hak atas tanah tersebut kepada Kantor Pertanahan setempat.
Menurut Boedi Harsono bahwa peralihan hak atas tanah dibedakanmenjadi 2 hal yaitu: Peralihan hak atas tanah karena pewarisan tanpa wasiat serta Peralihan hak atas tanah karena pemindahan hak, salah satu bentuk pemindahan haknya bisa melalui proses jual beli, karena perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah yang bersangkutan sengaja dialihkan kepada pihak lain.
Lelang atau penjualan dimuka umum merupakan bagian dari terjadinya peralihan hak tersebut. Menurut Pasal 41 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menjelaskan bahwa peralihan hak melalui pemindahan hak dengan lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan kutipan risalah lelang yang dibuat oleh pejabat lelang.
Risalah lelang merupakan bukti adanya peralihan hak secara langsung terjadinya sutu perubahan data yuridis terhadap tanah yang dijual melalui lelang umum tersebut, sehingga menurut Pasal 36 (1) dan (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 bahwa pemeliharaan pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan pada data fisik dan data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah terdaftar dan secara otomatis pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kantor Pertanahan setempat dimana tanah tersebut berada. Sehingga dari pendaftaran hak atas tanah tersebut akan diterbitkan sertipikat sebagai surat tanda bukti hak, dan diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan.
Banyak hak-hak atas tanah yang tidak mempunyai cukup bukti secara tertulis, atau hanya berdasarkan kepada keadaan-keadaan tertentu diakui sebagai hak-hak seseorang berdasarkan kepada hak-hak bawaan dan diakui oleh yang empunya terhadap tanah tersebut. Jika terjadi mutasi kadang-kadang tidak ada bukti peralihannya ataupun bukti-bukti berupa surat segel yang telah ditandatangani oleh kepala desa dan saksi. Sehingga dari permasalahan tersebut maka pendaftaran tanah sangat berperan penting demi menjamin kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanahnya tersebut. Hakekat dari pendaftaran tanah menurut Pasal 1 butir (1) ketentuan umum PP No. 24 tahun 1997 bahwa pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan, dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuansatuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
Adapun tujuan dari pendaftaran tanah, yaitu : Memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak, menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan, serta terselenggaranya tertib administrasi, untuk mencapai tertib administrasi pertanahan, setiap bidang tanah dan satuan rumah susun, peralihan, pembebanan, dan hapusnya hak atas tanah harus terdaftar. Menurut Pasal 41 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 menjelaskan bahwa peralihan hak karena lelang dapat didaftarkan apabila ada kutipan risalah lelang yang dibuat oleh pejabat lelang.
Permasalahan yang timbul adalah mengenai eksekusi hak tanggungan, dimana dalam praktek sekarang dilakukan melalui parate eksekusi berdasarkan Pasal 6 UUHT. Pelaksanaan lelang tersebut dirasa tidak tepat, karena menganggap ketentuan Pasal 6 UUHT tentang lelang eksekusi merupakan ketentuan yang berdiri sendiri terlepas dari ketentuan tentang eksekusi lainnya. Ketentuan Pasal 6 UUHT adalah bagian dari parate eksekusi yang ketentuan dasarnya diatur dalam Pasal 20 (1) a UUHT. Selain itu, KPKNL juga mengesampingkan ketentuan Pasal 26 UUHT berikut penjelasannya serta Penjelasan Umum angka 9 UUHT, yang dengan tegas menyatakan bahwa ketentuan UUHT tentang eksekusi obyek hak tanggungan belum berlaku karena belum ada peraturan pemerintah sebagai pelaksanaannya.
Pembahasan
Pengaturan Eksekusi Hak Tanggungan Dalam UUHT
Istilah paratee executie sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, secara etimologis berasal dari kata “paraat” artinya siap ditangan, sehingga paratee executie dikatakan sebagai sarana eksekusi yang siap ditangan. Menurut kamus Hukum, paratee executie mempunyai arti pelaksanaan yang langsung tanpa melewatiproses .
Kalau istilah paratee executie secara impisit tidak terdapat di dalam peraturan gadai dan hipotik, tetapi di dalam UUHT istilah paratee executie tersebut secara implisit justru tersurat dan tersirat dalam UUHT. Khususnya diatur dalam
Penjelasan Umum angka 9 UUHT, yang menyebutkan: “Salah satu ciri Hak Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, jika debitor cidera janji. Walaupun secara umum ketentuan tentang eksekusi telah diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus ketentuan tentang eksekusi Hak Tanggungan dalam Undang-undang ini, yaitu yang mengatur lembaga “paratee executie” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 Reglement Indonesia yang diperbaharui ( Het Herziene Inlands Reglement ) dan Pasal 258 Reglement Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura ( Reglement tot Regeling van Het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura )...” Pengaturan mengenai eksekusi Hak Tanggungan, diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UUHT, yang menyebutkan bahwa apabila debitor cidera janji, maka pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUHT.
Seharusnya pelaksanaan eksekusi obyek Hak Tanggungan tidak mendasarkan pada Pasal 224 H.I.R. dan 258 R.Bg., seperti yang disebutkan oleh Penjelasan Umum angka 9 dan Penjelasan Pasal 14 ayat (2) dan (3). Melainkan, paratee eksekusi itu dilaksanakan tanpa meminta fiat dari Ketua Pengadilan Negeri. Kedua penjelasan tersebut bila dihubungkan dengan Pasal 6 UUHT, kemudian dikonstruksikan secara yuridis, maka dalam pelaksanaan eksekusi obyek Hak Tanggungan dapat dijabarkan seperti dibawah ini :
Pertama, pembentuk UUHT memberikan pengertian pelaksanaan eksekusi obyek Hak Tanggungan menimbulkan pemaknaan ganda, maksudnya satu sisi pelaksanaannya melalui pelelangan umum ( Pasal 6 UUHT ) tetapi pada sisi lain harus mendapatkan fiat dari Ketua Pengadilan Negeri ( berdasarkan Pasal 224 H.I.R. / 258 R.Bg.). Pemaknaan ganda menimbulkan pengertian yang kabur ( vage norman ). Hal tersebut menunjukkan pada sisi lain sifat tidak konsistennya Pembentuk UUHT dan sisi lain, citranya terhadap nilai kepastian hukumnya tidak pernah pasti.
Kedua, apabila eksekusi obyek Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 6 UUHT ditinjau dari sifat hukumnya merupakan peraturan yang bersifat hukum materiil yang didalamnya terkandung sifat hukum formil atau kalau istilah yang diberikan Sudikno adalah hukum materiil yang didalamnya terkandung hukum formil. Berlakunya hak kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum syaratnya jika debitor cidera janji. Maksud melalui pelelangan umum berarti tanpa harus minta fiat dari Ketua Pengadilan Negeri. Apabila pelaksanaan paratee eksekusi harus melalui dan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri ( Pasal 224 H.I.R.), dapat ditafsirkan menyimpang dari Pasal 6 UUHT yang merupakan peraturan yang sifatnya substantif. Oleh karena apabila melaksanakan eksekusi obyek Hak Tanggungan harus melalui fiat Ketua Pengadilan Negeri, berarti menyimpangi aturan Pasal 6 UUHT. Oleh karenanya bentuk peraturan pelaksanaan paratee eksekusi obyek Hak Tanggungan yang bersifat prosedural telah menyimpangi aturan yang bersifat substantif. Aturan yang menyimpang tentunya bukan untuk digunakan melainkan patut dan layak untuk diabaikan atau bahkan tidak perlu digunakan sebab dapat menjadi kendala bagi salah satu tujuan hukum yakni kegunaan ( zwekmaszigkeitn ).
Ketiga, pelaksanaan eksekusi obyek Hak Tanggungan oleh Pembentuk UUHT, tidak didasarkan pada norma dalam batang tubuh yang mengatur secara khusus materi paratee eksekusi ( Pasal 6 UUHT ), melainkan menggunakan penafsiran otentik, yang mengacu pada rumusan bagian Penjelasan Umum Angka 9 dan Penjelasan Pasal 14 ayat ayat (2) dan (3) UUHT, yang mengatur materi eksekusi Sertipikat Hak Tanggungan. Sehingga pelaksanaannya mendasarkan Pasal 224 H.I.R. / 258 R.Bg., sehingga timbul adanya konflik norma. Akibatnya tidak ada kemudahan yang semula disediakan oleh Undang-undang bagi kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama apabila debitor ingkar janji.
Sebenarnya untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6 UUHT, petunjuk pelaksanaannya diatur dalam Surat Edaran Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara Nomor : SE-21 / PN / 1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pasal 6 Undangundang Hak Tanggungan menentukan bahwa :
“... Penjualan tersebut bukan secara paksa, tetapi merupakan tindakan pelaksanaan perjanjian oleh pihakpihak. oleh karena itu tidak perlu ragu-ragu lagi melayani permintaan lelang dari pihak perbankan atas Obyek Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 6 UUHT.”
Penjualan Obyek Hak Tanggungan Melalui Lelang
Pemohon atau penjual menurut Ketentuan Umum Pasal 1 angka 16 Peraturan Menteri Keungan Nomor 40 / PMK. 07/ 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang adalah perorangan, badan hukum / usaha atau instansi yang berdasarkan peraturan perundang-undangan atau perjanjian berwenang untuk menjual barang secara lelang. Adapun hak dan kewajiban dari pemohon atau penjual lelang adalah sebagai berikut :
Hak pemohon atau penjual lelang :
Memilih cara penawaran dalam pelaksanaan lelang, maksudnya adalah menentukan cara penawaran dalam suatu pelelangan.
Menetapkan syarat-syarat lelang (bila dianggap perlu) antara lain menetapkan besarnya uang jaminan, membuat nilai limit.
Menerima uang hasil lelang yang telah dikurangi dengan Bea Lelang Penjual dan Pph Pasal 25 atas pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan apabila ada.
Menerima salinan risalah lelang dalam hal barang laku terjual.
Kewajiban pemohon atau penjual lelang :
Mengajukan permintaan lelang ke KPKNL setempat dengan melampirkan syarat-syarat atau dokumen-dokumen yang perlu.
Mengadakan pengumuman lelang.
Menetapkan harga atau nilai limit yang wajar atas barang yang akan dilelang dan mentaati tata tertib lelang.
Membayar Bea Lelang, biaya administrasi, dan pajak atau pungutan lainnya (misalnya Pph Pasal 25).
Menyerahkan barang dan dokumen-dokumennya kepada pembeli.
Didalam proses lelang obyek Hak Tanggungan, kreditor atau pihak penjual, mengajukan permohonan lelang kepada KPKNL. Setelah KPKNL yakin semua syarat telah dipenuhi oleh pihak pemohon lelang, maka KPKNL akan menentukan jadwal lelang yang selanjutnya akan diberitahukan kepada pihak penjual.Setelah pihak penjual menerima jadwal yang diajukan oleh KPKNL selanjutnya akan melaksanakan pengumuman penjualan lelang terhadap obyek Hak Tanggungan sesuai dengan prosedur yang ada.
Pengumuman dilakukan agar pelaksanaan lelang tersebut diketahui oleh masyarakat luas dan berusaha untuk menjaring beberapa peminat lelang untuk menjadi peserta lelang.
Peserta lelang menurut Salbiah adalah perorangan atau badan usaha dapat menjadi peserta lelang, kecuali yang nyatanyata dilarang oleh peraturan yang berlaku, seperti : Hakim, Jaksa, Panitera, Pengacara, Pejabat Lelang, Juru Sita, Notaris, yang terkait dalam pelaksanaan lelang tersebut. Adapun hak dan kewajiban dari peserta lelang yaitu :
Hak Peserta Lelang :
Melihat dan meminta keterangan atas dokumen-dokumen barang yang akan dilelang.
Meminta kembali uang jaminan bila tidak ditunjuk sebagai pemenang lelang.
Meminta petikan atau salinan Risalah Lelang atau Grosse dan kwitansi lelang bila ditunjuk sebagai pemenang lelang.
Mendapatkan barang beserta dokumen-dokumennya bila ditunjuk sebagai pemenang lelang.
Kewajiban Peserta Lelang :
Menyetorkan uang jaminan kepada Pejabat Lelang bila disyaratkan demikian.
Peserta atau kuasanya hadir dalam pelaksanaan lelang.
Mengisi surat penawaran dengan baik dan benar dalam lelang tertutup atau tertulis.
Membayar pokok lelang, bea lelang, uang miskin, dan pajak atau pungutan lainnya bila ditunjuk sebagai pemenang lelang.
Mentaati tata tertib lelang.
Sifat dari pengumuman lelang tersebut mutlak dilaksanakan oleh pihak pemohon lelang sesuai dengan Pasal 18 PMK No. 40 / PMK.07/ 2006. Setelah terkumpul beberapa peminat atau peserta lelang, maka dipersyaratkan kepada setiap peserta lelang yang ingin mengikuti pelaksanaan lelang untuk terlebih dahulu membayar uang jaminan yang besarnya telah ditentukan oleh pihak penjual dengan memperhatikan saran dari Kantor Lelang, hal tersebut sesuai dengan Pasal 15 ayat (3) PMK No.40 / PMK.07 / 2006.
Setelah terkumpul beberapa peserta lelang, maka lelang tersebut dapat segera dilaksanakan, dan pelaksanaan lelang tersebut dipimpin oleh Pejabat Lelang dan dapat dibantu oleh Pemandu Lelang (Pasal 34 ayat (1) PMK No. 40 / PMK.07 / 2006 ). Adapun tugas, hak, dan kewajiban dari pejabat lelang menurut Salbiah adalah sebagai berikut :
Tugas Pejabat Lelang :
Melaksanakan pelayanan lelang di wilayah kerjanya, termasuk di dalamya pejabat lelang bertanggungjawab terhadap administrasi penyelenggaraan lelang yang dilaksanakan.
Pejabat Lelang mempunyai tugas melakukan persiapan lelang, pelaksanaan lelang dan membuat laporan pelaksanaan lelang.
Hak Pejabat Lelang :
Meminta kelengkapan berkas persyaratan lelang.
Menolak pelaksanaan lelang karena tidak yakin akan kebenaran formal berkas persyaratan lelang.
Melihat barang yang akan dilelang.
Meminta bantuan dari aparat keamanan ( bila diperlukan ).
Memberikan kuasa kepada pihak lain.
Kewajiban Pejabat Lelang :
Menyetor uang hasil lelang yang diterima dari pembeli lelang ke bendaharawan penerima atau rekening KPKNL.
Membuat dan menandatangani risalah lelang.
Membuat laporan pelaksanaan lelang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam praktek penjualan melalui lelang yang dilakukanoleh KPKNL tehadap tanah atau bukan tanah diawali dengan pembacaan tata tertib lelang, setelah para peserta lelang memahami tentang tata cara pelaksanaan lelang, Pejabat Lelang sebelum membagikan formulir penawaran harga lelang, akan menjelaskan barang yang akan dilelang. Dari formulir penawaran tersebut akan ditentukan atau akan diketahui siapa pembeli barang lelang yaitu peserta lelang yang akan mengajukan penawaran tertinggi yang mencapai atau melampaui nilai limit yang disahkan sebagai pemenang lelang oleh Pejabat Lelang.
Setelah diperoleh pemenang lelang atau pembeli, maka pembeli tersebut wajib membayar harga lelang yang diperhitungkan dengan uang jaminan, bea lelang, dan untuk uang miskin dikenakan sebesar 0 % (nol persen). Apabila pembeli tidak memenuhi kewajibannya tersebut maka dari ketentuan Pasal 50 ayat (5) PMK No. 40 / PMK.07 / 2006 yang menjelaskan bahwa orang tersebut tidak boleh mengikuti lelang di seluruh wilayah Indonesia dalam waktu 6 bulan. Akan tetapi apabila orang tersebut memenuhi kewajibannya maka terhadap orang tersebut akan dikeluarkan Risalah Lelang sebagai alat bukti yang disahkan oleh Pejabat Lelang yang menyatakan bahwa orang tersebut merupakanpemenang lelang yang sah.
Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Yang Berasal Dari Penjualan Melalui Lelang
Proses pendaftaran tanah menurut Pasal 41 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah menjelaskan bahwa peralihan hak melalui pemindahan hak dengan lelang hanya dapat didaftarkan dengan atau jika dibuktikan adanya kutipan Risalah Lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang, jadi proses pendaftaran tanah karena penjualan di muka umum hanya dapat dilaksanakan apabila ada bukti Risalah Lelang yang telah disahkan oleh Pejabat Lelang.
Perlu diperhatikan dalam setiap proses pendaftaran tanah yang berasal dari lelang, apabila pada obyek pendaftaran tersebut melekat hak lain seperti Hak Tanggungan, maka obyek pendaftarannya harus sudah bersih dari beban yang melekat pada tanah atau hak tersebut harus diroya terlebih dahulu.Karena salah satu syarat pendaftaran tanah kerena lelang harus terbebas dari segala beban pihak lain.
Menurut Pasal 109 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala BPN No. 3 Tahun 1997, bahwa Sebelum dilaksanakan pendaftaran peralihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkan keterangan dari Kepala KantorLelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (2) diwajibkan mencantumkan catatan mengenai adanya sita tersebut dihapus, serta pada ayat (3) Pasal tersebut menjelaskan bahwa berdasarkan kutipan Risalah Lelang dan pernyataan dari kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 (3) catatan mengenai adanya Hak Tanggungan yang bersangkutan dihapus.
Setelah Kantor Pertanahan yakin bahwa telah ada penghapusan beban tersebut dan pemohon juga telah melampirkan atau melengkapi semua persyaratan yang diperlukan, maka pelaksanaan peralihan hak dapat dilaksanakan, adapun persyaratan yang diperlukan untuk melakukan pendaftaran atau peralihan hak karena pelelangan adalah sebagai berikut :
Surat Permohonan.
Kutipan Risalah Lelang.
Sertipikat Asli.
Apabila Sertipikat asli tidak diberikan, harus ada keterangan Kepala Kantor Lelang mengenai alasan tidak diserahkannya Sertipikat yang dimaksud.
Untuk lelang non eksekusi diproses sertipikat pengganti yang hilang. Maka dilakukan pengumuman satu kali selama satu bulan di media cetak (prosedur penerbitan Sertipikat pengganti karena hilang dilakukan secara terpisah).
Untuk lelang eksekusi diterbitkan sertipikat pengganti dengan nomor hak yang baru, nomor hak yang lama dimatikan, hal penerbitan Sertipikat tersebut diumumkan di media massa dengan biaya pemohon.
Identitas diri pemenang lelang dan atau kuasanya (foto copy) :
Perorangan : KTP dan KK yang masih berlaku dan dilegalisir oleh pejabat yang berwenang.
Badan hukum : Akta Pendirian dan Pengesahan Badan Hukum, dilegalisir oleh pejabat yang berwenang.
Surat Kuasa, jika permohonannya dikuasakan.
Bukti pelunasan harga pembelian.
Bukti SSB BPHTB.
Bukti pelunasan SSP PPH final / catatan hasil lelang.
Sertipikat Hak Tanggungan jika dibebani Hak Tanggungan.
Surat pernyataan kreditor melepaskan Hak Tanggungan untuk jumlah yang melebihi hasil lelang.
Risalah lelang harus memuat keterangan Roya atau pengangkatan sita.
Dokumen-dokumen yang ada diserahkan kepada Petugas Teknis atau (loket II), setelah dokumen diterima maka Petugas Teknis akan memeriksa semua kelengkapan dokumen yang ada,apabila tidak lengkap maka akan dikembalikan lagi kepada pemohon untuk dilengkapi, namun apabila dokumen tersebut lengkap dan kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan olehpihak pemohon, maka Petugas Teknis akan membuat Surat Tanda Terima Dokumen (STTD) dan Surat Perintah Setor (SPS) dan menyerahkannya kepada pihak pemohon.
Setelah pemohon memperoleh asli SPS dan STTD dari Petugas Teknis, maka selanjutnya pemohon melakukan pembayaran kepada Petugas Bendahara Khusus Penerimaan (BKP) sesuai dengan biaya yang tercantum dalam SPS, dan Petugas BKP akan membuatkan kuitansi yang akan disampaikan kepada pihak pemohon, kemudian Petugas BKP akan meneruskan salinan kepada Petugas Teknis untuk dibukukan ke dalam buku permohonan.
Petugas Teknis akan meneruskan dokumen tersebut kepada Kasubsi Pendaftaran dan Peralihan Hak dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPH dan PPAT), Kasubsi PPH dan PPAT akan meneliti dan membuat disposisi (menunjuk Petugas Pelaksana untuk mengolah dokumen tersebut), setelah ditunjuk beberapa Petugas Pelaksana PPH dan PPAT, selanjutnya Petugas Pelaksana PPH dan PPAT akan melakukan peminjaman Buku Tanah kepada Petugas Arsip dan akan mengoreksi atau mengecek semua kelengkapan dokumen lama Sertipikat dengan Buku Tanahnya, mempelajari Akta PPATnya (identitas komparan dsb) dan akan mencatat peralihan hak (dituliskan nama pembeli di Buku Tanah Lama dan mencoret nama penjual atau pemilik lama), membuat konsep Sertipikat dan Buku Tanah atas nama pemilik baru, serta membuat daftar nama, melakukan pencatatannya pada Sertipikat lama.
Seluruh dokumen sudah dikelola dan dikoreksi oleh Petugas Pelaksana PPH dan PPAT dengan benar, maka selanjutnya dokumen tersebut akan langsung dikirimkan kepada Kasubsi PPH dan PPAT untuk dikoreksi ulang, apabila dokumen yang diberikan dianggap kurang lengkap atau tidak benar maka dokumen tersebut akan dikembalikan lagi kepada Petugas Pelaksana PPH dan PPAT untuk dilengkapi, namun apabila dokumen tersebut dianggap sudah tepat dan benar dalam pengolahannya maka Kasubsi PPH dan PPAT akan membubuhkan paraf catatan peralihan hak pada Buku Tanah dan Sertipikat, dan meneruskan dokumen kepada Kepala Kantor Pertanahan.
Kepala Kantor Pertanahan yang menerima dokumen dari Kasubsi PPH dan PPAT, akan mengoreksi ulang dokumen yang diberikan, jika dokumen tersebut dianggap kurang lengkap atau tidak benar maka dokumen tersebut akan dikembalikan kepada Petugas Pelaksana PPH dan PPAT untuk dilengkapi, namun apabila dokumen tersebut dianggap sudah lengkap dan benar dalam pengolahannya maka Kepala Kantor akan membubuhkan paraf catatan peralihan hak pada Buku Tanah dan Sertipikat, dan meneruskan dokumen kepada Petugas Pelaksana PPH dan PPAT.
Setelah dokumen yang diserahkan sudah lengkap denganadanya pengesahan dari Kasubsi PPH dan PPAT serta dari Kepala Kantor Pertanahan, maka Petugas Pelaksana PPH dan PPAT akan memberikan stempel pengesahan dari Kantor Pertanahan yang menerbitkan Sertipikat itu, dan akan mengembalikan Buku Tanah ke Petugas Arsip Buku Tanah serta menyerahkan dokumen Warkah kepada Petugas Arsip Warkah,dan selanjutnya akan menyerahkan Sertipikat yang sudah disahkan tersebut kepada Petugas BKP.
Dokumen yang diberikan oleh Petugas Pelaksana PPH dan PPAT kepada Petugas BKP akan dibukukan dalam daftar isian dan meneruskan dokumen tersebut kepada Petugas Penyerah Sertipikat (loket IV), Petugas loket IV akan memberikan Sertipikat yang sudah disahkan kepada pemohon, akan mencatat daftar isian pada Buku Tanah dan Sertipikat,membukukan tanggal penerimaan Sertipikat oleh pemohon, dengan menyebutkan nomor daftar isian, serta mengarsipkan dokumen tersebut di bagian arsip.
Kesimpulan
Penjualan Obyek Hak Tanggungan melalui lelang berdasarkan paratee eksekusi Pasal 6 UUHT sebagai sarana untuk mempercepat pelunasan piutang manakala debitor wanprestasi.
Pengaturan eksekusi obyek Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 6 UUHT ( paratee executie ) tidak konsisten dengan prinsip hukum jaminan, sebab terdapat kerancuan pengaturan mengenai perolehan hak kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama, karena di satu sisi hak itu terlahir karena Undangundang, disisi lain hak tersebut terlahir secara diperjanjikan, sehingga pengertian paratee executie menimbulkan makna ganda / kabur. Hal tersebut akibat pemikiran dari pembentuk UUHT yang tidak konsisten (inkonsistensi).
Pengaturan tentang prosedur pelaksanaan penjualan obyek Hak Tanggungan melalui lelang terdapat kontroversi, karena disatu sisi pelaksanaan penjualannya melalui eksekusi parate berdasarkan Pasal 6 UUHT dan pada sisi lain pelaksanaan harus melalui fiat Ketua Pengadilan Negeri. Pihak Kreditor lebih sering menggunakan parate eksekusi berdasarkan Pasal 6 UUHT, tetapi adakalanya pihak Kreditor menggunakan eksekusi melalui fiat Ketua Pengadilan Negeri dengan alasan eksekusi tersebut rawan gugatan dan pelaporan ke kepolisian atau obyek lelang diperkirakan sangat besar nilainya.
Dalam perkembangannya, meskipun adanya Peraturan Menteri Keuangan No. 40 / PMK.07 / 2006, tertanggal 30 Mei 2006,kemudian ditindak lanjuti adanya Peraturan Direktur Jenderal PER-02 / PL / 2006, tanggal 30 Juni 2006, yang memberikan kewenangan kepada KPKNL untuk melaksanakan Pasal 6 UUHT ( paratee executie ), namun belum dilaksanakan sepenuhnya.
Pelaksanaan Lelang harus dilakukan oleh Pejabat Lelang dan dapat dibantu Pemandu Lelang. Penawaran harga dilakukan secara terbuka atau lisan dan tertutup atau tertulis atau inklusif dan ekslusif, yang didahului dengan pengumuman, serta dalam pelelangan ditentukan adanya uang jaminan, Bea Lelang, dan harga limit.
Proses pendaftaran tanah yang berasal dari penjualan lelang hanya dapat dibuktikan dengan adanya Risalah Lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang , apabila data fisik dan data yuridis tanah yang bersangkutan belum terdaftar maka perlu diadakan pemeriksaan tanah dan dalam SKPT disebutkan bahwa tanah tersebut belum terdaftar, Kantor Pertanahan menerbitkan sertipikat pengganti apabila pendaftaran peralihan hak karena lelang eksekusi yang sertipikatnya tidak dapat diserahkan.
Daftar Pustaka
Boedi Harsono , 1999, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, isi dan pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.
Departemen Keuangan Republik Indonesia, Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara, 1995 Lelang Barang-Barang Milik Badan Usaha Milik Negara/Daerah, Kantor Wilayah IV Kantor Lelang Negara, Bandung.
Kamus Hukum Edisi Lengkap, 1977, Bahasa Belanda-Indonesia-Inggris, Aneka, Semarang.
Salbiah, 2004, Materi Pokok Pengetahuan Lelang; Pusat Pendidikan dan Pelatihan Perpajakan,Jakarta.
Undang-undang
Undang-Undang Lelang (Vendu Reglement, Ordonantie 28 Pebruari 1908 Staatsblad 1908 Nomor 189 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1941 Nomor 3
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Peraturan Pemerintah Lelang (Vendu Instructie, Staatsblad 1908 Nomor 190 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1930 Nomor 85.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar