Sejumlah aktivis keagamaan dan jaringan buruh migran melakukan aksi damai dan doa bersama terkait hukuman mati di depan Istana Merdeka, Jakarta, 28 April 2015. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Pegiat hak asasi manusia menilai kebijakan Presiden Joko Widodo untuk memerangi narkotik melalui hukuman mati sebagai pencitraan politik.
"Eksekusi mati ini melekat dengan praktik politik pencitraan untuk menghimpun dukungan politik rakyat yang mulai memudar," kata Ketua Setara Institute, Hendardi, dalam keterangan pers, Rabu (29/4).
Hendardi menyatakan, eksekusi mati tidak akan menyelesaikan krisis narkotik yang selama ini digadang-gadang oleh sang Presiden. Sebaiknya, menurut dia, Jokowi lebih berfokus kepada pencegahan dan reformasi kepolisian dalam menanggulangi narkotik.
Dia juga menyinggung hilangnya nyawa 14 orang hanya dalam jangka waktu enam bulan jabatan Jokowi. Eksekusi terhadap delapan orang terpidana di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, semalam, menambah daftar terpidana mati yang meregang nyawa di hadapan regu tembak setelah pada awal tahun pemerintah juga mengeksekusi enam orang lainnya.
Alasan Presiden untuk menegakkan hukum dan kedaulatan sebuah negeri pun dia nilai tidak relevan dalam konteks ini. "Suatu alasan yang tidak berlaku dalam konteks kemanusiaan dan hak asasi manusia yang bersifat universal," kata Hendardi.
Sementara itu, Jokowi menyatakan, masyarakat yang tidak setuju dengan adanya eksekusi ini seharusnya bisa membandingkan satu terpidana mati dengan 18 ribu warga Indonesia yang meninggal akibat narkoba.
"Kalau dihitung setahun, ada 18 ribu. Itu yang harus dijelaskan. Jangan yang dijelaskan yang dieksekusi. Jelaskan dong nama-nama 18 ribu itu siapa saja. Tulis! Setiap tahun 18 ribu orang, siapa, siapa, baru (mereka) merasakan!" ujar Jokowi dua hari lalu.
Semalam, delapan orang terpidana telah dieksekusi di pulau yang disebut Alcatraz a la Indonesia itu. Semula eksekusi juga akan dilakukan terhadap dua terpidana lainnya, namun urung.
Terpidana mati asal Perancis, Serge Areski Atlaoui, lolos dari eksekusi kali ini karena sedang mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara. Sementara terpidana mati asal Filipina, Mary Jane Fiesta Veloso, tidak jadi dieksekusi pada menit-menit terakhir karena Jokowi memberinya kesempatan untuk menjalani pemeriksaan.
Veloso disebut sebagai korban tindak kejahatan perdagangan orang dan pemerintah Filipina hendak mendalami kasus itu lebih jauh. Jokowi menyetujui permohonan Filipina dan Veloso kini dikembalikan ke Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan, Sleman, Yogyakarta.
(CNN Indonesia)
"Eksekusi mati ini melekat dengan praktik politik pencitraan untuk menghimpun dukungan politik rakyat yang mulai memudar," kata Ketua Setara Institute, Hendardi, dalam keterangan pers, Rabu (29/4).
Hendardi menyatakan, eksekusi mati tidak akan menyelesaikan krisis narkotik yang selama ini digadang-gadang oleh sang Presiden. Sebaiknya, menurut dia, Jokowi lebih berfokus kepada pencegahan dan reformasi kepolisian dalam menanggulangi narkotik.
Dia juga menyinggung hilangnya nyawa 14 orang hanya dalam jangka waktu enam bulan jabatan Jokowi. Eksekusi terhadap delapan orang terpidana di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, semalam, menambah daftar terpidana mati yang meregang nyawa di hadapan regu tembak setelah pada awal tahun pemerintah juga mengeksekusi enam orang lainnya.
Alasan Presiden untuk menegakkan hukum dan kedaulatan sebuah negeri pun dia nilai tidak relevan dalam konteks ini. "Suatu alasan yang tidak berlaku dalam konteks kemanusiaan dan hak asasi manusia yang bersifat universal," kata Hendardi.
Sementara itu, Jokowi menyatakan, masyarakat yang tidak setuju dengan adanya eksekusi ini seharusnya bisa membandingkan satu terpidana mati dengan 18 ribu warga Indonesia yang meninggal akibat narkoba.
"Kalau dihitung setahun, ada 18 ribu. Itu yang harus dijelaskan. Jangan yang dijelaskan yang dieksekusi. Jelaskan dong nama-nama 18 ribu itu siapa saja. Tulis! Setiap tahun 18 ribu orang, siapa, siapa, baru (mereka) merasakan!" ujar Jokowi dua hari lalu.
Semalam, delapan orang terpidana telah dieksekusi di pulau yang disebut Alcatraz a la Indonesia itu. Semula eksekusi juga akan dilakukan terhadap dua terpidana lainnya, namun urung.
Terpidana mati asal Perancis, Serge Areski Atlaoui, lolos dari eksekusi kali ini karena sedang mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara. Sementara terpidana mati asal Filipina, Mary Jane Fiesta Veloso, tidak jadi dieksekusi pada menit-menit terakhir karena Jokowi memberinya kesempatan untuk menjalani pemeriksaan.
Veloso disebut sebagai korban tindak kejahatan perdagangan orang dan pemerintah Filipina hendak mendalami kasus itu lebih jauh. Jokowi menyetujui permohonan Filipina dan Veloso kini dikembalikan ke Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan, Sleman, Yogyakarta.
(CNN Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar