Dinilai
menjadi beban anggaran pemerintah kota/kabupaten, pengelolaan SMA/SMK dialihkan
ke pemerintah provinsi. Namun, Pemerintah Kota Blitar dan Kota Surabaya.
================
Mulai 1 Januari 2017, seperti amanah UU Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pengelolaan SMA dan SMK dialihkan
dari pemerintah kabupaten/kota ke pemerintah provinsi. Lantaran telah
menginvestasikan cukup banyak anggaran dan dapat mengganggu program yang telah
dijalankan, Pemerintah Kota Blitar dan Pemerintah kota Surabaya mengajukan
judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pekan lalu Wali Kota Blitar Samanhudi Anwar secara
resmi mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi di Jakarta. Dia menolak
pengambil-alihan pengelolaan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK) oleh pemerintah provinsi sebagaimana diatur oleh UU Nomor 23 tahun 2014.
Dengan didampingi tim Biro Hukum Pemerintah
Kota Blitar, Samanhudi mendaftarkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi dengan nomor
register 1556. Pendaftaran yang dilakukan pada pukul 08.28 WIB itu berisi
permohonan judicial review UU Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. “Pemerintah Blitar menolak
pengelolaan SMA dan SMK diambil alih-provinsi,” kata Kasubag Humas dan Protokol
Pemkot Blitar Gigih Mardana, Senin 7 Maret 2016.
Pengajuan gugatan ini, demikian penjelasan Gigih,
juga dilakukan Pemerintah Kota Surabaya yang hampir bersamaan waktunya dengan
Pemkot Blitar, Senin (7/3) pagi pukul 09.00 WIB, dengan nomor register 1557.
Kedua pemerintah daerah ini sepakat menolak pengambil-alihan pengelolaan SMA
dan SMK oleh pemerintah provinsi sebagai bentuk pertanggung-jawaban moral
bupati/wali kota terhadap pendidikan di daerah.
UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
menyeebutkan pemerintah daerah kabupaten/kota bertanggung-jawab terhadap
pendidikan setingkat SD/SMP. Sedangkan pemerintah provinsi bertanggung-jawab
atas pendidikan setingkat SMA/SMK. Sementara pendidikan tinggi menjadi ranah
dan tanggungjawab pemerintah pusat.
Ketentuan ini diterapkan Pemerintah mulai 1
Januari 2017 setelah menilai beban yang ditanggung pemerintah daerah kabupaten/kota
soal pendidikan terlalu berat dan harus dibagi dengan pemerintah provinsi. Hal
ini mencakup pula kewenangan alokasi dana dari APBN dan APBD, tenaga pengajar,
insfastruktur sekolah, pembangunan sekolah, dan siswa.
Wali Kota Blitar Samanhudi Anwar menganggap
pemerintah daerah telah berinvestasi sangat besar terhadap pembangunan SMA/SMK --baik
berupa pembangunan infrastruktur maupun operasional sekolah. Apalagi sejak lima
tahun terakhir Pemerintah Kota Blitar telah mengucurkan anggaran tidak sedikit
untuk memberikan berbagai tunjangan kepada pelajar mulai jenjang SD hingga SMA
seperti sepatu gratis, seragam gratis, buku gratis, alat tulis gratis, bus sekolah
gratis, tas gratis, pembebasan pembayaran uang sekolah, hingga pemberian
perangkat elektronik tablet gratis.
Samanhudi Anwar mengatakan, bahwa investasi
Pemerintah Kota Blitar terhadap pendidikan tidak kecil. Bahkan, Pemkot Blitar
telah menyiapkan anggaran Rp25 miliar untuk uang saku siswa pada 2016. Sebab
itu, pengambil-alihan pengelolaan oleh pemerintah provinsi dinilai tidak tepat lantaran
berlawanan dengan semangat otonomi daerah yang diatur dalam UU Nomor 23 tahun
2014. “Ini bukan otoda sebenarnya, karena masih ada kebijakan dan kewenangan
yang diambil dari pemerintah daerah,” kata Samanhudi beberapa waktu lalu.
Samanhudi pun mengajak seluruh kepala daerah
di Indonesia untuk bersama-sama mengajukan judicial
review atas materi UU Nomor 23 tahun 2014 ke Mahkamah Konstitusi.
Isi gugatan Pemerintah Kota Blitar adalah
meminta MK melakukan judicial review
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang mulai berlaku penuh 1 Januari 2017.
Dalam klausul perundangan disebutkan bahwa pemerintah daerah hanya bertanggung-jawab
pada pendidikan tingkat SD/SMP. Sedangkan pengelolaan SMA/SMK berada di bawah
wewenang pemerintah provinsi.
Penerbitan kebijakan tersebut mengacu pada
usulan Deputi Menko Pembangunan dan Kebudayaan (PMK) Bidang Koordinasi
Pendidikan dan Agama. Pemerintah pusat menilai beban pemerintah daerah terkait
pendidikan terlalu berat dan seyogyanya dibagi dengan pemerintah provinsi.
Pembagian itu meliputi kewenangan alokasi APBN
dan APBD, tenaga pengajar, insfastruktur sekolah, pembangunan sekolah, dan siswa.
Pemkot Blitar, kata Gigih, menilai kebijakan itu merugikan daerah, khususnya
masyarakat yang sebelumnya menerapkan program pendidikan gratis.
Pemkot tidak ingin melihat pelajar di Kota
Blitar kehilangan fasilitas pendidikan gratis mulai sepatu, seragam, alat
tulis, tas, tablet, SPP, her registrasi, uang gedung hingga jemputan bus
sekolah yang selama ini diterima. “Kebijakan pengambil-alihan pengelolaan itu
juga bentuk pengebirian otonomi daerah. Karenanya patut dikaji ulang,“ ujar
Gigih.
Dalam pengajuan gugatan ini Pemkot Blitar
telah menyiapkan semua dokumen yang diperlukan, termasuk keterangan saksi ahli.
Prawoto Sadewo salah seorang warga Kota Blitar
yang memiliki anak di salah satu sekolah menengah atas melihat kebijakan baru
itu sebagai ancaman. Sebab, dia khawatir perpindahan pengelolaan dari
pemerintah daerah ke provinsi akan menghilangkan fasilitas pendidikan gratis
yang selama ini membantu masyarakat Kota Blitar. “Kalau fasilitas pendidikan
gratis sampai hilang gara-gara perpindahan pengelolaan tentu masyarakat yang
paling dirugikan,“ ujarnya.
Tidak hanya kedua pemerintahan daerah yang
mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Warga masyarakat yang merasa
dirugikan oleh kebijakan itu juga mengajukan gugatan serupa. Seperti dilansir SURYA.co.id, empat orang wali murid dari
Surabaya resmi mengajukan permohonan uji materi UU 23 tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah ke Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (7/3).
Gugatan ini merupakan tindakan kontra UU 23/2014
yang terjadi setelah wali Kota Surabaya mengajukan keberatan pada presiden RI. Pemohon
gugatan ini adalah Ketua Komite SMAN 4 Surabaya, Bambang Soenarko; Ketua Komite
SMPN 1 yang juga wali murid SMAN 5 Surabaya, Enny Ambarsari, Radian Jadid, dan
Wiji Lestari. Mereka menunjuk tim kuasa hukum, antara lain, Edward Dewaruci,
Nonot Suryono, Dwi Istiawan, dan Riyanto.
Bambang menjelaskan, gagasan untuk menggugat
UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, terutama pada pasal pengelolaan
SMA/SMK, bukan tindakan tiba-tiba. Semuanya sudah mengalami proses. "Kami
ini hanya perwakilan saja setelah melalui rembuk-rembuk dengan wali
murid," jelasnya.
Landasan gugatan itu, jelasnya, adalah UU
sistem pendidikan nasional, kemampuan Kota Surabaya membiayai sendiri
pendidikan SMA/SMK, serta kewajiban pemerintah daerah kepada warganya. Dengan
begitu dirinya berharap segera ada panggilan sidang judicial review untuk beberapa
pasal UU 23/2014. "Untuk apa kita bayar pajak kalau tidak bisa menikmati
sendiri hasilnya," terangnya.
Secara terpisah, Kuasa Hukum Pemohon Edward
Dewaruci mengatakan, permohonan pengujian materiil UU 23/2014 tentang
Pemerintahan Daerah khususnya pasal 15 ayat (1) dan (2) serta lampiran huruf
(A) tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pendidikan dalam sub urusan
manajemen pendidikan. "Melalui gugatan ini, para orangtua berharap
Mahkamah Konstitusi tetap menyerahkan pengelolaan SMA/SMK pada Pemerintah Kota
Surabaya," tegasnya.
Menurut Edward, pasal 15 ayat (1) dan (2)
serta lampiran huruf (A) tentang pembagian urusan pemerintah bidang pendidikan
dalam sub urusan manajemen pendidikan UU 23/2014 memberikan kerugian
konstitusional bagi pemohon. Kerugian konstitusional yang ditimbulkan berupa
potensi kehilangan jaminan bagi warga negara yang tidak mendapat pendidikan dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagaimana dijamin
pasal 28C ayat (1) UUD 1945. Serta hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum
sebagaimana diatur dalam pasal 28D ayat (1) serta pasal 31 ayat (1) dan (3) UUD
1945.
Dengan berlakunya Pasal 15 ayat (1) dan (2)
serta lampiran huruf (A) UU Pemda akan terjadi peralihan kewenangan pengelolaan
pendidikan tingkat menengah, khusus kepada pemerintah daerah provinsi, hal ini
akan menghilangkan kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota yang secara
mandiri telah dan mampu melaksanakan pengelolaan pendidikan tingkat menengah
yang diterapkan di daerahnya.
"Kerugian potensial yang akan diterima
para pemohon setelah berlakunya ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan (2) serta
lampiran huruf (A) UU Pemda, adalah hilangnya keuntungan konstitusional dalam
jaminan pelayanan pendidikan yang telah diterima para pemohon sebelumnya,"
pungkasnya.
Pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan
memang cukup menggiurkan banyak pihak, tak terkecuali pemerintah daerah. Wajar
bila kemudian terjadi ‘rebutan’. (BN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar