Maret 13, 2016

Rebutan Kelola SMA/SMK



Dinilai menjadi beban anggaran pemerintah kota/kabupaten, pengelolaan SMA/SMK dialihkan ke pemerintah provinsi. Namun, Pemerintah Kota Blitar dan Kota Surabaya.
================
Mulai 1 Januari 2017, seperti amanah UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pengelolaan SMA dan SMK dialihkan dari pemerintah kabupaten/kota ke pemerintah provinsi. Lantaran telah menginvestasikan cukup banyak anggaran dan dapat mengganggu program yang telah dijalankan, Pemerintah Kota Blitar dan Pemerintah kota Surabaya mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pekan lalu Wali Kota Blitar Samanhudi Anwar secara resmi mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi di Jakarta. Dia menolak pengambil-alihan pengelolaan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) oleh pemerintah provinsi sebagaimana diatur oleh UU Nomor 23 tahun 2014.
Dengan didampingi tim Biro Hukum Pemerintah Kota Blitar, Samanhudi mendaftarkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi dengan nomor register 1556. Pendaftaran yang dilakukan pada pukul 08.28 WIB itu berisi permohonan judicial review UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. “Pemerintah Blitar menolak pengelolaan SMA dan SMK diambil alih-provinsi,” kata Kasubag Humas dan Protokol Pemkot Blitar Gigih Mardana, Senin 7 Maret 2016.
Pengajuan gugatan ini, demikian penjelasan Gigih, juga dilakukan Pemerintah Kota Surabaya yang hampir bersamaan waktunya dengan Pemkot Blitar, Senin (7/3) pagi pukul 09.00 WIB, dengan nomor register 1557. Kedua pemerintah daerah ini sepakat menolak pengambil-alihan pengelolaan SMA dan SMK oleh pemerintah provinsi sebagai bentuk pertanggung-jawaban moral bupati/wali kota terhadap pendidikan di daerah.
UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyeebutkan pemerintah daerah kabupaten/kota bertanggung-jawab terhadap pendidikan setingkat SD/SMP. Sedangkan pemerintah provinsi bertanggung-jawab atas pendidikan setingkat SMA/SMK. Sementara pendidikan tinggi menjadi ranah dan tanggungjawab pemerintah pusat.
Ketentuan ini diterapkan Pemerintah mulai 1 Januari 2017 setelah menilai beban yang ditanggung pemerintah daerah kabupaten/kota soal pendidikan terlalu berat dan harus dibagi dengan pemerintah provinsi. Hal ini mencakup pula kewenangan alokasi dana dari APBN dan APBD, tenaga pengajar, insfastruktur sekolah, pembangunan sekolah, dan siswa.
Wali Kota Blitar Samanhudi Anwar menganggap pemerintah daerah telah berinvestasi sangat besar terhadap pembangunan SMA/SMK --baik berupa pembangunan infrastruktur maupun operasional sekolah. Apalagi sejak lima tahun terakhir Pemerintah Kota Blitar telah mengucurkan anggaran tidak sedikit untuk memberikan berbagai tunjangan kepada pelajar mulai jenjang SD hingga SMA seperti sepatu gratis, seragam gratis, buku gratis, alat tulis gratis, bus sekolah gratis, tas gratis, pembebasan pembayaran uang sekolah, hingga pemberian perangkat elektronik tablet gratis.
Samanhudi Anwar mengatakan, bahwa investasi Pemerintah Kota Blitar terhadap pendidikan tidak kecil. Bahkan, Pemkot Blitar telah menyiapkan anggaran Rp25 miliar untuk uang saku siswa pada 2016. Sebab itu, pengambil-alihan pengelolaan oleh pemerintah provinsi dinilai tidak tepat lantaran berlawanan dengan semangat otonomi daerah yang diatur dalam UU Nomor 23 tahun 2014. “Ini bukan otoda sebenarnya, karena masih ada kebijakan dan kewenangan yang diambil dari pemerintah daerah,” kata Samanhudi beberapa waktu lalu.
Samanhudi pun mengajak seluruh kepala daerah di Indonesia untuk bersama-sama mengajukan judicial review atas materi UU Nomor 23 tahun 2014 ke Mahkamah Konstitusi.
Isi gugatan Pemerintah Kota Blitar adalah meminta MK melakukan judicial review atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang mulai berlaku penuh 1 Januari 2017. Dalam klausul perundangan disebutkan bahwa pemerintah daerah hanya bertanggung-jawab pada pendidikan tingkat SD/SMP. Sedangkan pengelolaan SMA/SMK berada di bawah wewenang pemerintah provinsi.
Penerbitan kebijakan tersebut mengacu pada usulan Deputi Menko Pembangunan dan Kebudayaan (PMK) Bidang Koordinasi Pendidikan dan Agama. Pemerintah pusat menilai beban pemerintah daerah terkait pendidikan terlalu berat dan seyogyanya dibagi dengan pemerintah provinsi.
Pembagian itu meliputi kewenangan alokasi APBN dan APBD, tenaga pengajar, insfastruktur sekolah, pembangunan sekolah, dan siswa. Pemkot Blitar, kata Gigih, menilai kebijakan itu merugikan daerah, khususnya masyarakat yang sebelumnya menerapkan program pendidikan gratis.
Pemkot tidak ingin melihat pelajar di Kota Blitar kehilangan fasilitas pendidikan gratis mulai sepatu, seragam, alat tulis, tas, tablet, SPP, her registrasi, uang gedung hingga jemputan bus sekolah yang selama ini diterima. “Kebijakan pengambil-alihan pengelolaan itu juga bentuk pengebirian otonomi daerah. Karenanya patut dikaji ulang,“ ujar Gigih.
Dalam pengajuan gugatan ini Pemkot Blitar telah menyiapkan semua dokumen yang diperlukan, termasuk keterangan saksi ahli.
Prawoto Sadewo salah seorang warga Kota Blitar yang memiliki anak di salah satu sekolah menengah atas melihat kebijakan baru itu sebagai ancaman. Sebab, dia khawatir perpindahan pengelolaan dari pemerintah daerah ke provinsi akan menghilangkan fasilitas pendidikan gratis yang selama ini membantu masyarakat Kota Blitar. “Kalau fasilitas pendidikan gratis sampai hilang gara-gara perpindahan pengelolaan tentu masyarakat yang paling dirugikan,“ ujarnya.
Tidak hanya kedua pemerintahan daerah yang mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Warga masyarakat yang merasa dirugikan oleh kebijakan itu juga mengajukan gugatan serupa. Seperti dilansir SURYA.co.id, empat orang wali murid dari Surabaya resmi mengajukan permohonan uji materi UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah ke Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (7/3).
Gugatan ini merupakan tindakan kontra UU 23/2014 yang terjadi setelah wali Kota Surabaya mengajukan keberatan pada presiden RI. Pemohon gugatan ini adalah Ketua Komite SMAN 4 Surabaya, Bambang Soenarko; Ketua Komite SMPN 1 yang juga wali murid SMAN 5 Surabaya, Enny Ambarsari, Radian Jadid, dan Wiji Lestari. Mereka menunjuk tim kuasa hukum, antara lain, Edward Dewaruci, Nonot Suryono, Dwi Istiawan, dan Riyanto.
Bambang menjelaskan, gagasan untuk menggugat UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, terutama pada pasal pengelolaan SMA/SMK, bukan tindakan tiba-tiba. Semuanya sudah mengalami proses. "Kami ini hanya perwakilan saja setelah melalui rembuk-rembuk dengan wali murid," jelasnya.
Landasan gugatan itu, jelasnya, adalah UU sistem pendidikan nasional, kemampuan Kota Surabaya membiayai sendiri pendidikan SMA/SMK, serta kewajiban pemerintah daerah kepada warganya. Dengan begitu dirinya berharap segera ada panggilan sidang judicial review untuk beberapa pasal UU 23/2014. "Untuk apa kita bayar pajak kalau tidak bisa menikmati sendiri hasilnya," terangnya.
Secara terpisah, Kuasa Hukum Pemohon Edward Dewaruci mengatakan, permohonan pengujian materiil UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah khususnya pasal 15 ayat (1) dan (2) serta lampiran huruf (A) tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pendidikan dalam sub urusan manajemen pendidikan. "Melalui gugatan ini, para orangtua berharap Mahkamah Konstitusi tetap menyerahkan pengelolaan SMA/SMK pada Pemerintah Kota Surabaya," tegasnya.
Menurut Edward, pasal 15 ayat (1) dan (2) serta lampiran huruf (A) tentang pembagian urusan pemerintah bidang pendidikan dalam sub urusan manajemen pendidikan UU 23/2014 memberikan kerugian konstitusional bagi pemohon. Kerugian konstitusional yang ditimbulkan berupa potensi kehilangan jaminan bagi warga negara yang tidak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagaimana dijamin pasal 28C ayat (1) UUD 1945. Serta hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 28D ayat (1) serta pasal 31 ayat (1) dan (3) UUD 1945.
Dengan berlakunya Pasal 15 ayat (1) dan (2) serta lampiran huruf (A) UU Pemda akan terjadi peralihan kewenangan pengelolaan pendidikan tingkat menengah, khusus kepada pemerintah daerah provinsi, hal ini akan menghilangkan kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota yang secara mandiri telah dan mampu melaksanakan pengelolaan pendidikan tingkat menengah yang diterapkan di daerahnya.
"Kerugian potensial yang akan diterima para pemohon setelah berlakunya ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan (2) serta lampiran huruf (A) UU Pemda, adalah hilangnya keuntungan konstitusional dalam jaminan pelayanan pendidikan yang telah diterima para pemohon sebelumnya," pungkasnya.
Pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan memang cukup menggiurkan banyak pihak, tak terkecuali pemerintah daerah. Wajar bila kemudian terjadi ‘rebutan’. (BN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar