Maret 01, 2016

Mantan Pejabat Rutan Medaeng Kembali Masuk Penjara



Pejabat di lingkungan rumah tahanan justru membina napi membangun jaringan narkoba. Dan pejabat yang sempat dibebaskan oleh pengadilan tinggi ini pun harus mendekam jadi narapidana.
=================
Terkisah I Made Djumante Yoga, mantan pejabat Rumah Tahanan Negara (Rutan) Medaeng, Waru, Sidoarjo. Dia terjerat kasus narkoba yang akhirnya dieksekusi oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya ke Lapas Klas 1 Porong, Sidoarjo, Rabu (17/2) sore. Yoga sempat menghirup udara di luar penjara sejak Desember 2013 setelah Pengadilan Tinggi menerima bandingnya dan membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama. Yoga divonis bebas oleh pengadilan tinggi.
Selama menikmati kebebasan, Yoga aktif bertugas sebagai pegawai di kantor Kanwil Kemenkum HAM Jatim, Jalan Kayoon, Surabaya. Rupanya jerat hukum kasus narkoba tak bisa menjadikan Yoga berlama-lama di luar tembok penjara karena putusan Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya itu dianulir oleh majelis hakim kasasi di Mahkamah Agung (MA) RI dan Yoga divonis hukuman lima tahun penjara dan diwajibkan membayar denda Rp 1 miliar.
Kepala Kejari Surabaya Didik Farkhan Alisyahdi, Kamis (18/2) sore, mengatakan bahwa I Made Djumante Yoga yang pernah menjabat sebagai Kasub Sie Umum Rutan Medaeng itu mulanya ditangkap Badan Narkotika Nasional (BNN) karena kedapatan membawa 93 gram narkoba jenis sabu-sabu yang hendak diedarkan di dalam Rutan, 21 Mei 2013.
Penangkapan itu merupakan hasil pengembangan dari kasus yang sama yang melibatkan bandar Narkoba lintas Jakarta-Kalimantan, Siswo Prawiro, yang merupakan mantan binaan (narapidana) I Made Djumante Yoga.
Dia dijerat pelanggaran pasal 114 ayat (2) UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika yang ancaman hukumannya maksimal seumur hidup. Majelis hakim PN Surabaya yang diketuai M Yappi, pada, Oktober 2013 menjatuhkan vonis bersalah dan mengganjar I Made dengan vonis enam tahun penjara serta denda Rp 1 miliar subsider dua bulan kurungan.
Vonis tersebut lebih ringan satu tahun dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) I Eayan Oja Miasta. Namun,  melalui pengacaranya Budi Sampurna, Yoga menolak dan mengajukan banding ke tingkat Pengadilan Tinggi Surabaya.
Upaya banding terdakwa oleh majelis hakim tinggi Surabaya yang diketuai Johanna Lucia Usmany beranggotakan Jasinta Daniel dan H Maenong pada Desember 2013  menyatakan menerima dan membatalkan putusan PN Surabaya dengan vonis bebas.
Tak puas dengan putusan Pengadilan Tinggi, JPU Kejari Surabaya melayangkan Kasasi ke MA. Setelah dua tahun, tepatnya 16 Desember 2015, MA RI mengabulkan kasasinya dengan menjatuhkan vonis bersalah kepada Yoga dan mengganjar pidana selama 5 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider dua bulan penjara.
Kasus yang menjerat I Made Djumante Yoga mengindikasikan telah lama ada jejaring narkoba di penjara. Sekadar contoh, akhir Januari 2016 lalu, pemeriksaan semua blok yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Palopo, Sulawesi Selatan, diperketat menyusul terungkapnya bisnis narkoba di sejumlah LP di beberapa daerah di Indonesia. “Saya sudah perintahkan agar dilakukan pemeriksaan secara rutin,” kata Kepala LP Palopo Kusnali, Jumat, 29 Januari 2016.
Menurut Kusnali, pemeriksaan diperketat untuk mencegah masuknya barang-barang terlarang, termasuk narkoba, ke dalam LP. Bekerja sama dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) Kota Palopo, pihak LP juga melakukan tes urine terhadap semua narapidana atau tahanan yang menghuni LP Palopo.
Kusnali menjelaskan, pemeriksaan yang ketat juga diberlakukan terhadap siapa saja yang datang ke LP untuk membesuk narapidana atau tahanan. Telah disediakan ruang khusus untuk menggeledah badan dan barang bawaan pembesuk. “Ada ruang khusus untuk memeriksa pembesuk pria dan ruang untuk pembesuk wanita,” ujarnya.
Kusnali menegaskan, setiap pembesuk wajib menjalani pemeriksaan dan penggeledahan sebelum diizinkan bertemu narapidana atau tahanan yang akan dikunjunginya. Ia mengatakan masuknya narkoba ke dalam LP, selain diselundupkan oleh pembesuk, dibawa sendiri oleh tahanan setelah menjalani persidangan di pengadilan.
Kepala Satuan Reserse Narkotika Kepolisian Resor Palopo Ajun Komisaris Ade Kristian Manapa mengatakan, selama 2015, tiga kali ditemukan pengunjung LP membawa sabu-sabu. Modusnya beragam. Ada yang disisipkan di dalam makanan, ada pula yang disembunyikan di balik pakaian yang dikenakannya.
Ade menjelaskan pengunjung yang kedapatan membawa sabu-sabu mengaku sabu-sabu yang dibawanya adalah pesanan rekannya yang ada di dalam LP. Pemesanan dilakukan melalui telepon. “Belajar dari kasus-kasus tersebut, kami minta petugas LP memperketat pemeriksaan,” tuturnya.
Benda terlarang yang patut diwaspadai berada di dalam LP adalah telepon seluler. Alat komunikasi itu terbukti digunakan oleh narapidana dan tahanan kasus narkoba untuk tetap berbisnis narkoba meski sudah berada di balik jeruji penjara.
Jejaring narkoba di penjara juga muncul di Lapas Narkoba Bolangi, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Ini terungkap setelah narapidana Lapas Bolangi, Eddy Kallo mengakui menerima kiriman paket dari dua lapas di daerah Jawa, yakni Lapas Surabaya dan Lapas Jakarta.
“Jadi jaringan ini dari dua daerah di Jawa, Jakarta dan Surabaya yang meminta pasokan dari Malaysia. Jaringan-jaringan ini diketahui mempunyai jalinan kekeluargaan,” tutur Dirnarkoba Polda Sulselbar, Kombes Pol Azis Djamaluddin, Makassar, awal Januari lalu.
Jaringan sindikat narkoba yang teratur secara kekeluargaan ini melakukan bangunan komunikasi via telepon seluler yang dimonitor langsung Sipir Lapas pada tiap-tiap daerah.
Tahanan Lapas Narkoba Bolangi Eddy Kallo mengaku, ia sudah melancarkan aksinya dari awal bulan Desember tahun 2015 dengan melibatkan Sipir Bolangi Septian Kosasih (27) untuk mengambil sabu seberat 200 gram di Kantor Pos Indonesia Jl Perintis Kemerdekaan Km 17 Kota Makassar. “Dan si sipir ini disuruh lagi untuk menjemput paket sabu 400 gram pada Kantor Pos yang sama pada Kamis kemarin (7/1),” pungkasnya.
Jadi apa artinya lembaga pemasyarakatan? Petugas dan sipir pun telah terkontaminasi dan dimanfaatkan oleh jejaring narkoba. Perlu tekad kuat untuk mensterilkan lapas. (BN)

Boks:
Digembosi Oknum Aparat Sendiri
Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN RI), Budi Waseso, menyatakan bahwa salah satu tantangan pemberantasan narkoba adalah adanya oknum aparat negara yang terlibat di dalamnya, termasuk dari BNN sendiri. Untuk menangkalnya, BNN membangun kerja sama dengan semua lembaga yang anggotanya diduga terlibat peredaran narkoba.
Di hadapan Komisi III DPR RI, di Jakarta, awal Februari 2016, Komjen Buwas mengakui bahwa di dalam Lapas, para terpidana narkoba tetap melaksanakan aktivitas melanggar hukum itu. Bahkan 'dilayani' dengan penyediaan alat komunikasi canggih, yang tak mungkin bisa terjadi tanpa bantuan oknum aparat.
"Kami menyampaikan ke presiden bicara oknum lapas, tentunya mereka terkontaminasi dan masuk jaringan narkoba, ini harus dapat tindakan tegas. Kami akan tindak tegas petugas lapas," kata Buwas sembari menekankan SOP di Lapas akan disempurnakan.
"Tidak menutup kemungkinan kita hadapi oknum TNI, Polri dan BNN. Faktanya ada. Harus kita lakukan tindakan tegas, kita bersih-bersih betul. Sulit memberantas kalau masih ada oknum di dalam jaringan itu."
BNN juga bicara dengan Presiden Jokowi soal apa yang perlu dilakukan Pemerintah untuk menangani permasalahan peredaran narkoba di Lapas. Misalnya, agar tak mudah dipengaruhi bandar, maka petugas lapas harus memiliki kenaikan finansial. Sebagai perbanding, dengan digaji negara sampai Rp4 juta per bulan, ada bandar yang bersedia membayar Rp 50 juta per bulan.
"Mereka (petugas) akhirnya disuruh apa saja mau. HP sipir diserahkan ke bandar. Di dalam tahanan ini, penanganan narkoba tidak bisa dengan cara normal. Karena dia (terpidana) tidak berpikiran normal. Kita perlu terobosan pemecahan narkoba karena mereka selalu ada ide, harus kita tandingi ide mereka," jelasnya. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar