Pejabat di lingkungan rumah tahanan
justru membina napi membangun jaringan narkoba. Dan pejabat yang sempat
dibebaskan oleh pengadilan tinggi ini pun harus mendekam jadi narapidana.
=================
Terkisah I Made Djumante Yoga, mantan pejabat
Rumah Tahanan Negara (Rutan) Medaeng, Waru, Sidoarjo. Dia terjerat kasus
narkoba yang akhirnya dieksekusi oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya ke
Lapas Klas 1 Porong, Sidoarjo, Rabu (17/2) sore. Yoga sempat menghirup udara di
luar penjara sejak Desember 2013 setelah Pengadilan Tinggi menerima bandingnya
dan membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama. Yoga divonis bebas oleh
pengadilan tinggi.
Selama menikmati kebebasan, Yoga aktif
bertugas sebagai pegawai di kantor Kanwil Kemenkum HAM Jatim, Jalan Kayoon,
Surabaya. Rupanya jerat hukum kasus narkoba tak bisa menjadikan Yoga
berlama-lama di luar tembok penjara karena putusan Pengadilan Tinggi (PT)
Surabaya itu dianulir oleh majelis hakim kasasi di Mahkamah Agung (MA) RI dan
Yoga divonis hukuman lima tahun penjara dan diwajibkan membayar denda Rp 1
miliar.
Kepala Kejari Surabaya Didik Farkhan
Alisyahdi, Kamis (18/2) sore, mengatakan bahwa I Made Djumante Yoga yang pernah
menjabat sebagai Kasub Sie Umum Rutan Medaeng itu mulanya ditangkap Badan
Narkotika Nasional (BNN) karena kedapatan membawa 93 gram narkoba jenis
sabu-sabu yang hendak diedarkan di dalam Rutan, 21 Mei 2013.
Penangkapan itu merupakan hasil pengembangan
dari kasus yang sama yang melibatkan bandar Narkoba lintas Jakarta-Kalimantan,
Siswo Prawiro, yang merupakan mantan binaan (narapidana) I Made Djumante Yoga.
Dia dijerat pelanggaran pasal 114 ayat (2) UU
Nomor 35/2009 tentang Narkotika yang ancaman hukumannya maksimal seumur hidup.
Majelis hakim PN Surabaya yang diketuai M Yappi, pada, Oktober 2013 menjatuhkan
vonis bersalah dan mengganjar I Made dengan vonis enam tahun penjara serta
denda Rp 1 miliar subsider dua bulan kurungan.
Vonis tersebut lebih ringan satu tahun dari
tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) I Eayan Oja Miasta. Namun, melalui pengacaranya Budi Sampurna, Yoga
menolak dan mengajukan banding ke tingkat Pengadilan Tinggi Surabaya.
Upaya banding terdakwa oleh majelis hakim
tinggi Surabaya yang diketuai Johanna Lucia Usmany beranggotakan Jasinta Daniel
dan H Maenong pada Desember 2013
menyatakan menerima dan membatalkan putusan PN Surabaya dengan vonis
bebas.
Tak puas dengan putusan Pengadilan Tinggi, JPU
Kejari Surabaya melayangkan Kasasi ke MA. Setelah dua tahun, tepatnya 16
Desember 2015, MA RI mengabulkan kasasinya dengan menjatuhkan vonis bersalah
kepada Yoga dan mengganjar pidana selama 5 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar
subsider dua bulan penjara.
Kasus yang menjerat I Made Djumante Yoga
mengindikasikan telah lama ada jejaring narkoba di penjara. Sekadar contoh,
akhir Januari 2016 lalu, pemeriksaan semua blok yang ada di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIA Palopo, Sulawesi Selatan, diperketat menyusul
terungkapnya bisnis narkoba di sejumlah LP di beberapa daerah di Indonesia.
“Saya sudah perintahkan agar dilakukan pemeriksaan secara rutin,” kata Kepala
LP Palopo Kusnali, Jumat, 29 Januari 2016.
Menurut Kusnali, pemeriksaan diperketat untuk
mencegah masuknya barang-barang terlarang, termasuk narkoba, ke dalam LP.
Bekerja sama dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) Kota Palopo, pihak LP juga
melakukan tes urine terhadap semua narapidana atau tahanan yang menghuni LP
Palopo.
Kusnali menjelaskan, pemeriksaan yang ketat
juga diberlakukan terhadap siapa saja yang datang ke LP untuk membesuk
narapidana atau tahanan. Telah disediakan ruang khusus untuk menggeledah badan
dan barang bawaan pembesuk. “Ada ruang khusus untuk memeriksa pembesuk pria dan
ruang untuk pembesuk wanita,” ujarnya.
Kusnali menegaskan, setiap pembesuk wajib
menjalani pemeriksaan dan penggeledahan sebelum diizinkan bertemu narapidana
atau tahanan yang akan dikunjunginya. Ia mengatakan masuknya narkoba ke dalam
LP, selain diselundupkan oleh pembesuk, dibawa sendiri oleh tahanan setelah
menjalani persidangan di pengadilan.
Kepala Satuan Reserse Narkotika Kepolisian
Resor Palopo Ajun Komisaris Ade Kristian Manapa mengatakan, selama 2015, tiga
kali ditemukan pengunjung LP membawa sabu-sabu. Modusnya beragam. Ada yang
disisipkan di dalam makanan, ada pula yang disembunyikan di balik pakaian yang
dikenakannya.
Ade menjelaskan pengunjung yang kedapatan
membawa sabu-sabu mengaku sabu-sabu yang dibawanya adalah pesanan rekannya yang
ada di dalam LP. Pemesanan dilakukan melalui telepon. “Belajar dari kasus-kasus
tersebut, kami minta petugas LP memperketat pemeriksaan,” tuturnya.
Benda terlarang yang patut diwaspadai berada
di dalam LP adalah telepon seluler. Alat komunikasi itu terbukti digunakan oleh
narapidana dan tahanan kasus narkoba untuk tetap berbisnis narkoba meski sudah
berada di balik jeruji penjara.
Jejaring narkoba di penjara juga muncul di
Lapas Narkoba Bolangi, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Ini terungkap setelah
narapidana Lapas Bolangi, Eddy Kallo mengakui menerima kiriman paket dari dua
lapas di daerah Jawa, yakni Lapas Surabaya dan Lapas Jakarta.
“Jadi jaringan ini dari dua daerah di Jawa,
Jakarta dan Surabaya yang meminta pasokan dari Malaysia. Jaringan-jaringan ini
diketahui mempunyai jalinan kekeluargaan,” tutur Dirnarkoba Polda Sulselbar,
Kombes Pol Azis Djamaluddin, Makassar, awal Januari lalu.
Jaringan sindikat narkoba yang teratur secara
kekeluargaan ini melakukan bangunan komunikasi via telepon seluler yang
dimonitor langsung Sipir Lapas pada tiap-tiap daerah.
Tahanan Lapas Narkoba Bolangi Eddy Kallo
mengaku, ia sudah melancarkan aksinya dari awal bulan Desember tahun 2015
dengan melibatkan Sipir Bolangi Septian Kosasih (27) untuk mengambil sabu
seberat 200 gram di Kantor Pos Indonesia Jl Perintis Kemerdekaan Km 17 Kota
Makassar. “Dan si sipir ini disuruh lagi untuk menjemput paket sabu 400 gram
pada Kantor Pos yang sama pada Kamis kemarin (7/1),” pungkasnya.
Jadi apa artinya lembaga pemasyarakatan?
Petugas dan sipir pun telah terkontaminasi dan dimanfaatkan oleh jejaring
narkoba. Perlu tekad kuat untuk mensterilkan lapas. (BN)
Boks:
Digembosi Oknum Aparat Sendiri
Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN RI), Budi
Waseso, menyatakan bahwa salah satu tantangan pemberantasan narkoba adalah
adanya oknum aparat negara yang terlibat di dalamnya, termasuk dari BNN
sendiri. Untuk menangkalnya, BNN membangun kerja sama dengan semua lembaga yang
anggotanya diduga terlibat peredaran narkoba.
Di hadapan Komisi III DPR RI, di Jakarta, awal
Februari 2016, Komjen Buwas mengakui bahwa di dalam Lapas, para terpidana
narkoba tetap melaksanakan aktivitas melanggar hukum itu. Bahkan 'dilayani'
dengan penyediaan alat komunikasi canggih, yang tak mungkin bisa terjadi tanpa
bantuan oknum aparat.
"Kami menyampaikan ke presiden bicara
oknum lapas, tentunya mereka terkontaminasi dan masuk jaringan narkoba, ini
harus dapat tindakan tegas. Kami akan tindak tegas petugas lapas," kata
Buwas sembari menekankan SOP di Lapas akan disempurnakan.
"Tidak menutup kemungkinan kita hadapi
oknum TNI, Polri dan BNN. Faktanya ada. Harus kita lakukan tindakan tegas, kita
bersih-bersih betul. Sulit memberantas kalau masih ada oknum di dalam jaringan
itu."
BNN juga bicara dengan Presiden Jokowi soal
apa yang perlu dilakukan Pemerintah untuk menangani permasalahan peredaran
narkoba di Lapas. Misalnya, agar tak mudah dipengaruhi bandar, maka petugas
lapas harus memiliki kenaikan finansial. Sebagai perbanding, dengan digaji
negara sampai Rp4 juta per bulan, ada bandar yang bersedia membayar Rp 50 juta
per bulan.
"Mereka (petugas) akhirnya disuruh apa
saja mau. HP sipir diserahkan ke bandar. Di dalam tahanan ini, penanganan
narkoba tidak bisa dengan cara normal. Karena dia (terpidana) tidak berpikiran
normal. Kita perlu terobosan pemecahan narkoba karena mereka selalu ada ide,
harus kita tandingi ide mereka," jelasnya. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar