A.
PERLINDUNGAN HUKUM DEBITUR APABILA KREDIT MACET
Asal mula kata “kredit” adalah dari
kata Credere yang artinya adalah kepercayaan, maksudnya adalah apabila
seseorang memperoleh kredit maka berarti mereka memperolah kepercayaan.
Sedangkan bagi si pemberi kredit artinya memberikan kepercayaan kepada
seseorang bahwa uang yang dipinjamkan pasti kembali. Pengertian “kredit”
menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 10 tahun 1998 adalah “penyediaan uang
atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian
bunga”.
Dalam kredit terkandung pengertian
tentang “Degree of Risk” yaitu suatu tingkat resiko tertentu, oleh
karena pelepasan kredit mengandung suatu risiko, baik risiko bagi pemberi kredit
maupun bagi penerima kredit[1].
Bagi penerima kredit, risiko yang mungkin timbul adalah jika ia tidak dapat
mengembalikan pinjaman tersebut, ia akan kehilangan modal. Bagi pihak pemberi
kredit, salah satu resiko yang dapat terjadi adalah jika pihak penerima kredit
tidak dapat melunasi kewajibannya pada waktu yang telah diperjanjikan atau
dengan kata lain jika terjadi apa yang disebut dengan kredit macet. Keadaan
yang demikian dalam hukum perdata disebut wanprestasi atau ingkar janji.
Sebagaimana telah diketahui bahwa kredit merupakan perjanjian pinjam uang, maka
debitur yang tidak dapat membayar lunas utangnya setelah jangka waktunya habis,
adalah wanprestasi.
Kredit
macet adalah suatu keadaan dimana seseorang nasabah tidak mampu membayar lunas
kredit bank tepat pada waktunya.[2] Suatu kredit digolongkan sebagai kredit
bermasalah ialah kredit-kredit yang tergolong sebagai kredit kurang lancar,
kredit diragukan, dan kredit macet. Istilah kredit bermasalah telah digunakan
oleh dunia perbankan Indonesia sebagai terjemahan problem loan yang merupakan istilah yang sudah lazim digunakan
di dunia internasional. Istilah dalam bahasa Inggris yang biasa dipakai juga
bagi istilah kredit bermasalah adalah nonperforming
loan[3].
Untuk menyelesaikan kredit bermasalah atau non-performing
loan itu dapat ditempuh dua cara atau strategi yaitu penyelamatan kredit
dan penyelesaian kredit. Yang dimaksud dengan penyelamatan kredit adalah suatu
langkah penyelesaian kredit bermasalah melalui perundingan kembali antara bank
sebagai kreditor dan nasabah peminjam sebagai debitor, sedangkan penyelesaian
kredit adalah suatu langkah penyelesaian kredit bermasalah melalui lembaga
hukum. Yang dimaksud dengan lembaga hukum dalam hal ini adalah Panitia Urusan
Piutang Negara (PUPN) dan Direktorat Jendral Piutang dan Lelang Negara (DJPLN),
melalui Badan Peradilan, dan melalui Arbitrase atau Badan Alternatif
Penyelesaian sengketa.
Karena dalam kegiatan perkreditan
tersangkut beberapa pihak, yakni kreditur, debitur serta pihak-pihak yang terkait,
maka dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT) kepentingan para
pihak tersebut diperhatikan dan diberikan keseimbangan dalam perlindungan dan kepastian
hukumnya.
UUHT dimaksudkan untuk memberikan
landasan bagi suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan menjamin kepastian hukum
bagi semua pihak yang berkepentingan secara seimbang. Kedudukan istimewa
kreditur tampak, antara lain, pada:
a. Adanya “droit de preference” atau
hak mendahulu yang dipunyai kreditur sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka
1 dan Pasal 20 ayat (1).
b. Adanya “droit de suite” bagi
obyek hak tanggungan (Pasal 7)
c. Keharusan pemenuhan asas spesialitas
berkenaan dengan identitas pemegang hak tanggungan dan pemberi hak tanggungan,
serta domisili masing-masing pihak, piutang yang dijamin serta benda yang
dijadikan jaminan (Pasal 11 ayat (1), dan pemenuhan asas publisitas, yakni
pendaftaran hak tanggungan (Pasal 13)
d. Pelaksanaan eksekusi secara mudah dan
pasti (Pasal 6 dan 26)
e. Ketentuan Pasal 21 bahwa kepailitan
pemberi hak tanggungan tidak berpengaruh terhadap kelangsungan hak tanggungan
f. Sifat hak tanggungan yang tidak
dibagi-bagi (Pasal 2 ayat (1))
g. Adanya kemungkinan untuk menjual obyek
hak tanggungan secara di bawah tangan menurut tata cara tertentu (Pasal 20 ayat
(2))
Di samping memberikan perlindungan
kepada kreditur, UUHT juga memberikan perlindungan kepada debitur/pemberi hak
tanggungan dan pihak ketiga dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Adanya kemungkinan melakukan roya
partial yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) sebagai penyimpangan dari asas tidak
dapat dibagi-bagi dalam Pasal 2 ayat (1)
b. Pemenuhan asas spesialitas dan
publisitas
c. Ketentuan tentang isi SKMHT dan APHT
d. Hak pemegang hak tanggungan pertama
untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri hanya dapat terlaksana
apabila hal tersebut diperjanjikan (Pasal 6 jo Pasal 11 ayat (2) huruf e)
e. Janji yang memberikan kewenangan kepada
pemegang hak tanggungan untuk memiliki obyek hak tanggungan apabila debitur
cidera janji adalah batal demi hukum (Pasal 12)
f. Ketentuan tentang pencoretan (roya) hak
tanggungan yang sudah bagus (Pasal 22) diadakan demi kepentingan
debitur/pemberi hak tanggungan.
UUHT
bertujuan untuk memberikan landasan untuk dapat berlakunya lembaga hak
tanggungan yang kuat di dalamnya antara lain menegaskan atau meluruskan
persepsi yang kurang tepat di waktu yang lalu. Adanya penegasan/pelurusan
berkenaan dengan beberapa masalah tersebut memerlukan perubahan persepsi dan
sikap semua pihak yang berkaitan dengan pelaksanaan hak tanggungan ini. Pemahaman
yang obyektif terhadap prinsip prinsip hak tanggungan diikuti dengan kepatuhan
untuk melaksanakan UUHT secara konsekuen sedikit banyak dapat mengurangi
kemungkinan terjadinya kredit macet perbankan.
B.
KASUS YANG BERKENAAN DENGAN KREDIT MACET
Salah
satu contoh kredit yang bermasalah atau kredit macet adalah kasus yang terjadi di
PD. BPR-BKK KBUMEN CABANG ALIAN. Ada seorang nasabah pengusaha angkutan jasa
yang meminjam di PD. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) BKK Kebumen Cabang Alian
sebesar RP 10.000.000, dengan jangka waktu 2 tahun atau 24 bulan dengan bunga
2% per bulan Flate. Awalnya semua kewajiban dibayar sesuai kewajiban. Tetapi
pada angsuran ke 12 pembayaran Angsuran mulai terlambat dari jadwal yang telah ditentukan,
nasabah juga mulai sulit ditemui, karena nasabah sering bepergian keluar kota.
Ketika dapat ditemui ia mengaku kena tipu cukup besar sehingga tidak mampu lagi
memenuhi kewajibannya.
Analisis Kasus:
Kredit
macet mempunyai dampak negatif bagi kedua belah pihak. Bagi nasabah, dalam hal
ini nasabah yang masih beritikad baik, artinya kredit macet terjadi bukan
disengaja, kredit macet berarti ia harus menanggung beban kewajiban yang cukup
berat terhadap bank. Karena bunga tetap dihitung terus selama kredit belum
dilunasi. Mengingat setiap pinjaman dari bank (konvensional) mengandung bunga,
maka jumlah kewajiban nasabah semakin lama akan semakin bertambah besar.
Sedangkan bagi bank, dampaknya lebih serius karena selain dana yang disalurkan
untuk kredit berasal dari masyarakat, kredit macet juga mengakibatkan bank
kekurangan dana sehingga mempengaruhi kegiatan usaha bank. Bank yang terganggu
kesehatannya, akan sulit melayani permintaan nasabah, seperti permohonan
kredit, penarikan tebungan, dan deposito. Keadaan yang demikian akan mempengaruhi
kepercayaan masyarakat terhadap bank hingga manjadi berkurang. Bahkan bukannya
tidak mungkin izin usaha bank dicabut pemerintah dan dilikuidasi.
Dalam
kasus tersebut diatas, jika dilihat dari aspek perdata maka debitur dipandang
telah melakukan wanprestasi, sebab ia tidak lagi menjalankan kewajibannya
sebagai mana yang tertuang dalam perjanjian kredit tersebut. Yaitu membayar
angsuran setiap bulannya. Ini berarti debitur tersebut telah melakukan
wanprestasi atau ingkar janji. Meskipun bank selaku kreditur memiliki kedudukan
istimewa dalam UUHT sebagaimana yang di uraikan diatas, dan dampak dari kredit
macet ini sangat serius terhadap bank yang bersangkutan. tetapi dalam hal ini bank
tidak dapat melakukan tindakan-tindakan yang berlebihan apabila menagih kepada
debitur. Karena bisa saja macetnya kredit tersebut bukan kesengajaan dari
debitur, tetapi karena ada faktor-faktor lain diluar kehendak dari debitur
yaitu salah satunya karena debitur terkena tipu, sehingga menyebabkan usahanya
macet dan akibatnya ia tidak dapat lagi menjalankan kewajibannya yaitu membayar
angsuran perbulannya. Selain itu dalam UUHT kedudukan debitur juga mendapat
perlindungan hukum. Oleh
karena itu, bank dalam menyikapi kredit macet tersebut harus memperhatikan
hak-hak dan kedudukan debitur yang dilindungi oleh Undang-Undang.
Pendapat Hukum
Penulis:
Dalam
menyelesaikan kasus tersebut diatas, bank dapat menempuh dua cara yaitu:
1. penyelamatan kredit, Yang dimaksud dengan penyelamatan
kredit adalah suatu langkah penyelesaian kredit bermasalah melalui perundingan
kembali antara bank sebagai kreditor dan nasabah peminjam sebagai debitor
2. penyelesaian kredit., penyelesaian kredit adalah suatu
langkah penyelesaian kredit bermasalah melalui lembaga hukum.
Dalam hal penyelesaian
kredit bermasalah melalui cara penyelamatan kredit, bank dapat melakukan
pembinaan secara rutin terhadap nasabah/debitur tersebut, dan bank juga dapat
menyertakan/menyampaikan surat peringatan dan panggilan kepada nasabah serta
melakukan pendekatan pada keluarga dan orang tua nasabah/debitur tersebut.
Namun jika usaha ini tidak membuahkan hasil yang positif, tetapi justru bank
mendapati masalah yang lebih serius karena kreditur sengaja menghilang yaitu
dengan pergi keluar kota. Maka untuk mencegah kerugian, pihak bank dapat
melakukan cara yang ke dua yaitu penyelesaian kredit melalui lembaga hukum.
Bank dapat
melakukan eksekusi terhadap barang yang menjadi agunan melalui Balai Lelang.
Dari hasil lelang tersebut digunakan untuk menutupi kredit macet tersebut dan
apabila masih ada sisa, maka akan bank harus mengembalikan kepada debitur
setelah dikeluarkan untuk seluruh kewajiban hutang dan bunga. Eksekusi dapat
melalui pihak Kantor Lelang Negara atau pengadilan Negeri. Dalam
melakukan eksekusi terhadap barang agunan milik debitur, pihak bank harus
memperhatikan hak-hak dan kedudukan debitur yang terdapat dalam UUHT.
Berdasarkan
kasus diatas, maka bank sebelum
menyepakati suatu perjanjian kredit harus memiliki keyakinan mengenai
kesanggupan, kemampuan, dan kemauan debitur untuk melunasi utangnya. untuk
memperoleh keyakinan tersebut, bank harus melakukan penilaian yang seksama
terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha debitur, agar kasus
kredit macet dapat diminimalisir.
C. KESIMPULAN
Dari kasus dan uraian diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa Untuk menyelesaikan kredit bermasalah atau non-performing
loan itu dapat ditempuh dua cara atau strategi yaitu penyelamatan kredit
dan penyelesaian kredit. Yang dimaksud dengan penyelamatan kredit adalah suatu
langkah penyelesaian kredit bermasalah melalui perundingan kembali antara bank
sebagai kreditor dan nasabah peminjam sebagai debitor, sedangkan penyelesaian
kredit adalah suatu langkah penyelesaian kredit bermasalah melalui lembaga
hukum. Lembaga hukum yang dimaksud dalam hal ini adalah Panitia Urusan
Piutang Negara (PUPN) dan Direktorat Jendral Piutang dan Lelang Negara (DJPLN),
melalui Badan Peradilan, dan melalui Arbitrase atau Badan Alternatif
Penyelesaian sengketa.
Karena dalam kegiatan perkreditan
tersangkut beberapa pihak, yakni kreditur, debitur serta pihak-pihak yang
terkait, maka dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT)
kepentingan para pihak tersebut diperhatikan dan diberikan keseimbangan dalam perlindungan
dan kepastian hukumnya.
Bank sebelum
menyepakati suatu perjanjian kredit harus memiliki keyakinan mengenai
kesanggupan, kemampuan, dan kemauan debitur untuk melunasi utangnya. untuk
memperoleh keyakinan tersebut, bank harus melakukan penilaian yang seksama
terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha debitur, agar kasus
kredit macet dapat di minimalisir.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Gatot
Supramono. 1997. Perbankan dan Masalah Kredit, Suatu Tinjauan Yuridis. Djambatan:
Jakarta.
Sutan
Remi Sjahdeini. 1993. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang
bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia ( Segi Hukum
Perbankan). Institut Bankir Indonesia: Jakarta.
Thomas
Suyatno. 1995. Dasar-dasar Perkreditan, PT. Gramedia: Jakarta.
DOKUMEN:
UNDANG-UNDANG
NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN (UUHT)
UNDANG-UNDANG
NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERBANKAN
WEBSITE:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18230/4/Chapter%20I.pdf
(diakses tanggal 8 januari 2013)
[1] Thomas
Suyatno, Dasar-dasar Perkreditan, PT. Gramedia, edisi keempat, Jakarta,
1995, halaman 14 .
[2] Gatot
Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit, Suatu Tinjauan Yuridis,
Penerbit Djambatan, Jakarta 1997, halaman:
131
[3] Sutan Remi Sjahdeini, Kebebasan
Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian
Kredit Bank di Indonesia ( Segi Hukum Perbankan, ISBN 979-8458-02-08,
diterbitkan oleh Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, halaman : 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar