Kecaman terus mengalir menyikapi tindakan debt collector yang enam di antaranya oknum tentara dan menggebuki Mawalulil Ilham, warga Kel Siumbat Baru, Kisaran.
Ketua LSM Gerakan Masyarakat Asahan Bersatu (GMAB) Kabupaten Asahan Hendri Dermawan kepada M24, Minggu (12/7) menyebut, sikap itu bak preman dan dapat menimbulkan keresahan bagi masyarakat.
Permasalahan yang muncul biasanya, katanya, terletak pada perjanjian antara perusahaan pembiayaan (kreditur) dengan konsumen (debitur).
“Bahkan, pemberian kuasa dari debitur kepada kreditur dalam penerbitan Akta Jaminan Fidusia adalah bertentangan dengan pasal 18 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen,“ tegasnya.
Hendri Dermawan juga menambahkan, penarikan kendaraan obyek fidusia (dari debitur yang lalai membayar angsuran, red) secara paksa oleh debt collector adalah perbuatan yang dianggap telah bertentangan dengan pasal 335 serta pasal perampasan dalam KUHP.
Salah seorang pengamat hukum di Asahan Dian mengatakan tindakan yang dilakukan oleh keenam oknum TNI AD yang merangkap sebagai debt collector didampingi oleh dua pegawai PT FIF Kisaran terhadap salah seorang dinilai melanggar hukum.
Kata Dian, dengan perjanjian fidusia, kreditur (pihak pemberi kredit) memiliki hak eksekutorial langsung jika debitur melakukan pelanggaran.
Masih menurut Dian, debt collector sama sekali tidak berhak untuk melakukan eksekusi dengan alasan apapun. Saat ini, lanjutnya, bank atau leasing tidak mau menempuh proses pengadilan karena selain memerlukan biaya juga butuh waktu yang tidak sebentar.
“Perjanjian yang telah kita tandatangani pada saat pengambilan sepeda motor secara kredit tersebut dianggap perjanjian di bawah tangan. Karena pada saat melakukan perjanjian antara kreditur dengan debitur tidak dilakukan dihadapan notaris,“ tegasnya.
sumber: http://metro24.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar