Juli 30, 2015

Kejaksaan Tak Berdaya Eksekusi Rp168 Triliun‎ Hasil Korupsi


  Tahukah Anda jika besar kerugian negara dari 1.365 kasus korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap atau in kracht van gewijsde dari rentang waktu 2001 hingga saat ini mencapai Rp168,19 triliun. Sayangnya, dari nilai tersebut uang yang berpotensi kembali ke negara hanya Rp15,09 triliun saja atau sekitar 8,97 persen.

Menyikapi kondisi demikian, Kriminolog dari Universitas Indonesia Ferdinand Andi Lolo menyatakan hal tersebut menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia belum efektif memulihkan aset yang dirampok para koruptor. Ferdinand menyatakan, sebenarnya Indonesia sudah memiliki `kendaraan` untuk menyelesaikan barang rampasan atau mengoptimalkan penerimaan kas negara dari kerugian yang ditimbulkan dari kejahatan korupsi.

"Seharusnya dapat diselesaikan lewat Pusat Pemulihan Aset (PPA) di Kejaksaan Agung.  Karena melalui PPA akan lebih mudah melakukan kontrol terhadap barang rampasan. Kalau tidak ada PPA, kontrol akan barang itu jadi sulit. Karena berpotensi 'dimainkan' oleh oknum penyidik," kata Ferdinand di Jakarta, Selasa (28/7/2015).

Ferdinand menjelaskan, sistem yang ada di PPA sebenarnya sudah memenuhi transparansi dan akuntanbilitas publik, dimana aset yang disita dimasukkan ke dalam situs dan publik ‎bisa mengakses. "Potensi korupsi yang akan dilakukan penyidik jadi tidak ada sama sekali. Karena ketika penyidik menyita 10 kemudian mengatakan 5 itu publik bisa bertanya dalam situs PPA ada 10, 5-nya ke mana? Itu untuk mengurangi penggelapan. Kalau tidak ada PPA, dampaknya kemungkinan terjadinya double corruption," ‎cetusnya.

"Melalui PPA, maka mereka tidak mungkin melakukan kecurangan karena barang rampasan itu langsung masuk ke kas negara.  Ketika ada lelang. Misalnya ada properti atau apa, uang itu langsung dibayar ke kas negara atau apa bukti penerimaan itu dibuktikan kepada negara baru dirilis," tutur Ferdinand.

Sayangnya, keberadaan PPA di era Jaksa Agung HM Prasetyo saat ini seperti tidak ada tajinya. "Jaksa Agung saat ini tidak memiliki perhatian pada pemulihan aset. Hal ini, berbanding terbalik dengan mantan Jaksa Agung Basrief Arief yang fokus pada pemulihan aset,. Padahal PNBP masih banyak yang belum tertagihkan," tegasnya.

"Sekarang sepertinya mengendur. Dan Kejaksaan sepertinya disibukkan isu yang lain," tukasnya.

Pemerhati kejaksaan, Kamilov Sagala pun menyatakan miris dengan kinerja Jaksa Agung dan pimpinan PPA saat ini. "Sangat miris dan prihatin dengan kinerja Jaksa Agung dan PPA yang belum maksimal terkait pengembalian kerugian negara," kata Kamilov.

Padahal sejujurnya institusi ini memiliki Chuck Suryosumpeno yang sangat paham tentang pemulihan aset. "Sayang jika Kejaksaan tidak memberdayakan prestasi jaksa itu, banyak penegak hukum dari luar negeri yang datang berkonsultasi dan minta pendapatnya, tapi institusinya sendiri malah tidak tahu‎," ucapnya.

Menurutnya, jika kinerja PPA mau optimal dan kembali berprestasi seperti sebelumnya, dibutuhkan dukungan SDM yang mampu bekerja dengan akselerasi yang tinggi. "Bagaimana bisa pemerintah memberikan tambahan anggaran ataupun intensif atau reward jika kinerjanya hingga kini malah melempem, bahkan saya mengusulkan agar remunerasi para Jaksa yang sempat meningkat karena hasil PNBP yang disetorkan PPA tahun lalu turut direvisi !" cetusnya.

"Saya rasa pemulihan aset adalah barang baru buat JA saat ini, padahal hal jika ini tidak ditindaklanjuti menunjukan kinerja JA pincang," pungkasnya.

Terpisah, Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Rimawan Pradiptyo, mengatakan jika nilai korupsi sebesar Rp 168,19 triliun dan hukuman finansialnya hanya Rp 15,09 triliun, maka ada Rp 153,1 triliun yang sudah pasti tidak dikembalikan oleh para koruptor.

"Dengan kata lain para pembayar pajak Indonesia telah menyubsidikan para koruptor.  Uang Rp15,09 triliun itu pun sebenernya belum benar-benar masuk ke kantong pemerintah karena baru berupa hukuman financial. Artinya masih ada tahapan eksekusi oleh pihak kejaksaan untuk merealisasikannya," kata Rimawan.

Kejaksaan pun belum mengeksekusi semua hukuman financial atau uang pengganti tersebut. "Hingga akhir 2013, masih ada piutang uang pengganti dari perkara korupsi sekitar Rp 3,5 triliun yang belum dieksekusi atau belum disetor kejaksaan ke kas Negara. Piutang tersebut merupakan bagian dari total piutang uang pengganti sebesar Rp 13,14 triliun," tegasnya.

Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) dalam Kurun 2004-2014, lanjutnya, piutang uang pengganti kerugian Negara yang belum disetorkan kejaksaan terus terakumulasi dari tahun ke tahun.
"Pada akhir tahun 2004, total piutang uang pengganti yang belum disetor sebesar Rp 6,66 triliun. Setiap tahun jumlahnya terus meningkat hingga mencapai Rp 13,14 triliun pada akhir 2013. Artinya, banyak piutang yang sudah bertahun-tahun tidak disetor ke kas Negara. Padahal, seharusnya, hukuman financial yang telah inkracht van gewijsde harus segera di eksekusi dan disetor ke kas Negara," tegasnya.

"Seharusnya uang pengganti yang telah dieksekusi tidak boleh terlalu lama disimpan dalam rekening penampungan karena berpotensi disalahgunakan," pungkasnya.

(HanTer)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar