Juni 30, 2015

Inilah Curahan Hati Seorang Debt Collector

Ilustrasi debt collector (Fot:igoman.blogspot.com)
Ilustrasi debt collector (Fot:igoman.blogspot.com)
SEBUAH kalimat bijak menyebutkan bahwa utang harus dibayar. Tetapi bagaimana jika utang tersebut belum dapat dibayar? Padahal, sesuai kesepakatan dan perjanjian awal utang harus lunas sebelum tanggal jatuh tempo.

Lalu apa pendapat Anda jika melihat orang yang memiliki sosok besar, tegap, tinggi, dan kekar? Kebanyakan dari kita pasti mengira bahwa orang tersebut adalah sosok yang menyeramkan. Hal itu juga diilustrasikan di dalam kartun Popeye, di mana sosok tokoh Brutus yang memiliki tubuh berkulit gelap, tinggi, besar, dan berotot menjadi musuh yang paling jahat dan kejam. Begitu pula dengan tokoh Giant
dalam kartun Doraemon. Stigma itu pun juga muncul dalam kehidupan sehari–hari.

Apalagi jika kita mendengar sosok penagih utang atau yang lebih populer disebut debt collector. Apakah Anda takut? Tentu jika kita tak memiliki masalah, tidak perlu takut terhadap sosok debt collector. Yang paling merasa takut terhadap debt collector pastinya adalah kreditor ‘nakal’ yang belum juga mengembalikan utang kepada sebuah instansi atau individu.

Kembali kepada masalah postur tubuh. Rata–rata debt collector yang disewa memiliki postur tubuh tinggi, kekar, dan tegap, tak jarang pula berkulit gelap. Bahkan hampir setiap perusahaan juga menyewa debt colletor yang berasal dari etnis tertentu. Debt collector biasanya dikerahkan saat perusahaan sudah merasa putus asa saat menagih utang kepada kreditor yang menunggak hingga berbulan– bulan.

Mungkin pepatah lainnya bisa digunakan, yakni tidak akan ada asap jika tak ada api. Tak mungkin akan berurusan dengan seorang debt collector, jika sanggup membayar tagihan. Eksistensi mereka saat ini memang masih diyakini dapat membantu bank, pengembang perumahan, auto leasing kendaraan, hingga debitor perseorangan untuk mengembalikan uang mereka
dan tentunya beserta bunga.

Salah satu contoh yakni kartu kredit. Fasilitas yang ditawarkan pada kartu kredit oleh setiap bank semakin bervariasi dan menggugah selera publik. Seolah menjadi ‘Kartu Ajaib’ yang tinggal digesek maka akan memperoleh barang yang diinginkan. Para pengguna tak menyadari bahwa bunga yang dibebankan bakal terus mencekik hingga pada suatu saat mereka akan berurusan juga dengan debt collector.

Baru–baru ini saja, satu kasus menimpa seorang nasabah Citibank yang tewas diduga karena ulah debt collector. Kasihan, padahal korban sudah memiliki itikad baik dengan menyambangi kantor Citibank dan mempertanyakan perihal tagihan kartu kreditnya yang membengkak. Lalu pertanyaannya, siapa mau jadi korban selanjutnya?

Mari sama–sama menengok kehidupan dan keseharian dari kisah hidup seorang debt collector. Tak usah jauh–jauh, kita ke Depok, Jawa Barat. Data yang diperoleh Okezone, sedikitnya terdapat 300 debt collector baik yang resmi maupun yang ilegal. Jika tak punya masalah, berbincang dengan mereka asyik–asyik saja meski memang sosok mereka begitu besar dan kekar.

Salah satunya Bewok, bukan nama sebenarnya, pekerjaan sehari–harinya memang seorang debt collector di sebuah perusahaan outsourcing yang disewa auto leasing motor dan mobil. Tak ada pilihan lain, dia harus memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menjadi tukang tagih utang. Namun Bewok tak ragu menyandang status tersebut, justru giat menjalani profesinya.

“Memang opini masyarakat sudah terbentuk bahwa orang yang jahat adalah seperti sosok kami ini. Lalu bagaimana dengan pejabat yang rapi dan putih serta bersih? Mereka juga sosok yang jahat karena korupsi. Karena kami rata–rata semua naik motor setiap bertugas. Jadi kami pasti selalu pakai jaket, dan jadi sosok yang menyeramkan karena postur kami,” tuturnya kepada Okezone, baru-baru ini.

Bewok membantah penilaian masyarakat soal debt collector erat kaitannya dengan kekerasan dan pemukulan. Sebab, kata Bewok, prosedur menjadi debt collector adalah tak boleh memukul kreditor.

“Kami memang diwajibkan untuk merebut barang atau menagih uang yang dipinjam oleh kreditor. Kalau kami tidak bisa mengembalikan justru disalahkan. Tak ada prosedur debt collector harus memukul, yang ada banyak debt collector yang merasa lelah setelah banyak janji diulur–ulur, maka di lapangan akhirnya menjadi emosi. Banyak pula yang menggertak atau mengancam, sering kami bilang kalau mau panjang bayar kalau mau pendek urusannya bayar juga. Intinya penuhi kewajiban, malah menjadi masalah baru,” tegasnya.

Bewok menceritakan bahwa banyak pula para kreditor yang sudah siap siaga lebih dulu sebelum didatangi oleh komunitas debt collector. Tak jarang para kreditor juga menyewa tukang pukul ataupun melibatkan polisi untuk menghalangi debt collector. “Kadang lebih galak yang punya utang, gampang sebenarnya tinggal kami suruh mereka untuk tanda tangan di atas materai jika tak bisa membayar dalam waktu sekian maka rumah atau mobil sebagai jaminan,” jelas Bewok.

Bewok juga mengklaim bahwa komunitasnya bukan sosok yang negatif seperti yang saat ini ada di mata masyarakat. Namun Bewok justru meyakini bahwa mereka adalah ‘penyelamat’ bagi institusi mereka untuk membantu mengembalikan pinjaman ataupun aset masih tertunggak. “Saat ini imej yang terlihat debt collector banyak dianggap minus, justru saya mengajak agar semua debt collector dapat menunjukan pada dunia bahwa kami adalah penyelamat klien. Kami juga manusia,”
tandasnya.

Cerita sepak terjang debt collector menjadi kian ramai pascakematian salah satu nasabah Citibank yang juga Sekjen PPB Irzen Okta pada 29 Maret 2011 lalu. Okta meregang nyawa secara langsung di tempat kejadian saat ia hendak meminta penjelasan terhadap tagihannya yangmembengkak hingga Rp 100 juta. Okta diduga kuat tewas di tangan tiga orang debt collector setelah masuk ke dalam ruang interogasi di dalam bank tersebut.
(http://news.okezone.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar