Pendeta asal Cilacap, Charles Burrows, mengungkapkan bahwa terjadi kesalahan dalam pelaksanaan eksekusi mati gelombang pertama yang terjadi Januari lalu. Terpidana mati asal Brasil, Marco Archer Cardoso, tak sempat ditenangkan dan didoakan sebelum eksekusi.
"Biasanya, sebelum eksekusi, ada kesempatan bagi rohaniwan untuk menenangkan dan mendoakan terpidana. Tapi, tak ada satu pun yang menenangkan dan mendoakan Marco," ujar Charles sebagaimana dikutip dari Sydney Morning Herald, Ahad, 22 Februari 2015.
Marco Archer adalah terpidana mati yang tertangkap basah menyelundupkan narkotika seberat 13,4 kg dalam rangka gantolenya tahun 2004. Oleh Pengadilan Negeri Tangerang ia divonis hukuman mati dan grasinya ditolak Jokowi pada Desember 2014.
Charles mengaku sudah mencoba untuk menemani saat Marco dibawa ke lokasi eksekusi yaitu di lapangan Lapas Besi, Nusakambangan. Namun, petugas lapas tak memberinya izin. Padahal, kata ia, Marco dalam kondisi yang sangat menyedihkan kala itu.
"Ia diseret dari selnya, menangis, dan meminta tolong. Ia bahkan buang air besar di celananya. Petugas lapas sampai harus menahannya. Terus seperti itu, hingga saat-saat terakhirnya," ujar Charles.
Pascaeksekusi mati, jenazah Marco dikremasi sesuai permintaan terakhirnya. Setelah itu, abu Marco dibawa pulang ke Brasil oleh tantenya.
Eksekusi Marco memicu reaksi keras dari pemerintah Brasil. Pada bulan Januari, mereka menarik duta besar mereka di Indonesia. Kementerian Luar Negeri membantah penarikan tersebut bersifat permanen.
Reaksi keras tersebut belum berhenti. Menjelang eksekusi terpidana mati terbaru asal Brasil, Ricardo Gularte, pemerintah Brasil menolak Duta Besar Indonesia dalam upacara di Negeri Samba itu. Presiden Brasil Dilma Rousseff mengatakan izin kerja untuk duta besar Indonesia ditunda sampai waktu yang belum ditentukan.
ISTMAN M.P. | SYDNEY MORNING HERALD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar