Maret 25, 2015

Di Tengah Eksekusi, Nenek Ini Peluk Tiang Rumahnya Sambil Menangis

KOMPAS.com/Kiki Andi Pati Seorang nenek dipapah petugas polisi karena dinilai menghalangi proses eksekusi.

 Eksekusi lahan seluas 600 meter persegi di Kampung Bugis, Kelurahan Rahandauna, Kecamatan Poasia, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra), Senin (23/3/2015), diwarnai kericuhan. Warga yang mendiami tanah sejak tahun 1976 itu memblokir seluruh jalan masuk menuju rumah mereka.

Namun, ribuan petugas gabungan dari kepolisian, Satpol PP, anggota TNI dari Kodim 1417/HO Kendari dan TNI AL serta juru sita dari pengadilan negeri Kendari yang diturunkan di lokasi eksekusi membuka blokade.

Untuk mempertahankan tanahnya, warga pun melawan dengan melempari polisi dengan batu. Polisi kemudian membubarkan aksi warga, dengan tembakan gas air mata. Warga akhirnya pasrah, setelah ratusan petugas polisi berhasil membubarkan kerumunan massa. Tangisan ibu-ibu serta anaknya pecah ketika satu unit eskavator merobohkan 12 rumah yang telah dihuni selama puluhan tahun.

Seorang nenek berusaha menghalangi alat berat dengan memeluk tiang rumahnya yang akan dirobohkan sambil menangis. Namun, petugas kepolisian dengan menggunakan bahasa daerah berupaya mencegah aksi nekat sang nenek.

"Biar saya mati di sini, ini tanahku hasil dari keringatku sendiri. Jangan halangi saya, biarkan saya di sini," teriak si nenek di lokasi eksekusi.

Mereka terpaksa mengeluarkan seluruh barang-barang dari dalam rumahnya.

"Di mana kita mau tinggal ini Ma, hanya itu kita punya tanah," teriak histeris seorang bocah laki-laki saat melihat rumahnya digusur alat berat.

Pelaksanaan eksekusi berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung RI yang dimenangkan oleh Israil jafar, oknum pensiunan TNI melawan Sutri dan Idris. Dalam amar putusan, yang seharusnya dieksekusi hanya lahan yang ditempati Sutri dan Idris. Namun, lahan milik Rabaa dan Daeng Maraka juga ikut dieksekusi oleh petugas.

Warga berupaya memberi penjelasan kepada polisi namun sia-sia, rumah mereka tetap dirobohkan hingga rata dengan tanah. Amran, salah seorang warga yang mendiami lahan sejak tahun 1976 menjelaskan, awalnya ia bersama warga yang lain menemapti lahan di kawasan Kendari Beach.

Oleh pemerintah daerah, mereka yang bekerja sebagai nelayan kemudian dipindahkan ke Kelurahan Rahandouna dengan diberi lahan dan biaya membangun rumah.

"Kami tinggal di sini sejak tahun 1973, sesuai program resettlement oleh pemerintah daerah. Putusan pengadilan sangat jangal, karena ada pembatalan," ungkapnya.

Arman melanjutkan, sertifikat lahan pemenang diterbitkan tanpa alas hak, tapi atas nama tanah adat. Pengadilan juga lanjutnya, tidak pernah menggelar sidang lapangan. Proses eksekusi tetap mendapat pengawalan ratusan aparat kepolisian, warga sekitar lokasi ikut menonton proses eksekusi. (http://regional.kompas.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar