Peran
rohaniwan cukup membantu dalam proses melancarkan "jalan" para
terpidana mati menjelang eksekusi. Seperti yang dikerjakan KH Hasan Makarim
yang sudah 24 tahun dipercaya mendampingi terpidana mati dari kalangan Islam.
Dia bertugas menenangkan hati dan pikiran para terpidana sebelum ajal
menjemput.
Tiga kali
dalam seminggu Kiai Hasan "sapaannya" menyambangi tujuh lembaga
pemasyarakatan (lapas) di Nusakambangan. Yakni Lapas Besi, Kembang Kuning,
Narkoba, Batu, Permisan, Terbuka, dan Pasir Putih. Di penjara-penjara itu ustad
yang kini menjabat ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cilacap tersebut dengan
telaten memberikan pengajian dan berdakwah. Mengajak para penghuni lapas untuk
kembali ke jalan kebenaran, jalan Tuhan.
Tak sekadar
menjadi rohaniwan, Hasan juga mendapat tugas dari Kementerian Hukum dan HAM
(Kemenkum HAM) untuk menjadi salah seorang pendamping terpidana mati di
Nusakambangan. Sebuah amanah yang berat. Namun, dia menjalani tugas itu dengan
keikhlasan.
Hasan bukan
orang baru di Nusakambangan. Bahkan, sebagian hidupnya dia dedikasikan untuk
menyebarkan nilai-nilai Islam di pulau terpencil tersebut. Koordinator pondok
pesantren di Nusakambangan itu sudah menjalani pekerjaan sebagai pendamping
terpidana mati sejak 24 tahun silam.
Minggu lalu
(15/2) Jawa Pos berkesempatan mengunjungi kiai karismatis tersebut di
kediamannya di Jalan Perintis Kemerdekaan, Cilacap. Saat ditemui, Hasan mengaku
sedang menyelesaikan tulisannya tentang pengalaman pribadinya selama
mengabdikan diri di Nusakambangan.
"Mumpung
ada waktu senggang, saya tulis. Biar tidak lupa ceritanya," ujar dia
ramah.
Sebagai
ulama terpandang di Cilacap, Hasan tinggal di rumah yang terkesan sederhana.
Bagian depan rumah dijadikan toko yang menjual busana muslim serta beraneka
majalah. Baru di ruang tengah sosok Hasan sebagai pemuka agama yang dihormati
terlihat. Foto-foto ketika dia menerima penghargaan dari presiden dipajang.
Selain itu, koleksi puluhan buku islami tertata rapi di dalam rak. Hal tersebut
mencerminkan bahwa sang pemilik rumah merupakan intelektual muslim.
Hasan bisa
berdakwah di kompleks Lapas Nusakambangan bukan lantaran faktor kebetulan.
Awalnya, pada 1985, dia diajak seorang ulama senior Cilacap untuk mengajarkan
ilmu agama di Lapas Nusakambangan. Ajakan itu tidak lantas dia terima. Hasan
berpikir lama. Dia sempat ragu untuk menyanggupi ajakan tersebut atau tidak.
Sebab, dia menyatakan belum siap membenahi akhlak penghuni lapas itu.
Setelah
berpikir lama, baru enam tahun kemudian Hasan bisa memutuskan untuk ikut
berdakwah di Nusakambangan. Bahkan, sampai kini dia masih aktif keluar masuk
lapas-lapas di sana.
"Kuncinya
ketulusan dalam memberikan ilmu," tutur anggota Dewan Kehormatan Palang
Merah Indonesia (PMI) Cilacap itu.
Sejak
hukuman mati mulai diberlakukan di Indonesia, tugas Hasan pun bertambah. Dia
tidak hanya berdakwah di depan para narapidana, namun juga ditugaskan sebagai
pendamping terpidana mati. Khususnya bagi yang beragama Islam. Dia pun dengan
ikhlas menjalankan tugas berat itu.
Karirnya
sebagai pendamping terpidana mati dimulai ketika eksekusi hukuman mati terhadap
trio pelaku bom Bali I. Yakni Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Ghufron. Sayangnya,
dia tidak bersedia menceritakan bagaimana pengalamannya mendampingi tiga
sekawan itu. "Mohon maaf, saya tidak bersedia cerita soal itu. Yang
lainnya saja ya," ujarnya tanpa mau mengungkap alasan penolakan bercerita
soal terpidana mati trio bom Bali I tersebut.
Terakhir,
Hasan menjadi pendamping bagi terpidana mati kasus narkoba, yakni Rani Andriani
alias Melisa Aprilia dan Namaona Denis, warga negara Malawi. Mereka dieksekusi
mati bersama empat terpidana mati lainnya, Marco Archer Cardozo Mereira, Daniel
Enemua, Ang Kim Soe, dan Tran"Thi Han. Eksekusi dilangsungkan serentak di
Nusakambangan dan Lapas Boyolali, Jawa Tengah, 18 Januari 2015 pukul 00.00.
Hasan
mengatakan, seminggu sebelum hari H eksekusi, dirinya sudah harus mendampingi
dua terpidana itu (Rani dan Namaona). Mereka diletakkan di sel isolasi. Tiap
sel dihuni seorang terpidana. Setiap hari Hasan dengan tekun memberikan
motivasi dan siraman rohani kepada keduanya.
Menurut
Hasan, mendekati hari-hari terakhir hidupnya, biasanya para terpidana mati
lebih khusyuk beribadah. Tak terkecuali Rani dan Namaona.
"Mereka
menjalankan semua tuntunan agama dengan baik," ucapnya.
Rani
misalnya. Perempuan asal Cianjur, Jawa Barat, itu merupakan muslimah yang taat.
Hari-harinya dia habiskan dengan beribadah. Salat lima waktu tidak pernah dia
tinggalkan. Dia juga rajin mengaji.
"Saya
kagum pada dia. Salatnya tidak pernah bolong. Dia menjalaninya dengan khusyuk,"
paparnya.
Selain salat
dan mengaji, Rani rajin berpuasa. Sekitar dua bulan menjelang eksekusi, dia
menjalankan puasa setiap hari. Targetnya sampai 40 hari. Sayang, baru 35 hari
dia sudah harus menjalani eksekusi.
Rani juga
dikenal sebagai perempuan yang pandai bergaul. Vonis mati yang dia terima tak
menghilangkan keceriaannya. Setiap hari perempuan yang ditangkap saat membawa
heroin seberat 3,5 kilogram itu selalu menjalankan kegiatan di lapas.
"Pokoknya,
yang bersangkutan tampak pasrah menghadapi hukuman itu," kenang Hasan.
Untuk
Namaona Denis, Hasan menceritakan, awalnya laki-laki tersebut sangat pendiam.
Dia sempat terpukul karena permohonan grasinya ditolak presiden. Namun, kepada
Hasan, dia akhirnya bersedia membuka diri.
Suami Anisah
Muhammad Bawazier itu punya kenangan bersama Namaona. Beberapa jam sebelum
eksekusi dilakukan, Hasan sempat bertemu suami Dewi Retno Atik tersebut. Dalam
kesempatan itu dia mencoba menenangkan Namaona. Dia mengajak terpidana mati itu
untuk ikhlas.
Bahkan,
beberapa menit sebelum hukuman dilaksanakan, Hasan masih terus mendampingi
kliennya tersebut. Hasan berdoa sambil memegang dada Namaona untuk
menghilangkan ketegangan.
"Namun,
ternyata Namaona tidak tegang sama sekali. Dia begitu tegar dan tenang. Setelah
doa selesai, dia pun melangkah dengan mantap menuju tempat eksekusi
dilangsungkan. Lagi, saya dibuat kagum," papar Hasan.
Setelah
terpidana dieksekusi dan tim dokter menyatakan yang bersangkutan sudah
meninggal, Hasan mendampingi tim medis untuk membersihkan jenazah. Sesudah
mengafani, Hasan memimpin salat Jenazah.
Menurut
Hasan, terpidana yang dirinya dampingi rata-rata mempunyai pengetahuan agama
yang luas. Itu mempermudah Hasan untuk menanamkan nilai-nilai religiusitas
kepada kliennya. Apalagi, pada tiga hari menjelang eksekusi, pendampingan makin
intensif. Malah ada terpidana yang minta didampingi setiap jam sekali untuk
berdoa.
"Terpidana
harus selalu dimotivasi agar tidak frustrasi menjelang saatnya tiba,"
ungkapnya.
Untuk materi
pendampingan, Hasan tidak pernah mengungkit-ungkit masa lalu terpidana yang
kelam. Dia juga tidak pernah menggurui. Sebab, itu akan membuat terpidana down
dan bahkan menolak didampingi.
"Yang
dibutuhkan adalah motivasi dan perbaikan diri serta keikhlasan. Bagaimana
membuat waktu hidupnya bermanfaat," tuturnya.
Menjelang
eksekusi, Hasan mengajak terpidana untuk menjalani ritual. Yakni, melakukan
salat Taubat agar semua dosa yang pernah dia lakukan diampuni Tuhan. Setelah
itu, terpidana akan mengenakan kain kafan putih dan minyak wangi. Tujuannya,
mereka mati dalam keadaan suci.
"Mudah-mudahan
jalan mereka diberi kelancaran," tandas Hasan. (*)
- See more
at:
http://www.indopos.co.id/2015/02/kh-hasan-makarim-24-tahun-jadi-pendamping-terpidana-mati-di-nusakambangan.html#sthash.i62r6Ci2.dpuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar