April 17, 2015

Freddy Budiman Bukan Narapidana Biasa

Belum habis keterkejutan masyarakat akan temuan kue brownies yang dibuat dengan campuran daun ganja, polisi pada Selasa (14/4) membongkar distribusi narkotika dan obat-obatan berbahaya jenis baru di negeri ini. Peredaran gelap narkoba itu diduga melibatkan terpidana mati kasus narkoba, Freddy Budiman.
Freddy Budiman, terpidana mati kasus narkoba.
RADITYA HELABUMIFreddy Budiman, terpidana mati kasus narkoba.
Freddy divonis mati Pengadilan Negeri Jakarta Barat tahun 2013 sebab memiliki satu kontainer berisi 1,4 juta pil ekstasi yang didatangkan dari Tiongkok. Barang terlarang itu diketahui setelah Badan Narkotika Nasional (BNN) membongkar truk peti kemas itu di pintu Tol Kamal, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat, 28 Juli 2012.
Freddy yang ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Batu di Pulau Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, masih membuat cerita saat ia pada Agustus 2013 didatangkan ke gedung Direktorat Tindak Pidana Narkoba Badan Reserse Kriminal Polri di Jakarta. Freddy diundang untuk menyaksikan pemusnahan barang bukti kasus yang melibatkan dirinya.
Selama ini pemusnahan barang bukti sebenarnya tidak wajib dihadiri terpidana, tetapi cukup oleh pejabat yang berwenang dan media massa. Namun, Freddy memang narapidana nan istimewa sehingga ia pun harus diminta hadir menyaksikan barang bukti dimusnahkan. Namun, keistimewaan yang diberikan kepada Freddy itu tidak terlalu disoroti media massa karena ia bisa "menutupinya".
Freddy saat itu menunjukkan sikap tak suka disoroti media, khususnya televisi. Ia mengejar juru kamera SindoTV, Imam (28), dan melakukan penganiayaan serta melontarkan ancaman dan makian. Ia juga berusaha memburu pewarta lain yang meliput kehadirannya di Jakarta.
Perilaku Freddy itu seakan lenyap, tak ada pertanggungjawaban hukum. Padahal, ia sudah menganiaya dan menebarkan ancaman kepada pekerja media, yang dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers harus dilindungi. Siapa pun yang menghalangi wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya pun bisa dihukum.
Kasus yang melibatkan Freddy ketika berstatus terpidana itu seakan menguap, seperti kasus sebelumnya yang menunjukkan "kekuasaan"-nya di penjara. Vanny Rossyane, yang mengaku sebagai kekasih Freddy, Juli 2013, membeberkan adanya fasilitas bilik asmara di LP Narkotika Cipinang, Jakarta. Bilik asmara itu diperuntukkan bagi Freddy.
Cerita fasilitas bagi Freddy ini hilang bak ditelan bumi. Ia hanya dipindahkan ke Nusakambangan, setelah dijatuhi hukuman mati. Dalam catatan BNN dan Polri, selama di LP Cipinang pun Freddy sempat mengimpor sekitar 400 butir ekstasi dari Belanda. Jaringannya terus berjalan walau dia tidak menjadi orang bebas lagi. Bahkan, penjara seperti tempat paling aman baginya untuk terus mengendalikan jaringan peredaran gelap narkobanya.
Tidak jera
Pasal 2 UU No 12/1995 tentang Pemasyarakatan memastikan, sistem pemasyarakatan, sebagai pengganti sistem pemenjaraan pada masa lalu, diterapkan dalam rangka membentuk warga binaan (narapidana) sebagai manusia seutuhnya. Mereka menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi perbuatannya lagi sehingga dapat diterima masyarakat.
Direktorat Tindak Pidana Narkoba  Bareskrim Mabes Polri mengungkap pabrik narkoba yang berada di ruko Mutiara Taman Palem, Cengkareng, Jakarta Barat, Selasa (14/4/2015). Pabrik narkoba yang memproduksi ekstasi tersebut merupakan jaringan pengedar narkoba yang dikendalikan oleh terpidana mati Freddy Budiman.  Jaringan tersebut juga mengedarkan narkoba jenis baru CC4 yang mempunyai bentuk seperti lembaran perangko.
RADITYA HELABUMI
Direktorat Tindak Pidana Narkoba  Bareskrim Mabes Polri mengungkap pabrik narkoba yang berada di ruko Mutiara Taman Palem, Cengkareng, Jakarta Barat, Selasa (14/4). Pabrik narkoba yang memproduksi ekstasi tersebut merupakan jaringan pengedar narkoba yang dikendalikan oleh terpidana mati Freddy Budiman.
RADITYA HELABUMI
Namun, dengan terungkapnya kasus peredaran gelap narkoba yang diungkap oleh kepolisian, Selasa lalu, menunjukkan Freddy tak pernah jera. Jaringannya terus berjalan. Bahkan, kasus yang terakhir terungkap dalam operasi di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba, Jakarta.
Seorang tahanan berinisial JS sengaja membuang tas hitam yang berisi aneka jenis narkoba dan ekstasi senilai Rp 1 miliar. Dalam tas itu ada narkoba yang disebut jenis baru, yaitu lysergic acid diethylamide (LSD) varian baru, CC4, sebanyak empat lembar. Narkoba jenis baru ini mirip prangko.
Sebelumnya, dua tahanan Rutan Salemba, Asiong Cecep dan Kim, dijemput Direktorat Tindak Pidana Narkoba Polri karena diduga terlibat peredaran narkoba yang melibatkan Freddy. Freddy pun, dalam wawancara dengan media massa, tak menampik ia masih berkomunikasi dengan jaringannya dan mengendalikan bisnis gelap narkoba di negeri ini.
Freddy mengakui menggunakan jasa warung telekomunikasi (wartel) di LP untuk berkomunikasi dengan jaringannya. Kasus peredaran narkoba yang terakhir disebutnya bukan semata kesalahannya, melainkan karena jaringan peredaran gelap narkoba internasional yang melibatkannya tak memiliki kontak lain di Indonesia selain dirinya.
Freddy pun meminta maaf kepada rakyat Indonesia terkait kelakuannya dalam hal peredaran narkoba. Ia berharap bisa lebih baik lagi berperi kehidupan. Namun, ia tak pernah berjanji untuk menghentikan kegiatannya mengedarkan dan mengendalikan peredaran narkoba.
Freddy tampaknya memang bukan narapidana biasa. Ia bisa leluasa berbicara dengan media massa. Ia bisa berkomunikasi dengan dunia luar. Padahal, Pasal 14 UU Pemasyarakatan menegaskan hak narapidana, antara lain mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa yang tidak dilarang serta menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya. Tak ada hak narapidana berkomunikasi dengan pihak luar penjara melalui telepon atau alat komunikasi lain.
Kisah Freddy Budiman kian lengkap dengan adanya dugaan keterlibatan aparat penegak hukum, termasuk petugas di LP Batu Nusakambangan dan LP Cipinang. Kondisi ini kian kontras dengan kebijakan Presiden Joko Widodo yang menggelar perang melawan peredaran gelap narkoba, antara lain dengan menolak grasi bagi terpidana mati kasus narkoba dan melaksanakan segera eksekusi mati.
Namun, dalam eksekusi terpidana mati yang berlarut-larut dalam pemerintahan Jokowi, nama Freddy Budiman belum termasuk yang didaftarkan. Ia diduga tidak sendirian mengendalikan peredaran gelap narkoba dari Nusakambangan. Ada pula Sylvester Obiekwe Nwolise, warga negara Nigeria yang berulang kali tertangkap karena terkait peredaran gelap narkoba.
Tampaknya pemerintahan Jokowi harus lebih tegas lagi untuk menyelamatkan generasi muda dari ancaman narkoba. Harus ada prioritas terpidana mati yang akan dieksekusi, yang dipastikan tidak menimbulkan kegaduhan politik, termasuk dengan negara tetangga.
Seperti pada masa pemerintahan sebelumnya, terpidana mati yang menunjukkan penyesalan, pertobatan, tak mengulangi perbuatannya, dan jelas memperbaiki diri bisa saja diberikan pengampunan atau pengurangan hukuman.
Namun, bagi terpidana yang tak jera, terus mengulangi perbuatannya, termasuk dengan melibatkan aparat, rasanya masyarakat akan mendukung jika mereka dieksekusi. Apalagi, narkoba adalah salah satu ancaman terbesar bagi masa depan bangsa ini. Berani...? (http://print.kompas.com/baca)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar