Januari 20, 2017

Siapa Eksekutor Kebiri?


Oleh Sarsintorini Putra

PRESIDEN Joko Widodo telah menandatangani Perppu No 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, dan telah disahkan menjadi Undang-Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada Rabu (12/10/2016). Meskipun, pengesahan itu adalah dengan catatan dari dua fraksi, yakni PKS dan Gerindra yang masih mempertanyakan Perppu tersebut. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise meminta semua pihak agar menaati keputusan tersebut.
Permintaan ini termasuk untuk Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang sejak awal menolak menjadi eksekutor hukuman kebiri sebagai hukuman tambahan. Perppu ini memberikan hukuman berat bagi para pelaku kejahatan seksual terhadap anak, hukuman mati, penjara seumur hidup maksimal 20 tahun penjara dan minimal 10 tahun penjara, serta sanksi tambahan yaitu kebiri kimiawi, pengumuman identitas ke publik, serta pemasangan alat deteksi elektronik. Pemberatan hukuman melalui kebiri ini hanya berlaku bagi pelaku yang telah dewasa. Bagi yang masih di bawah umur, pemberian hukuman dapat dilakukan dengan pendekatan restorative justice. IDI menyatakan dukungan atas hukuman pelaku kekerasan seksual terhadap anak, namun menolak ikut melaksanakan kebiri sesuai dengan fatwa MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) No. 1 Tahun 2016. Dokter hanya bertugas untuk kepentingan kemanusiaan.
Dalam peperangan pun dokter harus menyelamatkan manusia, sekalipun itu musuh. Pelaksanaan hukuman kebiri oleh dokter, dianggap melanggar Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Wakil Ketua Umum IDI Daeng M Faqih menyampaikan eksekutor hukuman kebiri tidak harus dokter. Sikap IDI menolak menjadi eksekutor, menjadi dilema karena hanya dokter yang memiliki kompetensi tindakan medis. IDI menolak dengan tegas, jika dokter melanggar, maka akan dikeluarkan dari organisasi profesi.

Bukan Praktik Kedokteran
Cara lain kebiri kimia yaitu memberikan obat depo provera yang biasa digunakan kontrasepsi wanita. Produksi hormon tertosteron akan menurun dan kehilangan fungsinya. Penurunan hormon testosteron akan berpengaruh ke otak, sehingga suasana hati tidak nyaman, menjadi pemarah, kulit kering, otot mengecil, tulang keropos, lemah dan loyo, akhirnya meninggal. Wajarlah jika IDI menolak menjadi eksekutor, karena hal ini bertentangan dengan praktik kedokteran, yang diatur dalam UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Praktik kedokteran yaitu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan.
Profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat. P r a k t i k kedokteran dilaksanakan berasaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan serta perlindungan dan keselamatan pasien. Praktik kedokteran bertujuan memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi, dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi (pasal 2 dan 3 UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran ).
Dokter dan dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan Standar Profesi dan Standar Prosedur Operasional. Dokter boleh berpraktik, jika sudah memiliki STR (Surat Tanda Registrasi) yang diterbitkan oleh KKI (Konsil Kedokteran Indonesia) dan SIP (Surat Izin Praktik) yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, bilamana syarat-syaratnya sudah dipenuhi. Tanpa STR dan SIP, dokter tidak boleh melakukan tindakan medis kepada pasien. Jika dipaksakan tindakan kebiri harus dilakukan oleh dokter atau perawat, maka UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan UU No 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, ini harus diubah dulu, juga dengan UU.
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) adalah lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter atau dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi dan menetapkan sanksi. Terkait opsi perawat yang dilatih untuk menyuntik kebiri, ini pun akan bertentangan dengan UU No 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan. Dalam undang-undang ini asas yang harus diterapkan dalam praktik keperawatan yaitu perikemanusiaan, nilai ilmiah, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, perlindungan, kesehatan dan keselamatan pasien. Eksekutor dari perawat pun mengalami kesulitan karena UU Keperawatan Tahun 2014 ini tidak memungkinkannya untuk menjadi eksekutor. Dalam perdebatan di Komisi dan Panja, salah satu opsi alternatif adalah menunjuk dokter di Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Sakit Kepolisian yang memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi hukuman kebiri. (47)
–– Prof Dr Sarsintorini Putra SH MH, Guru Besar Hukum Kesehatan, ketua Program Doktor Ilmu Hukum Untag Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar