Januari 16, 2017

Eksekusi Pidana: Tanggungjawab Pengadilan atau Kejaksaan?


Beberapa waktu terakhir, pelaksanaan atau eksekusi putusan pidana mengundang kontroversi yang cukup riuh, karena adanya putusan-putusan pengadilan terkait perkara tidak pidana korupsi yang tidak (segera) dilaksanakan. Protes keras terhadap hal ini antara lain datang dari ICW.
Menanggapi adanya protes tersebut, pihak kejaksaan cenderung untuk menghindar, serta mengemukakan bahwa keterlambatan eksekusi putusan terjadi, karena pihak pengadilan tidak segera mengirimkan salinan putusan ke kejaksaan. Jaksa Agung mengutip ketentuan dalam Pasal 270 KUHAP yang menentukan bahwa eksekusi dilakukan oleh jaksa, setelah panitera mengirimkan sailnan surat putusan kepadanya. Dalam prakteknya, tambah Jaksa Agung, eksekusi putusan tanpa menunjukkan salinan putusan itu seringkali mengundang perlawanan dari pihak terpidana. Pada intinya, Jaksa Agung hendak menyatakan bahwa protes keras ICW seharusnya diarahkan kepada pengadilan.
Pasal 270 KUHAP
“Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya.”

Pernyataan Jaksa Agung tersebut, dalam pandangan saya, mengandung beberapa kejanggalan.
Pertama, kalaupun pernyataan Jaksa Agung terkait protes pihak terpidana itu benar terjadi, pertanyaannya mengapa justru jaksa yang bertahan dengan argumen itu? Katakanlah argumen ini keluar dari pihak pengacara (terpidana), tentu lebih mudah dipahami. Pihak terpidana jelas punya kepentingan untuk menghindari dilakukannya eksekusi. Kedua, kalaupun ada perlawanan dari pihak pengacara (terpidana), kemudian akan muncul pertanyaan baru. Dengan cara apa pengacara (terpidana) melakukan perlawanan itu? Serta apa yang sudah dilakukan oleh kejaksaan untuk mengantisipasi hal tersebut? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, mari kita tengok kembali ketentuan-ketentuan terkait pelaksanaan eksekusi ini. Rumusan Pasal 270 KUHAP sendiri, dalam prakteknya telah membuka perdebatan, setidaknya, atas dua permasalahan.
Permasalahan pertama, terkait dengan waktu pelaksanaan eksekusi. Meskipun Pasal 270 KUHAP memerintahkan jaksa melaksanakan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, setelah salinan surat dikirimkan, tetapi tidak ada patokan waktu berapa lama salinan putusan itu harus diselesaikan. Permasalahan kedua, mengenai apa yang dimaksud dengan salinan putusan dalam pasal tersebut. Pihak pengadilan telah beranggapan bahwa sebenarnya jaksa cukup menggunakan petikan putusan saja dalam melaksanakan putusan. Artinya, lambatnya penyelesaian putusan bukan merupakan hambatan bagi jaksa. Permasalahan terakhir, inti dari perdebatan yang terakhir muncul sehubungan dengan protes atas pelaksanaan putusan yang lamban, siapa yang seharusnya bertanggungjawab? Pihak pengadilan atau pihak kejaksaan?
Waktu pengiriman salinan putusan
Permasalahan waktu pengiriman ini, bukan hal baru. Namun demikian, perdebatan yang selama ini muncul sebenarnya tidak terkait pelaksanaan putusan, melainkan terkait dengan pengajuan memori oleh jaksa – meskipun pada kenyataannya, entah mengapa, perdebatan tersebut tetap berada dalam kerangka Pasal 270 KUHAH (padahal ruang lingkup Pasal 270 KUHAP adalah putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap).
Memang benar bahwa ada keberatan dari pihak kejaksaan atas lambannya penyelesaian salinan putusan oleh pengadilan, sehubungan dengan waktu yang diperoleh jaksa untuk mempersiapkan memori banding terkait putusan bebas. Apabila salinan putusan terlambat diberikan, dapat dibayangkan bagaimana sulitnya jaksa dapat mempelajari berkas tersebut dengan baik, serta menyelesaikan memori yang akan diajukannya. Dalam beberapa memori kasasi dapat kita temui keberatan pihak kejaksaan terkait lambatnya penyelesaian salinan putusan (misalnya dalam Putusan No. 1412 K/Pid/2006, No. 2534 K/Pid/2007, No. 782/K/Pid/2008).
Untuk mengatasi hal tersebut, sejak tahun 1983, Mahkamah Agung sebenarnya telah menegaskan, bahwa untuk perkara tolakan (penolakan dakwaan) dalam waktu satu minggu pengadilan sudah harus menyampaikan salinan putusan terkait kepada pihak kejaksaan. Batas waktu ini telah diterima pula oleh pimpinan kejaksaan ketika itu yang pada tahun 1995 mengeluarkan surat edaran yang mengacu pada surat edaran Mahkamah Agung tersebut.
Jangka waktu penyelesaian salinan putusan pidana dalam waktu satu minggu tersebut, pada perkembangannya kemudian, diubah menjadi empat belas hari. Mahkamah Agung mengeluarkan surat edaran pada tahun 2010, kemudian diperbaharui pada tahun 2011, yang menyesuaikan jangka waktu tersebut dengan ketentuan dalam UU Paket Peradilan. Selain mengubah batas waktu pengiriman salinan putusan, surat edaran juga mengatur bahwa petikan putusan (hanya amarnya saja) sudah dapat dikirimkan segera setelah putusan diucapkan.
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 21/1983 Tentang Batas Waktu Pengiriman Salinan Putusan Pada Jaksa
“[…]
Mengenai “dalam jangka waktu beberapa lama” Panitera harus sudah mengirimkan salinan surat putusan itu kepada Jaksa, hal itu memang tidak diatur dalam KUHAP. Akan tetapi Mahkamah Agung menganggap wajar apabila jangka waktu pengiriman itu diberi batas, yakni eksekusi putusan oleh Jaksa dapat segera dilaksanakan.
Hendaknya dalam hal menyangkut perkara-perkara tolakan (acara pemeriksaan biasa). Hakim sudah dapat membiasakan diri untuk membuat putusan yang sudah selesai diketik rapi dan langsung di tanda tangani begitu putusan diucapkan, sehingga pengiriman salinan putusan oleh Panitera kepada Jaksa dapat pula segera dilakukan. Untuk perkara-perkara tolakan ini kiranya batas waktu paling lambat 1 (satu) minggu bagi pengiriman salinan putusan oleh Panitera kepada Jaksa, dapat dianggap memadai.
Sedangkan dalam hal menyangkut perkara-perkara dengan acara singkat batas waktu itu paling lambat adalah 14 (empat belas) hari.
Hal tersebut di atas juga mengingat adanya perkara-perkara yang dimintakan banding ke Pengadilan Tinggi, sehingga dengan diadakannya batas-batas waktu tersebut memudahkan pula bagi Jaksa untuk menyusun memori banding.
[…]”
Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum B-235/E/3/1994 Tentang Eksekusi Putusan Pengadilan
“[…]
2. Pidana Penjara/Kurungan
1.1. Menerima salinan Putusan Pengadilan dari Panitera Pengadilan Negeri yang bersangkutan dalam waktu 1 (satu) minggu untuk perkara biasa dan 14 (empat belas) hari untuk perkara dengan Acara Singkat (Pasal 270 KUHAP dan SEMA No. 21/1983).
[…]”
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 01/2011 Tentang Perubahan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 02/2010 Tentang Penyampaian Salinan dan Petikan Putusan
“[…]
2. Untuk perkara Pidana Pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak putusan diucapkan kepada Terdakwa atau Penasihat Hukumnya, Penyidik dan Penuntut Umum, kecuali untuk perkara cepat diselesaikan dengan ketentuan KUHAP;
3. Petikan Putusan Perkara Pidana diberikan kepada Terdakwa, Penuntut Umum dan Rumah Tahanan Negara atau Lembaga Permasyarakatan segera setelah Putusan diucapkan;
[…]”
Petikan putusan sebagai dasar eksekusi
Ketentuan yang terakhir muncul dalam surat edaran Mahkamah Agung, sebagaimana sudah disebutkan di atas, membedakan antara salinan putusan dengan petikan putusan. Pada dasarnya, petikan putusan hanya berisi amar putusan saja tanpa merinci lebih lanjut dasar pertimbangan dari hakim dalam memutus.
Selama ini, seperti diutarakan Jaksa Agung, muncul keberatan dari pihak (pengacara) terpidana terhadap pelaksanaan eksekusi yang hanya dilakukan berdasarkan petikan putusan. Namun demikian, saya sendiri belum melihat kepentingan apa yang dapat mendasari keberatan tersebut. Apa yang dapat dilakukan oleh pihak pengacara dalam melawan pelaksanaan putusan tersebut?
Jika kita perhatikan prakteknya, dalam satu putusan Mahkamah Agung di tingkat PK yang mempermasalahkan eksekusi tanpa penggunaan salinan putusan, Mahkamah Agung dengan tegas menyatakan bahwa pengajuan PK tersebut tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam KUHAP (Putusan No. 45/PK/Pid/2011). Kalau Mahkamah Agung konsisten dengan pendapat ini, kekhawatiran Jaksa Agung bahwa akan ada perlawanan pihak (pengacara) terpidana, tentu akan terbantahkan.
Keberatan jaksa atas terlambatnya pengiriman salinan putusan, sehingga pihaknya kesulitan menyelesaikan memori, menurut pandangan saya lebih dapat dipahami. Karena, untuk dapat mengajukan memori, jaksa harus mempelajari pertimbangan yang digunakan oleh hakim. Tetapi, terkait petikan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, apalagi yang hendak dipermasalahkan? Dan mengapa justru jaksa yang mengajukan argumen tersebut?
Namun dalam kenyataannya,  permasalahan tersebut (sepertinya) menjadi tidak sederhana, karena posisi jaksa sendiri yang menempatkan diri sebagai hakim. Sementara di banyak kondisi ideal “negara hukum”, hakim menjadi penyeimbang antara kepentingan terdakwa/terpidana dengan kepentingan penegakan hukum (jaksa), dalam situasi di Indonesia ceritanya jadi berbeda. Bagaimanapun, kalau kita lihat latar belakangnya, masalah pelaksanaan putusan ini sesungguhnya masalah institusional kejaksaan, yaitu bagaimana menjalankan fungsi penegakan hukumnya. Kalaupun penyelesaian salinan putusan menyentuh lembaga pengadilan, seperti protes pihak kejaksaan – yang juga bukan tanpa alasan, sesungguhnya itu terkait dengan berkurangnya waktu jaksa dalam mempersiapkan memori. Dan, sebagaimana telah disepakati juga oleh Mahkamah Agung melalui surat edarannya, seharusnya pengadilan berpegang pada batas waktu empat belas hari yang telah ditentukannya sendiri. 
Tugas dan tanggungjawab jaksa selaku eksekutor
Bahwa pelaksanaan putusan adalah tanggungjawab kejaksaan, sebenarnya telah diakui oleh pihak kejaksaan sendiri. Pada tahun 1995, satu tahun setelah keluarnya surat edaran pelaksanaan putusan pengadilan yang mengikuti batas waktu penyelesaian salinan putusan yang ditetapkan Mahkamah Agung, kejaksaan mengeluarkan surat edaran lagi.
Entah apa latar belakangnya, tetapi ketentuan tersebut, seperti sudah disampaikan di atas, membuat jaksa dalam beberapa hal harus mengambil alih peran penilaian oleh hakim. Dalam situasi yang berbeda dengan gambaran ideal “negara hukum” ini, jaksa menilai sendiri sejauh apa eksekusi boleh (atau tidak) segera dilakukan.
Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum B-128/E/3/1995 Tentang Tugas dan Tanggungjawab Jaksa Selaku Eksekutor Putusan Pengadilan
“[…]
  1. KUHAP telah menetapkan bahwa Jaksa adalah Eksekutor terhadap Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan untuk itu Panitera mengirimkan salinan Surat Putusan kepadanya (ps. 270 yo ps 1 butir 6a KUHAP). Dengan demikian Eksekusi putusan Pengadilan Yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sepenuhnya merupakan tugas dan tanggung jawab Jaksa.
  2. […]
  3. […]
  4. […] penundaan Pelaksanaan Eksekusi Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap hanya bisa dilakukan apabila […]:
    a. Alasan yuridis yaitu terpidana mohon penundaan; b. Pelaksanaan hukuman sehubungan dengan permohonan grasinya dan dalam hal hukum mati (Pasal 2, Pasal 3 UU No. 3/1950); c. Alasan perikemanusiaan seperti terpidana dalam keadaan hamil tua, sakit keras dan sebagainya.
[…]”
Kesimpulan
Dengan demikian, sebenarnya telah cukup jelas, pelaksanaan putusan pengadilan seharusnya menjadi tugas dan tanggungjawab kejaksaan. Namun pada prakteknya, potensi adanya benturan kepentingan antara pengacara (terpidana) dengan jaksa (penegakan hukum) dalam skenario proses hukum di “negara hukum” yang ideal, tidak akan sampai ke institusi pengadilan, melainkan telah diselesaikan oleh jaksa yang tidak hanya berperan sebagai jaksa, namun juga sebagai hakim.
Dengan sendirinya, hal ini membuat kejaksaan, ketika terkena tekanan politik dari aktivis pemantau peradilan dan/atau berhadapan dengan pengadilan, seperti mewakili dua kepentingan sekaligus. Bukan hanya penegakan hukum, tetapi juga hak-hak terpidana.
Kondisi ini, kalau dilihat sekilas, tentu akan menempatkan lembaga tersebut dalam posisi “korup”, dalam arti menyimpang dari tugas idealnya menegakkan hukum. Kepentingan jaksa dan kepentingan terpidana yang dalam skenario proses hukum di “negara hukum” yang ideal akan berbenturan dan harus diselesaikan di muka hakim, ternyata tidak selalu seperti itu adanya. Bagaimanapun, dari sudut pandang institusional ini, fenomena korupsi sebenarnya lebih menarik untuk dikaji. Dan diperdebatkan lebih lanjut.. (https://nasima.wordpress.com/2012/03/28/eksekusi-pidana-tanggungjawab-pengadilan-atau-kejaksaan/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar