Oktober 25, 2015

TIPS MENGHADAPI DEBTCOLLECTOR LEASING..!


Finance, Debt Collector, Preman & Polisi, Perubahan Strategi Finance “Menagih” Konsumen
Maraknya perusahaan pembiayaan atau yang lazim disebut finance, merupakan jawaban atas kebutuhan masyarakat akan keinginan untuk memiliki kendaraan bermotor dan benda bergerak lainnya secara kredit. Munculnya finance ini telah memberikan kontribusi positif bagi masyarakat, karena dengan adanya finance maka masyarakat sangat terbantu, yaitu “cukup” dengan uang muka, motor/ mobilpun sudah bisa dibawa. Apalagi didukung dengan Uang muka minim yang dikenakan, yaitu cukup, 5-10% dari harga kendaraan, bahkan ada pula yang tanpa uang muka, kendaraan sudah bisa dibawa, sedangkan sisanya diangsur.
Untuk membeli kendaraan tersebut kepada Deler/ showroom, konsumen cukup menyediakan uang muka, misalnya 10% dari harga kendaraan, sedangkan sisanya akan dibayar oleh Finance yang “menyetujui” untuk membayar lunas pembelian kendaraan kepada deler/showroom tersebut. Selanjutnya konsumen tinggal mengansur hutang tersebut kepada finance tadi hingga lunas, dengan disertai bunga yang ditentukan oleh finance.
Permasalahan akan timbul jika konsumen tidak mampu mengangsur lagi pinjaman tersebut, sehingga terjadilah “Kredit macet” terkait dengan pembayaran hutang tadi. Dalam kondisi ini, biasanya finance akan menurunkan petugas/ karyawannya untuk melakukan penagihan kepada konsumen.
Pada awalnya mungkin yang diturunkan adalah karyawan finance tersebut, dimana rata-rata berpendidikan diatas SLTA, baik D-3 maupun S-1, sehingga masih memiliki sopan santun dalam menagih konsumen yang terlambat hingga konsumen melakukan pembayaran.
Akan lain lagi jika konsumen tetap tidak memiliki kemampuan/ belum membayar, maka finance memliki strategi lain, biasanya dengan menurunkan Debt/ Proffesional Collector untuk menagih konsumen agar membayar. Dalam proses ini biasanya Debt/ Proffesional Collector sudah tidak lagi menagih pembayaran hutang, tetapi berusaha mengambil kendaraan yang dibeli oleh konsumen. Hal ini mengingat mereka bukan karyawan finance, tetapi tenaga lepas yang dibayar apabila mendapatkan berhasil “menyita” kendaraan milik konsumen. Kalaupun konsumen bisa membayar biasanya finance mengenakan biaya tambahan guna membayar debt/ Proffesional Collector tadi. Biaya tersebut biasanya disebut ganti biaya tarik, biaya pick up, pinalti, atau istilah-istilah lain, tergantung financenya.
Dalam melakukan kegiatannya debt/ Proffesional Collector tadi sering ataupun sudah bertindak seperti preman agar konsumen membayar ataupun menyerahkan kendaraannya, seperti merampas, menteror, merusak, memaki, ataupun cara –cara premanisnya lainnya. Bahkan debt/ Proffesional Collector, untuk memuluskan jalannya “eksekusi” ataupun penagihan seringkali mengajak bekingnya, baik “oknum” polisi, TNI, ataupun preman yang lebih senior.
Apabila cara-cara kekerasan tersebut tidak berhasil, finance masih memiliki cara yang “cantik”. Yaitu menyewa lawyer/ advokat kemudian melaporkan kasus kredit macet tersebut kepada Polisi dengan tuduhan pasal 372 juncto 378 KUHP tentang Penipuan dan penggelapan atau pasal 35 dan 36 Undang-undang no 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia (UUJF). Cara-cara ini dilakukan dengan harapan agar Polisi dapat menyita kendaraan tersebut, kemudian di “pinjam pakai” oleh finance, sehingga kendaraan kembali kepada finance untuk dijual dan tutupkan hutang konsumen.
Menurut Achmad Junaidi, SH , selaku Kabiro Umum dan Pelayanan Masyarakat LPKSM, menyatakan, Cara ini cukup ampuh, mengingat dengan dipanggil oleh polisi, melalui surat panggilan yang menuduhkan tindak pidana, konsumen “seringkali” takut, kemudian menyerahkan kendaraannya kepada finance. Menurut “Mantan Collctor” ini pasal-pasal yang kenakan tersebut terkesan sangat dipaksakan, karena jelas-jelas terdapat kelemahan secara hukum, diantaranya :
Pasal 372 dan 378 KUHP tentang penipuan dan penggelapan : Kelemahannya terdapat pada status kendaraan, dimana dalam pasal tersebut dinyatakan “sebagian atau seluruhnya milik orang lain”. Hal ini tidak terpenuhi mengingat kendaraan tersebut adalah 100% milik konsumen, sebagaimana dibuktikan dengan BPKB atas nama konsumen. Jika dirunut kembali, maka pembelian konsumen adalah lunas 100% kepada deler/ showroom. Sedangkan terkait dengan kekurangan uangnya, konsumen hutang kepada Finance. Adalah Aneh jika Polisi menuduhkan pasal tersebut. Karena berdasarkan UU lalu lintas, jelas disebukan bahwa suatu kendaraan harus memiliki surat-surat yang lengkap, dimana dalam penjelasan dinyatakan termasuk pula BPKB, maupun STNK. Sedangkan apabila BPKB kendaraan dijaminkan hutang, maka terjadi perubahan “status hak milik” sebagaimana disyaratkan pada pasal ini.
Pasal 35 dan 36 Undang-undang no 42 tahun 1999 tentang Fidusia: kelemahanya terdapat pada proses perjanjian lahirnya jaminan fidusia. Seharusnya setiap perjanjian tersebut dibuat dengan notariil untuk kemudian didaftarkan kepada kantor hukum dan Ham untuk mendapatkan sertifikat jaminan fidusia. Dipilihnya bentuk notariil ini guna melindungi para pihak dari tindakan gegabah dan kekeliruan, karena seorang notaries, biasanya juga bertindak sebagai penasehat bagi kdua bla pihak, disamping kewajiban notaries untuk membacakan isi aktanya, sebelum ditandatangani. Hal itu berdasarkan pada pasal 28 Peraturan Jabatan Notaris. Kesalahan yang dilakukan finance adalah perjanjian tersebut dibuat dibawah tangan sehingga tidak dapat didaftarkan, untuk mendapatkan sertifikat jaminan fidusia. Kalaupun ada maka akte notariil tersebut dibuat dengan kuasa dari konsumen. Hal ini jelas-jelas melanggar pasal 18 Undang-undang No 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
3. Pasal 29 UUJF, tentang Eksekusi, yang menyatakan bahwa eksekusi terhadap benda yang menjadi obyek jaminan fidusi dapat dilakukan dengan cara (a) pelaksanaan title ekskutorial sebagaimana pasal 15 ayat (2) oleh penerima fidusia. Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 15 UUJF), maka dampaknya tidak ada lagi upaya hukum biasa yang bisa dilakukan, seperti verset (perlawanan), banding, kasasi. Karena disamakan dengan putusan pengadilan yang telah “Inkrach” maka pelaksaannya eksekusi jaminan fidusia juga sama dengan eksekusi pengadilan, (vide pasal 4 Undang –undang No 14 tahun 1970, Pokok-pokok kekuasaan kehakiman) yakni berdasarkan HIR bab IX tentang melaksanakan putusan hakim. Hakim akan memanggil, memperingatkan (an manning) hingga eksekusi yang dilakukan oleh juru sita. Terkait dengan proses eksekusi inilah juru sita pengadilan bisa meminta bantuan aparat polisi terkait dengan proses tersebut. Hal itu dapat pula dilihat pada pasal 441 R.v., yang menyatakan secara jelas, “Kreditur yang memegang keputusan atau akte yang mengandung title eksekutorial bisa langsung menghubungi dan minta juru sita untuk melaksanakan penyitaan atas harta debitur.
Menyadari kelemahan tersebut, seringkali Polisi tidak bisa berbuat banyak. Hal yang seringkali dilakukan adalah memanggil konsumen, memeriksa dan menuangkan dalam BAP, sedangkan terkait dengan kendaraan biasanya konsumen diminta untuk menyerahkan secara sukarela, bukan melakukan penyitaan sesuai prosedur yang memerlukan penetapan/ persetujuan Pengadilan Negeri. Setelah konsumen menyerahkan kendaraan kepada polisi atau kepada finance, maka kasus tutup. Sehingga tidak ada lagi kejelasan perkara, apakah merupakan tindak pidana atau perdata.
Kabiro yang membawahi divisi hukum ini, menghimbau bagi masyarakat untuk tidak takut dalam menghadapi finance, baik collector, maupun polisi. Apabila ada konsumen yang dilaporkan oleh Finance atau lembaga pembiayaan, dapat menghubungi Kantor Lembaga perlindungan konsumen untuk mendapatkan bantuan hukum.
lembaga perlindungan konsumen di kudus, cara menagih utang ke konsumen kredit motor, eksekusi jaminan pidusia yg dapat dilaporkan ke polisi, mengatasi debt collector yang menagih keluarga, uu no 36 kuhp soal fidusia.

(http://www.yabpeknas.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar