|
|
|
|
|
|
|
|
|
Skandal Perbankan I IMF Tak Pernah Beri Peringatan pada Kebijakan Salah
|
|
|
 Foto: ISTIMEWA
Skandal
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan obligasi rekapitalisasi
perbankan merupakan bukti kejahatan terhadap rakyat warisan Dana Moneter
Internasional (IMF) yang berkolusi dengan oknum pejabat korup bersama
kroni pemerintah. Obligor pengemplang BLBI justru tidak dikejar agar
melunasi utangnya, tapi utang mereka malah dibebankan kepada ratusan
juta rakyat Indonesia.
Untuk itu, pemerintahan Joko Widodo tidak
perlu meneruskan warisan rekomendasi IMF yang tidak berintegritas karena
eks pimpinannya terbukti tidak berintegritas. Jokowi dan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) harus segera menuntaskan korupsi BLBI jika
tidak ingin Indonesia pailit, yang hanya soal waktu. Jokowi dan KPK
harus bertindak cepat mengeksekusi hak tagih BLBI kepada obligor yang
belum melunasi utangnya.
Ancaman kebangkrutan Indonesia akibat
utang BLBI terlihat dari membengkaknya utang negara mencapai 3.500
triliun rupiah saat ini, setelah 17 tahun negara terbebani oleh
bunga-berbunga obligasi rekap sebesar 670 triliun rupiah pada 1998. Dan,
dalam 10 tahun ke depan utang negara bakal mencapai 6.000 triliun
rupiah. Ini adalah jumlah yang kemungkinan besar tidak terlunasi dan
pasti menimbulkan kesulitan generasi mendatang.
Ekonom
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Achmad Maruf, mengemukakan rakyat
Indonesia tidak mungkin harus terus-menerus menanggung utang perampok
BLBI. Pemerintah dan KPK mesti segera menuntaskan kasus BLBI dengan
melakukan eksekusi hak tagih dan moratorium pembayaran obligasi rekap.
"Ini
(skandal BLBI) sangat memalukan karena si perampok BLBI justru
dijadikan kroni dekat pemerintah. Kronisme ini yang menghancurkan
negara, harus dihentikan. Jokowi diharapkan memenuhi janji kampanye
kepada rakyat. Pelaksanaan kebijakan pro-rakyat adalah eksekusi hak
tagih BLBI sebelum negara pailit," tegas Maruf ketika dihubungi, Senin
(20/4).
Dihubungi terpisah, pengamat Anggaran dari Forum
Transparansi Anggaran untuk Indonesia (Fitra), Yenny Sucipto, juga
mendesak KPK untuk mempercepat eksekusi hak tagih BLBI. Yenny
mngingatkan jangan sampai KPK terlambat atau baru bergerak setelah aset
itu dialihkan ke luar negeri.
Dia mengkhawatirkan jika KPK
lamban, bisa mempersulit pelacakan aset di negara lain. Apalagi yang
tidak memiliki perjanjian ekstradisi seperti Singapura, padahal para
perampok BLBI itu umumnya sudah memiliki kewarganegaraan Singapura.
"Tuntaskan kasus BLBI sebelum terlambat," tegas Yenny.
Sebelumnya
dikabarkan, kasus pidana antara lain korupsi dan prostitusi, yang
membelit dua mantan pimpinan IMF yakni Rodrigo Rato dan Dominique
Strauss-Kahn semakin mempertegas rendahnya integritas pejabat dan
lembaga keuangan internasional itu. Untuk itu, pemerintah Indonesia
diharapkan jangan lagi mau memperlakukan IMF sama seperti saat
memberikan resep penanganan krisis keuangan 1998. Pasalnya, eks pemimpin
lembaga yang tidak berintegritas, tidak mungkin memberikan nasihat yang
berintegritas.
Terbukti, rekomendasi IMF untuk menerbitkan
obligasi rekap 670 triliun rupiah pada 1998, justru memiskinkan rakyat
Indonesia. Nasihat IMF itu sejalan dengan integritas mantan pemimpinnya,
yakni gemar berkolusi dengan oknum pejabat korup dan kroni yang dekat
pemerintahan, menciptakan oligarkhi serta kronisme. Sebaliknya, lembaga
internasional itu justru tidak memberikan peringatan kepada pemerintah
Indonesia, ketika terjadi kebijakan fatal, seperti impor pangan dan
otomotif yang menguras devisa, serta bubble properti yang berpotensi
memicu kredit macet sektor properti.
Tiga Sektor
Maruf
menambahkan akibat terbebani utang BLBI, anggaran negara tidak pernah
digunakan untuk membangun ekonomi kerakyatan. Akibatnya, Indonesia
sebagai negara agraris dan kaya raya sumber daya alam kini malah menjadi
importir pangan dengan nilai 12 miliar setahun.
Menurut dia,
perampok BLBI yang menjadi kroni dekat pemerintah selama ini membelenggu
perekonomian nasional melalui tiga sektor, yakni menyebabkan APBN
defisit untuk membayar utang, sektor impor pangan dan otomotif yang
menghabiskan devisa negara, dan spekulasi properti yang memicu bubble
properti.
“Kredit properti kini mencapai 700 triliun, padahal
jaminan asetnya hanya bernilai sekitar 200 triliun rupiah. Jadi sekitar
500 triliun rupiah potensi kredit macet properti mengancam. Semua ini
hanya bisa terjadi bila berkolusi dengan oknum pejabat dan pimpinan
bank," ungkap Maruf. (http://koran-jakarta.com) |
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar