Mei 12, 2015

Eksekusi Hak Tagih BLBI Sebelum RI Pailit

* Skandal Perbankan I IMF Tak Pernah Beri Peringatan pada Kebijakan Salah


Foto: ISTIMEWA
Skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan obligasi rekapitalisasi perbankan merupakan bukti kejahatan terhadap rakyat warisan Dana Moneter Internasional (IMF) yang berkolusi dengan oknum pejabat korup bersama kroni pemerintah. Obligor pengemplang BLBI justru tidak dikejar agar melunasi utangnya, tapi utang mereka malah dibebankan kepada ratusan juta rakyat Indonesia.

Untuk itu, pemerintahan Joko Widodo tidak perlu meneruskan warisan rekomendasi IMF yang tidak berintegritas karena eks pimpinannya terbukti tidak berintegritas. Jokowi dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus segera menuntaskan korupsi BLBI jika tidak ingin Indonesia pailit, yang hanya soal waktu. Jokowi dan KPK harus bertindak cepat mengeksekusi hak tagih BLBI kepada obligor yang belum melunasi utangnya.

Ancaman kebangkrutan Indonesia akibat utang BLBI terlihat dari membengkaknya utang negara mencapai 3.500 triliun rupiah saat ini, setelah 17 tahun negara terbebani oleh bunga-berbunga obligasi rekap sebesar 670 triliun rupiah pada 1998. Dan, dalam 10 tahun ke depan utang negara bakal mencapai 6.000 triliun rupiah. Ini adalah jumlah yang kemungkinan besar tidak terlunasi dan pasti menimbulkan kesulitan generasi mendatang.

Ekonom Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Achmad Maruf, mengemukakan rakyat Indonesia tidak mungkin harus terus-menerus menanggung utang perampok BLBI. Pemerintah dan KPK mesti segera menuntaskan kasus BLBI dengan melakukan eksekusi hak tagih dan moratorium pembayaran obligasi rekap.

"Ini (skandal BLBI) sangat memalukan karena si perampok BLBI justru dijadikan kroni dekat pemerintah. Kronisme ini yang menghancurkan negara, harus dihentikan. Jokowi diharapkan memenuhi janji kampanye kepada rakyat. Pelaksanaan kebijakan pro-rakyat adalah eksekusi hak tagih BLBI sebelum negara pailit," tegas Maruf ketika dihubungi, Senin (20/4).

Dihubungi terpisah, pengamat Anggaran dari Forum Transparansi Anggaran untuk Indonesia (Fitra), Yenny Sucipto, juga mendesak KPK untuk mempercepat eksekusi hak tagih BLBI. Yenny mngingatkan jangan sampai KPK terlambat atau baru bergerak setelah aset itu dialihkan ke luar negeri.

Dia mengkhawatirkan jika KPK lamban, bisa mempersulit pelacakan aset di negara lain. Apalagi yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi seperti Singapura, padahal para perampok BLBI itu umumnya sudah memiliki kewarganegaraan Singapura. "Tuntaskan kasus BLBI sebelum terlambat," tegas Yenny.

Sebelumnya dikabarkan, kasus pidana antara lain korupsi dan prostitusi, yang membelit dua mantan pimpinan IMF yakni Rodrigo Rato dan Dominique Strauss-Kahn semakin mempertegas rendahnya integritas pejabat dan lembaga keuangan internasional itu. Untuk itu, pemerintah Indonesia diharapkan jangan lagi mau memperlakukan IMF sama seperti saat memberikan resep penanganan krisis keuangan 1998. Pasalnya, eks pemimpin lembaga yang tidak berintegritas, tidak mungkin memberikan nasihat yang berintegritas.

Terbukti, rekomendasi IMF untuk menerbitkan obligasi rekap 670 triliun rupiah pada 1998, justru memiskinkan rakyat Indonesia. Nasihat IMF itu sejalan dengan integritas mantan pemimpinnya, yakni gemar berkolusi dengan oknum pejabat korup dan kroni yang dekat pemerintahan, menciptakan oligarkhi serta kronisme. Sebaliknya, lembaga internasional itu justru tidak memberikan peringatan kepada pemerintah Indonesia, ketika terjadi kebijakan fatal, seperti impor pangan dan otomotif yang menguras devisa, serta bubble properti yang berpotensi memicu kredit macet sektor properti.

Tiga Sektor


Maruf menambahkan akibat terbebani utang BLBI, anggaran negara tidak pernah digunakan untuk membangun ekonomi kerakyatan. Akibatnya, Indonesia sebagai negara agraris dan kaya raya sumber daya alam kini malah menjadi importir pangan dengan nilai 12 miliar setahun.

Menurut dia, perampok BLBI yang menjadi kroni dekat pemerintah selama ini membelenggu perekonomian nasional melalui tiga sektor, yakni menyebabkan APBN defisit untuk membayar utang, sektor impor pangan dan otomotif yang menghabiskan devisa negara, dan spekulasi properti yang memicu bubble properti.

“Kredit properti kini mencapai 700 triliun, padahal jaminan asetnya hanya bernilai sekitar 200 triliun rupiah. Jadi sekitar 500 triliun rupiah potensi kredit macet properti mengancam. Semua ini hanya bisa terjadi bila berkolusi dengan oknum pejabat dan pimpinan bank," ungkap Maruf. (http://www.koran-jakarta.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar