Januari 05, 2015

Terima Kasih Bung Petrus, Si Tito Kei Itu Sudah Dihabisi

Tulisan ini kurilis karena kebencianku yang mendalam terhadap The Kei Brothers, John Kei dan Tito Kei. Seringkali aku berdoa dalam hati semoga suatu saat nanti mereka ditembak mati sehingga bisa merasakan kepedihan deperti yang dialami oleh korban-korban kebrutalan mereka.
Dan kini doaku terjawab sudah. Si Tito Kei itu akhirnya dihabisi dengan sebutir timas panas yang menerjang bawah mata kanannya menembus belakang tengkorak batolk kepalanya.
Si Tito Kei ini adalah pentolannya The Kei Brothers. Dia berperan memegang komando dan eksekutor dilapangan. Kalau anda membandingkannya dengan sang kakak, si John Kei itu tak ada apa-apanya. Tito ini lebih sadis. Dia tak segan-segan memotong jari lawannya, membunuh manusia seperti halnya orang-orang menjagal Sapi di hari raya Kurban.
Tengok saja kasus pembunuhan sadis Direktor PT. Sanex Steel Indonesia, Tan Harry Tantono, perampasan kunci gembok toko ITC Cempaka Mas, Jakarta Pusat, penganiayaan terhadap warga Bekasi dengan senjata tajam, pemasangan plang besi ditanah milik orang lain di Buaran, Jakarta Timur, dan masih banyak lagi kasus-kasus kekerasan lainnya yang dilakukan the Kei Brothers itu dengan darah dingin.
Para bajingan itu bahkan pernah menganiaya Wartawan yang sedang meliput berita, memasuki rumah orang dengan kekerasan sehingga korban meninggal dunia karena shock, membacok orang sampai tewas di Bekasi dengan luka bacokan di leher, perut, dada, dan tangan.
Sepak terjang dan kiprah The Kei Brothers di dunia hitam mereka lakukan karena mereka punya kekuatan. The Kei Brothers punya anak buah yang setia serta backingan Aparat bermental keparat. Mereka bahkan pernah buat onar di depan kantor DPD PDI Perjuangan di Tebet, Jakarta Selatan terkait penagihan hutang terhadap salah seorang kader PDI Perjuangan di kantor itu. Manusia macam begini memang pantas dihabisi.
The Kei Brothers juga pernah terlibat dalam kasus perampasan Alfa Mart di Bekasi, menusuk supir truk sampai tewas di Pertigaan Alexindo, Bekasi. Mereka seringkali bikin onar di Diskotik-Diskotik di Jakarta, dan masih banyak lagi track record sepak terjang dunia hitam The Kei Brothers itu di ibukota negara ini.
Semua itu mereka lakukan demi uang. Penghasilan terbesar the Kei Brothers ini berasal dari bisnis kekerasan. Omzet mereka miliaran rupiah per bulan. Penghasilan dari bisnis kekerasan inilah yang menghidupi ratusan anak buah the Kei Brothers itu di ibukota negara ini.
Dulu aku banyak berkawan dengan kalangan Preman, bukan hanya dari kalangan orang Ambon, namun juga dari kalangan orang Flores di Kelapa Gading, Glodok, dan Pesing, Jakarta Barat. Mereka ini kalau berkawan solidaritasnya tinggi, tapi kalau masalah uang, biar kawan bisa jadi lawan. Antar sesama sodara pun bisa saling baku tikam.
Masih lekat dalam ingatan, The Kei Brothers ini pernah mengamuk di Diskotik Hailai, Jakarta Utara, tanpa sebab musabab yang jelas. Mereka juga bikin ribut di Night Club Blowfish, Jakarta Pusat, dan bentrok dengan geng Thalib Makarim, pentolan preman asal Ende Flores.
Dalam pertempuran mereka di Jalan Ampera, depan Pengadilan Tinggi negeri Jakarta Selatan, anak buah Thalib Makarim menembak dada Tito Kei sehingga hampir menembus jantungnya.
Untung saja saat itu TUHAN masih sayang par ale (istilah orang Ambon : TUHAN masih beri kesempatan hidup). Namun dengan jurus ngelesnya si Tito ini bilang dia punya jimat sehingga tak bisa mati kena peluru. Jurus ngeles ini dikemukakan Tito supaya musuh-musuhnya keder.
Sekarang makan itu omongan, dia tewas bersimbah darah dengan sebutir peluru yang menerjang mata kanannya dan menembus tengkorak belakang batok kepalanya.
Dengan tewasnya manusia sampah masyarakat itu, jelas sudah bahwa di atas langit masih ada langit. Jangan merasa hebat dulu. Jangan karena merasa punya banyak anak buah yang setia dan loyal, didukung Aparat yang bermental keparat, lalu para bajingan itu merasa seng ada lawan (istilah orang Ambon).
Dengan dieksekusinya manusia macam si Tito Kei ini, terjawab sudah kerinduan masyarakat yang selama ini merindukan sosok Petrus. To the point saja kita bicara blak-blakan disini, eksekusi Tito Kei ini bukan bagian dari pertikaian antar kelompok Preman.
Pola penembakan dari jarak dekat tentunya ada perencanaan yang matang, cermat, runut, dan akurat. Ini jelas-jelas eksekusi Petrus. Siapa juga yang berani mengeksekusi Tito Kei yang terkenal sadis itu, apalagi ini di markasnya, hanya berjarak beberapa meter dari rumahnya.
Melihat wajahnya Tito yang bengis saja orang sudah keder, apalagi nekat menghabisinya di markasnya sendiri. Itu namanya cari mampus. Yang jelas eksekusi ini dilakukan oleh orang terlatih bermental baja yang melakukannya dengan tenang, santai, dan penuh percaya diri. Tembakan yang dilepaskannya pun tepat sasaran dan mematikan, padahal tembakan tersebut dilepaskannya sambil berjalan.
Setelah mengeksekusi Tito, pelaku lalu balik badan dan berjalan seperti biasa seolah-olah tak terjadi apa-apa. Coba anda bayangkan, preman kelas capung tak akan mungkin berani melakukannya. Masyarakat sipil biasa belum tentu bisa melakukannya. Bahkan seorang Herkules pun belum tentu mampu melakukan eksekusi dengan tingkat kesulitan yang beresiko tinggi itu.
Penembak Tito Kei ini melakukannya dengan tenang dan penuh percaya diri karena bisa saja dia sudah mengantongi Surat Perintah dari sang atasan untuk melakukannya. Bilamana situasi tak kondusif dilapangan, serangan balik dari The Kei Brothers dan teman-temannya, sudah pasti akan ada pasukan siluman yang siap memback up nya secara siluman dilapangan. Plan A dan Plan B sudah barang tentu dipersiapkan dengan rapih dan matang.
Tak sembarang orang mampu melakukan eksekusi berbahaya ini. Pelaku memiliki nyali yang tinggi, ketenangan jiwa yang luar biasa, dan kecermatan yang mumpuni. One man one bullet, satu peluru satu nyawa.
Bahkan pemilik warung pun sengaja dihabisi untuk mengalihkan perhatian teman-temannya Tito Kei yang berada di TKP. Preman yang paling berani sekalipun tak akan mampu melakukan eksekusi itu. Kalaupun ada, itu namanya mau setor nyawa alias sudah bosan hidup.
Pelaku sangat lihai menentukan titik kelemahan Tito Kei, melakukan survei secara matang, mempelajari dengan seksama kebiasaan-kebiasaan dan schedule harian Tito, dan tingkat kesulitan lokasi pun sudah diperhitungkan dengan cermat.
Dia bisa menghitung waktu kapan dia muncul, dari mana dia muncul, jam berapa dan dilokasi mana harus melakukan eksekusi, dan bagaimana menghilangkan jejak.
Penembakan Tito Kei ini mengingatkan aku kepada sosok The Godfather yang Fenomenal itu, Don Vito Corleone, preman asal Sisilia yang paling ditakuti di United States of America. Strategi Don Vito Corleone untuk melumpuhkan lawan yang keras kepala yaitu dengan menghabisi orang yang paling diandalkan sang lawan.
Salah satu musuh Don Vito Corleone yang kepala batu akhirnya bertekuk lutut dihadapan Don Vito Corleone karena kepala anaknya sang musuh dipenggal lalu ditaruh disamping bantalnya ketika musuhnya itu lagi tidur nyenyak di malam hari.
Sama seperti perlakuan Don Vito Corleone kepada musuh-musuhnya, begitu pulak yang dilakukan sang eksekutor Tito Kei itu. Sang Eksekutor itu paham betul bahwa Tito Kei ini adalah andalannya John Kei, orang yang paling diandalkan dalam karirnya didunia persilatan perpremanan di Ibukota Metropolitan Jakarta.
Ibaratnya membunuh ular, kepalanya harus diremukkan dulu. Contohnya Hiroshima dan Nagasaki itu. Jika tak dihajar bom Atom oleh Amerika, bisa saja sampai saat ini Jepang masih menjajah dunia. Inilah kunci menaklukan lawan. Begitu pula menaklukan si John Kei itu. Satu-satunya cara untuk membuatnya tak berkutik, yaitu dengan menghabisi Tito Kei yang menjadi andalannya.
Dengan dihabisinya Tito Kei, secara mental dan psikologis, John Kei sudah lumpuh bertekuk lutut dan tak akan mampu bangkit lagi. Apalagi kakak kandung John Kei, Walterus Refra Kei, juga sudah terkapar tewas ketika terjadi bentrokan antar The Kei Brothers dan Geng Basri Sangaji. Siapa lagi yang diharapkan John Kei untuk membantunya di dunia persilatan perpremanan di Jakarta?
Siapapun pelakunya, marilah kita berterima kasih kepada kekuatan itu yang telah melaksanakan amanah rakyat. Kerinduan rakyat akan ketenangan hidup dari cengkraman-cengkraman preman yang malas bekerja dan sok kebal hukum akhirnya terjawab sudah. Terima kasih bung, terima kasih atas hadiah timah panas itu.
Salam operasi senyap.
(mawalu/http://sosok.kompasiana.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar