Januari 04, 2015

Sosok Algojo di Balik Jubah


 
Baju gamis longgar menjulur hingga lutut. Seluruh bagian kepala diselimuti jubah. Di bagian mata dan telinga ada kain terikat ke belakang. Hanya di matanya kain berlubang, sehingga sosok di balik jubah itu bisa melihat. Sepotong rotan yang panjangnya satu meter terhunus di tangan bersarung.

Cara berpakaian demikian disengaja agar sosok di balik jubah tidak dikenali oleh siapapun. Tugasnya, adalah mencambuk pelanggar syariat Islam di Aceh, yang dilakukan di hadapan orang ramai. Meski tak ada aturan resmi, biasanya digelar di halaman masjid utama di ibukota kabupaten yang ada di Aceh.
Enam tahun lebih telah berlalu sejak prosesi hukuman cambuk pertama dilaksanakan, tapi tak seorangpun tahu identitas algojo yang mengeksekusi cambuk. Publik di Aceh hanya tahu kalau mereka anggota Wilayatul Hisbah (WH) atau polisi syariah. Tugas utama mereka, mengawasi pelaksanaan syariat Islam yang diberlakukan di Aceh secara parsial sejak 2001.
Lelaki bertubuh atletis berusia 33 tahun itu tersenyum malu dan agak grogi saat ditanya sudah berapa kali menjadi eksekutor cambuk terhadap pelanggar syariat Islam di Aceh. Dia adalah seorang algojo yang pertama mengeksekusi pelanggar syariat. Sekedar diketahui, hukuman cambuk pertama dilakukan di Bireuen, 24 Juni 2005.
Sesekali dia menundukkan wajahnya. Demi tetap menjaga kerahasiaan karena ia masih diperintahkan menjadi eksekutor cambuk, lelaki yang telah menikah dan dikarunia seorang putra berusia dua tahun itu meminta hanya dituliskan inisial namanya saja, M.
Ditemui di sebuah tempat di Banda Aceh, M mengisahkan ketika pertama kali dia diminta menjadi algojo cambuk, enam tahun silam. Kala itu, dia anggota WH berstatus tenaga kontrak dan belum menikah. Usianya masih tergolong muda, tapi sudah diberikan “kepercayaan” jadi eksekutor pelanggar syariat.
Malam menjelang pelaksanaan eksekusi cambuk itu, M tak bisa nyenyak. Ia mengaku gundah karena takut terjadi kesalahan ketika mencambuk meski sebelumnya telah membaca semua aturan tatacara pelaksanaan hukuman cambuk. Dia juga telah dibriefing oleh jaksa tentang cara mengayun rotan. Namun, kegundahan  karena takut salah tak bisa ditepis.
Ribuan warga memadati halaman Masjid Agung Bireuen untuk melihat prosesi hukuman cambuk pertama digelar di Aceh. M yang telah mengenakan baju gamis dan jubah, di sebuah ruang tertutup dalam masjid usai salat Jumat, berjalan ke panggung berukuran 6 x 4 meter yang dihiasi umbul-umbul, dengan diapit dua orang jaksa.
“Waktu naik ke panggung, saya benar-benar grogi karena ribuan orang melihat ke arah saya. Pikiran saya terngiang-ngiang bagaimana kalau saya salah mencambuk, tak sesuai aturan. Bagaimana kalau sampai orang yang saya cambuk itu marah dan memukuli saya,” katanya.
Dalam kebingungan dan kegundahan, M terus memanjatkan doa agar diberi kekuatan oleh Allah, karena dia merasa yakin kalau tugasnya adalah bagian dari penegakan syariat Islam di bumi Serambi Mekkah. Dengan mantap, sesuai instruksi dan hitungan jaksa, M mengayun rotan ke punggung pelaku judi. Satu demi satu cambukan mendarat di punggung terhukum pelaku maisir sesuai putusan Mahkamah Syariah Bireuen. Tak terjadi kesalahan, seperti dikhawatirkan. Semua berjalan sesuai aturan.
Sejak itu, M semakin sering jadi eksekutor di sejumlah daerah dan tidak merasa canggung lagi. Tak kurang dari sembilan kali sudah ia menjadi algojo di beberapa daerah di Aceh.
M mengaku tidak ada seorang pun dalam keluarga besarnya yang tahu kalau dia seorang algojo cambuk. Malahan, orang tuanya sendiri tidak tahu kalau M adalah eksekutor pelanggar syariat. Kerahasiaan itu tetap terjaga.
“Tetapi, istri saya tahu karena pernah saya cerita. Tanggapannya biasa-biasa saja karena ini adalah bagian dari tugas saya sebagai seorang anggota WH,” kata M, yang tinggal di pinggiran Banda Aceh bersama istrinya dan buah hati mereka.
Apakah ada rasa kasihan ketika mencambuk orang? M mengaku tidak karena itu adalah tugas yang harus dilaksanakannya. Dia menyatakan mungkin akan muncul rasa kasihan kalau sampai harus mencambuk perempuan.
“Tapi saya belum pernah mencambuk perempuan. Mencambuk perempuan agak sulit karena terhukum dalam posisi duduk. Kalau tidak betul-betul mahir, bisa-bisa kena kepala,” katanya. “Namun, belum pernah terjadi orang yang kena kepala ketika dicambuk karena algojo adalah orang-orang pilihan dan terlatih.
Sama halnya dengan M, A yang seorang algojo juga tak punya rasa kasihan saat melesatkan rotan ke punggung terhukum cambuk. Pria berusia 41 tahun ini pernah sekali waktu mendaratkan cambuk di punggung perempuan yang berkhalwat (mesum). Tiga kali sudah A bertindak sebagai eksekutor hukuman cambuk di berbagai daerah di Aceh.
“Tugas saya melaksanakan hukuman sesuai syariat Islam yang berlaku di Aceh,” kata A, yang mengawali karirnya sebagai anggota WH kontrak. Ia kini pegawai negeri sipil di Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah (Satpol PP & WH).
Seperti M, ia juga minta identitasnya dirahasiakan karena bisa jadi ke depan akan diperintahkan untuk mencambuk pelanggar syariat lagi. Lelaki ini tidak mau bercerita panjang lebar tentang latar belakangnya. Ia hanya mengatakan dirinya jebolan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry, Banda Aceh, dan telah bergabung dengan WH sejak tahun 2003 sebagai tenaga kontrak, dengan honor waktu itu Rp.750.000.
Berulang kali, A mengatakan, sebagai algojo, ia hanya melaksanakan prosesi cambuk sesuai aturan yang telah ditetapkan. Di mata lelaki bertubuh kurus ini, pelanggar syariat sudah sepantasnya dihukum cambuk, setimpal dengan perbuatannya.
Sehari-hari, M dan A bertugas sebagai penyidik di Kantor Satpol PP dan WH Provinsi Aceh, jika ada pelanggar syariat Islam yang tertangkap dan harus diproses hukum. Bersama personel WH lain, mereka sering melakukan patroli dan razia untuk mengawasi pelaksanaan syariat Islam warga Kota Banda Aceh dan sekitarnya.
Mereka juga sering menggelar razia pakaian ketat di jalan-jalan utama di ibukota Provinsi Aceh. M dan A kerap merazia pelaku pelanggar syariat bersama anggota WH Banda Aceh pada malam, terutama setiap akhir pekan, di hotel-hotel dan café-café yang ada di Banda Aceh.
“Biasanya jika ada yang tertangkap, dinasihati agar tak mengulang perbuatan yang dilarang agama. Kita baru akan proses hukum apabila sudah beberapa kali tertangkap dan tak bisa dibina lagi,” kata Syarifuddin, Wakil Komandan WH. Ia juga sering ikut melakukan razia pada malam hari.
“Itu penyakit masyarakat yang harus diberantas dari bumi Aceh karena di sini telah diberlakukan syariat Islam. Kita mengharapkan supaya seluruh elemen masyarakat mendukung penerapan syariat Islam karena ini bukan hanya tugas WH yang jumlahnya masih kurang.”
Syarifuddin menjelaskan, jumlah personel WH di seluruh Aceh mencapai 1.250 orang. Sebagian besar mereka berstatus tenaga kontrak yang honornya berbeda antara satu kabupaten dengan kabupaten lain karena tergantung kemampuan keuangan daerah bersangkutan.
Proses rekrutmen anggota WH kontrak juga dilakukan masing-masing 23 kabupaten dan kota yang ada di Aceh. WH provinsi tidak bisa mengintervensi WH kabupaten/kota karena mereka memiliki otonomi tersendiri. Paling sebatas koordinasi dan WH Provinsi memberikan dukungan algojo kalau diminta oleh WH dari kabupaten/kota, terutama saat pelaksanaan hukuman cambuk yang pertama.
Honor anggota WH provinsi berstatus kontrak Rp 1,6 juta perbulan. “Kalau kinerjanya bagus dan baik, mereka akan diperpanjang setahun berikutnya. Tapi, kalau kinerja tak bagus, akan diputuskan kontraknya,” kata Syarifuddin seraya menambahkan, ada daerah membayar honor anggota WH Rp 800.000 sebulan, seperti Kabupaten Pidie.
Syarifuddin mengaku, tidak punya data pasti berapa jumlah warga Aceh yang telah dihukum cambuk. Dia memperkirakan jumlahnya sekitar 200-an orang. “Perlu diketahui bahwa banyak pelanggar syariat tidak dicambuk, tapi dinasihati dan dibina,” katanya.
Ketika ditanya kenapa dalam dua tahun terakhir tidak ada hukuman cambuk di ibukota Banda Aceh sementara pelanggaran tetap saja terjadi, M punya jawaban yang tak pasti. Ia coba menebak apa gerangan Banda Aceh tak lagi melaksanakan hukuman cambuk, sementara pelanggaran syariat masih saja terjadi.
“Mungkin apa karena ada unsur Visit Banda Aceh Year. Orang luar lihat Aceh ini ngeri, padahal situasinya biasa saja. Saya tidak tahu pasti apa alasannya di Banda Aceh tidak lagi dilaksanakan hukuman cambuk. Bisa juga karena tidak diproses di kejaksaan,” katanya.
Tak semua anggota WH diberi kesempatan jadi algojo. Mereka dipilih sesuai kriteria yang ditetapkan dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh Nomor 10/2005 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Hukuman Cambuk.
Marzuki M. Ali, Kepala Seksi Penyidikan dan Penindakan Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah (Satpol PP & WH) Aceh, menyatakan, algojo terpilih untuk mengeksekusi cambuk adalah orang kuat dari segi fisik dan mental.
“Tak mesti anggota yang berbadan tegap dan besar, tapi juga mental harus benar-benar kuat, karena menjadi algojo tentu akan ada beban psikologis,” kata Marzuki, yang pernah dua kali jadi algojo. “Secara pribadi, memang ada rasa kasihan. Tapi kita hanya melakukan tugas. Hukum harus ditegakkan.”
Alasan identitas dirahasiakan dan wajah mereka ditutup jubah adalah agar tidak ada balasan terhadap algojo dari terhukum cambuk. “Mungkin kalau tak ditutup seperti itu, tidak ada yang berani menjadi algojo karena identitas dan wajahnya akan dikenali,” ujar Marzuki.
Sama seperti hukuman terpidana umum lain, sebenarnya yang bertugas untuk mengeksekusi cambuk adalah jaksa, tapi meminta bantuan petugas WH. Hukuman cambuk juga dilaksanakan setelah ada putusan hukum tetap.
Sejauh ini, hanya terhadap pelanggar tiga Qanun saja yang dihukum cambuk yaitu tentang maisir, khalwat, dan minuman keras. Sedangkan, pelanggaran syariat Islam lainnya belum ada aturan.
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada September 2009 lalu, pernah mensahkan Qanun Jinayat. Isinya penyempurnaan qanun-qanun tentang syariat Islam yang telah ada dan sejumlah penambahan, termasuk hukuman rajam sampai mati terhadap pelaku zina yang telah menikah.
Tetapi, Qanun Jinayat tak kunjung ditandatangani Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf sehingga tidak bisa diimplementasikan. Alasannya, qanun itu disahkan sepihak oleh DPRA, tanpa ada persetujuan bersama antara legislatif dan eksekutif, terutama menyangkut hukuman rajam. Kalangan aktivis pembela hak asasi manusia (HAM) juga menentang hukuman rajam, sehingga Qanun Jinayat tak jelas nasibnya.
Selama ini, yang dicambuk terkesan hanya warga biasa. Sementara sejumlah kasus pelanggaran syariat Islam yang melibatkan pejabat, tak pernah dieksekusi cambuk. Contohnya, empat pejabat di Aceh Besar yang bermain judi, telah divonis masing-masing 11 kali cambuk oleh Mahkamah Syariah Jantho, Januari tahun lalu. Tetapi, hingga kini belum juga dicambuk karena mereka mengajukan banding ke Mahkamah Syariah Aceh.
“Umumnya warga yang divonis Mahkamah Syariah langsung menerima putusan majelis hakim karena tidak mau repot padahal mereka ada hak untuk banding ke Mahkamah Syariah provinsi atau kasasi ke Mahkamah Agung,” kata Marzuki.
“Yang membuat saya bingung adalah kritikan negatif selalu ditujukan pada WH padahal dalam penerapan syariat Islam di Aceh juga melibatkan polisi, jaksa dan hakim Mahkamah Syariah. Banyak juga kasus yang penyidikan ditangani oleh polisi, bukan oleh penyidik WH.”
Bagi M, klaim banyak kalangan bahwa hukum cambuk kejam dan berpotensi cacat permanen tak berdasar. Menurut dia, hukuman cambuk di Aceh bukan untuk menyakiti, tapi lebih untuk mempermalukan dan pembelajaran bagi masyarakat agar tidak melakukan perbuatan bertentangan dengan syariat Islam.
“Terhukum sengaja memakai baju putih agar ketahuan bila keluar darah. Sebab kalau sudah keluar darah, prosesi cambuk harus dihentikan. Jadi menurut saya, hukuman cambuk di Aceh cukup manusiawi,” katanya.
Marzuki menambahkan, algojo tak boleh emosional terhadap terhukum cambuk, tetapi melaksanakan sesuai standar baku. “Menurut saya, lebih tidak manusiawi kalau seseorang ditahan dalam penjara karena berdampak pada keluarga dia, sedangkan kalau dicambuk hanya beberapa menit saja selesai. Setelah itu dia menjadi manusia yang bebas merdeka,” katanya. “Tidak ada seorang pun yang cacat setelah dicambuk.”
Ketika sedang berlangsung eksekusi cambuk, sering terdengar teriakan warga supaya mencambuk lebih keras lagi. Tetapi, menurut M, seorang algojo tak boleh terpengaruh dengan teriakan itu karena dia harus melaksanakan sesuai aturan yang telah ditetapkan.
"Menjadi algojo, prinsip saya tidak benci dan tidak sayang kepada terpidana cambuk karena itu bagian dari tugas. Makanya, saya bisa melaksanakan cambuk sesuai aturan," kata pria yang kerap mengumbar senyum itu.[http://www.theacehglobe.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar