Baju gamis longgar menjulur
hingga lutut. Seluruh bagian kepala diselimuti jubah. Di bagian mata dan
telinga ada kain terikat ke belakang. Hanya di matanya kain berlubang, sehingga
sosok di balik jubah itu bisa melihat. Sepotong rotan yang panjangnya satu
meter terhunus di tangan bersarung.
Cara berpakaian demikian disengaja agar sosok
di balik jubah tidak dikenali oleh siapapun. Tugasnya, adalah mencambuk
pelanggar syariat Islam di Aceh, yang dilakukan di hadapan orang ramai. Meski
tak ada aturan resmi, biasanya digelar di halaman masjid utama di ibukota
kabupaten yang ada di Aceh.
Enam tahun lebih telah berlalu sejak prosesi
hukuman cambuk pertama dilaksanakan, tapi tak seorangpun tahu identitas algojo
yang mengeksekusi cambuk. Publik di Aceh hanya tahu kalau mereka anggota
Wilayatul Hisbah (WH) atau polisi syariah. Tugas utama mereka, mengawasi
pelaksanaan syariat Islam yang diberlakukan di Aceh secara parsial sejak 2001.
Lelaki bertubuh atletis berusia 33 tahun itu
tersenyum malu dan agak grogi saat ditanya sudah berapa kali menjadi eksekutor
cambuk terhadap pelanggar syariat Islam di Aceh. Dia adalah seorang algojo yang
pertama mengeksekusi pelanggar syariat. Sekedar diketahui, hukuman cambuk
pertama dilakukan di Bireuen, 24 Juni 2005.
Sesekali dia menundukkan wajahnya. Demi tetap
menjaga kerahasiaan karena ia masih diperintahkan menjadi eksekutor cambuk,
lelaki yang telah menikah dan dikarunia seorang putra berusia dua tahun itu
meminta hanya dituliskan inisial namanya saja, M.
Ditemui di sebuah tempat di Banda Aceh, M
mengisahkan ketika pertama kali dia diminta menjadi algojo cambuk, enam tahun
silam. Kala itu, dia anggota WH berstatus tenaga kontrak dan belum menikah.
Usianya masih tergolong muda, tapi sudah diberikan “kepercayaan” jadi eksekutor
pelanggar syariat.
Malam menjelang pelaksanaan eksekusi cambuk
itu, M tak bisa nyenyak. Ia mengaku gundah karena takut terjadi kesalahan ketika
mencambuk meski sebelumnya telah membaca semua aturan tatacara pelaksanaan
hukuman cambuk. Dia juga telah dibriefing oleh jaksa tentang cara
mengayun rotan. Namun, kegundahan karena
takut salah tak bisa ditepis.
Ribuan warga memadati halaman Masjid Agung
Bireuen untuk melihat prosesi hukuman cambuk pertama digelar di Aceh. M yang
telah mengenakan baju gamis dan jubah, di sebuah ruang tertutup dalam masjid usai
salat Jumat, berjalan ke panggung berukuran 6 x 4 meter yang dihiasi
umbul-umbul, dengan diapit dua orang jaksa.
“Waktu naik ke panggung, saya benar-benar
grogi karena ribuan orang melihat ke arah saya. Pikiran saya terngiang-ngiang
bagaimana kalau saya salah mencambuk, tak sesuai aturan. Bagaimana kalau sampai
orang yang saya cambuk itu marah dan memukuli saya,” katanya.
Dalam kebingungan dan kegundahan, M terus
memanjatkan doa agar diberi kekuatan oleh Allah, karena dia merasa yakin kalau
tugasnya adalah bagian dari penegakan syariat Islam di bumi Serambi Mekkah.
Dengan mantap, sesuai instruksi dan hitungan jaksa, M mengayun rotan ke
punggung pelaku judi. Satu demi satu cambukan mendarat di punggung terhukum
pelaku maisir sesuai putusan Mahkamah Syariah Bireuen. Tak terjadi kesalahan,
seperti dikhawatirkan. Semua berjalan sesuai aturan.
Sejak itu, M semakin sering jadi eksekutor di
sejumlah daerah dan tidak merasa canggung lagi. Tak kurang dari sembilan kali
sudah ia menjadi algojo di beberapa daerah di Aceh.
M mengaku tidak ada seorang pun dalam keluarga
besarnya yang tahu kalau dia seorang algojo cambuk. Malahan, orang tuanya
sendiri tidak tahu kalau M adalah eksekutor pelanggar syariat. Kerahasiaan itu
tetap terjaga.
“Tetapi, istri saya tahu karena pernah saya
cerita. Tanggapannya biasa-biasa saja karena ini adalah bagian dari tugas saya
sebagai seorang anggota WH,” kata M, yang tinggal di pinggiran Banda Aceh
bersama istrinya dan buah hati mereka.
Apakah ada rasa kasihan ketika mencambuk
orang? M mengaku tidak karena itu adalah tugas yang harus dilaksanakannya. Dia
menyatakan mungkin akan muncul rasa kasihan kalau sampai harus mencambuk
perempuan.
“Tapi saya belum pernah
mencambuk perempuan. Mencambuk perempuan agak sulit karena terhukum dalam
posisi duduk. Kalau tidak betul-betul mahir, bisa-bisa kena kepala,” katanya. “Namun,
belum pernah terjadi orang yang kena kepala ketika dicambuk karena algojo
adalah orang-orang pilihan dan terlatih.”
Sama halnya dengan M, A yang seorang algojo
juga tak punya rasa kasihan saat melesatkan rotan ke punggung terhukum cambuk.
Pria berusia 41 tahun ini pernah sekali waktu mendaratkan cambuk di punggung
perempuan yang berkhalwat (mesum). Tiga kali sudah A bertindak sebagai
eksekutor hukuman cambuk di berbagai daerah di Aceh.
“Tugas saya melaksanakan hukuman sesuai
syariat Islam yang berlaku di Aceh,” kata A, yang mengawali karirnya sebagai
anggota WH kontrak. Ia kini pegawai negeri sipil di Satuan Polisi Pamong Praja
dan Wilayatul Hisbah (Satpol PP & WH).
Seperti M, ia juga minta identitasnya
dirahasiakan karena bisa jadi ke depan akan diperintahkan untuk mencambuk
pelanggar syariat lagi. Lelaki ini tidak mau bercerita panjang lebar tentang
latar belakangnya. Ia hanya mengatakan dirinya jebolan Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Ar-Raniry, Banda Aceh, dan telah bergabung dengan WH sejak tahun
2003 sebagai tenaga kontrak, dengan honor waktu itu Rp.750.000.
Berulang kali, A mengatakan, sebagai algojo,
ia hanya melaksanakan prosesi cambuk sesuai aturan yang telah ditetapkan. Di
mata lelaki bertubuh kurus ini, pelanggar syariat sudah sepantasnya dihukum
cambuk, setimpal dengan perbuatannya.
Sehari-hari, M dan A bertugas sebagai penyidik
di Kantor Satpol PP dan WH Provinsi Aceh, jika ada pelanggar syariat Islam yang
tertangkap dan harus diproses hukum. Bersama personel WH lain, mereka sering
melakukan patroli dan razia untuk mengawasi pelaksanaan syariat Islam warga
Kota Banda Aceh dan sekitarnya.
Mereka juga sering menggelar razia pakaian
ketat di jalan-jalan utama di ibukota Provinsi Aceh. M dan A kerap merazia
pelaku pelanggar syariat bersama anggota WH Banda Aceh pada malam, terutama
setiap akhir pekan, di hotel-hotel dan café-café yang ada di Banda Aceh.
“Biasanya jika ada yang tertangkap, dinasihati
agar tak mengulang perbuatan yang dilarang agama. Kita baru akan proses hukum
apabila sudah beberapa kali tertangkap dan tak bisa dibina lagi,” kata
Syarifuddin, Wakil Komandan WH. Ia juga sering ikut melakukan razia pada malam
hari.
“Itu penyakit masyarakat yang harus diberantas
dari bumi Aceh karena di sini telah diberlakukan syariat Islam. Kita
mengharapkan supaya seluruh elemen masyarakat mendukung penerapan syariat Islam
karena ini bukan hanya tugas WH yang jumlahnya masih kurang.”
Syarifuddin menjelaskan, jumlah personel WH di
seluruh Aceh mencapai 1.250 orang. Sebagian besar mereka berstatus tenaga
kontrak yang honornya berbeda antara satu kabupaten dengan kabupaten lain
karena tergantung kemampuan keuangan daerah bersangkutan.
Proses rekrutmen anggota WH kontrak juga
dilakukan masing-masing 23 kabupaten dan kota yang ada di Aceh. WH provinsi
tidak bisa mengintervensi WH kabupaten/kota karena mereka memiliki otonomi tersendiri.
Paling sebatas koordinasi dan WH Provinsi memberikan dukungan algojo kalau
diminta oleh WH dari kabupaten/kota, terutama saat pelaksanaan hukuman cambuk
yang pertama.
Honor anggota WH provinsi berstatus kontrak Rp
1,6 juta perbulan. “Kalau kinerjanya bagus dan baik, mereka akan diperpanjang
setahun berikutnya. Tapi, kalau kinerja tak bagus, akan diputuskan kontraknya,”
kata Syarifuddin seraya menambahkan, ada daerah membayar honor anggota WH Rp
800.000 sebulan, seperti Kabupaten Pidie.
Syarifuddin mengaku, tidak punya data pasti
berapa jumlah warga Aceh yang telah dihukum cambuk. Dia memperkirakan jumlahnya
sekitar 200-an orang. “Perlu diketahui bahwa banyak pelanggar syariat tidak
dicambuk, tapi dinasihati dan dibina,” katanya.
Ketika ditanya kenapa dalam dua tahun terakhir
tidak ada hukuman cambuk di ibukota Banda Aceh sementara pelanggaran tetap saja
terjadi, M punya jawaban yang tak pasti. Ia coba menebak apa gerangan Banda
Aceh tak lagi melaksanakan hukuman cambuk, sementara pelanggaran syariat masih
saja terjadi.
“Mungkin apa karena ada
unsur Visit Banda Aceh Year. Orang luar lihat Aceh ini ngeri, padahal
situasinya biasa saja. Saya tidak tahu pasti apa alasannya di Banda Aceh tidak
lagi dilaksanakan hukuman cambuk. Bisa juga karena tidak diproses di kejaksaan,”
katanya.
Tak semua anggota WH diberi kesempatan jadi
algojo. Mereka dipilih sesuai kriteria yang ditetapkan dalam Peraturan Gubernur
(Pergub) Aceh Nomor 10/2005 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Hukuman Cambuk.
Marzuki M. Ali, Kepala Seksi Penyidikan dan
Penindakan Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah (Satpol PP & WH)
Aceh, menyatakan, algojo terpilih untuk mengeksekusi cambuk adalah orang kuat
dari segi fisik dan mental.
“Tak mesti anggota yang berbadan tegap dan
besar, tapi juga mental harus benar-benar kuat, karena menjadi algojo tentu
akan ada beban psikologis,” kata Marzuki, yang pernah dua kali jadi algojo. “Secara
pribadi, memang ada rasa kasihan. Tapi kita hanya melakukan tugas. Hukum harus
ditegakkan.”
Alasan identitas dirahasiakan dan wajah mereka
ditutup jubah adalah agar tidak ada balasan terhadap algojo dari terhukum
cambuk. “Mungkin kalau tak ditutup seperti itu, tidak ada yang berani menjadi
algojo karena identitas dan wajahnya akan dikenali,” ujar Marzuki.
Sama seperti hukuman terpidana umum lain,
sebenarnya yang bertugas untuk mengeksekusi cambuk adalah jaksa, tapi meminta
bantuan petugas WH. Hukuman cambuk juga dilaksanakan setelah ada putusan hukum
tetap.
Sejauh ini, hanya terhadap pelanggar tiga
Qanun saja yang dihukum cambuk yaitu tentang maisir, khalwat, dan minuman
keras. Sedangkan, pelanggaran syariat Islam lainnya belum ada aturan.
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada
September 2009 lalu, pernah mensahkan Qanun Jinayat. Isinya penyempurnaan
qanun-qanun tentang syariat Islam yang telah ada dan sejumlah penambahan,
termasuk hukuman rajam sampai mati terhadap pelaku zina yang telah menikah.
Tetapi, Qanun Jinayat tak kunjung
ditandatangani Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf sehingga tidak bisa
diimplementasikan. Alasannya, qanun itu disahkan sepihak oleh DPRA, tanpa ada
persetujuan bersama antara legislatif dan eksekutif, terutama menyangkut
hukuman rajam. Kalangan aktivis pembela hak asasi manusia (HAM) juga menentang
hukuman rajam, sehingga Qanun Jinayat tak jelas nasibnya.
Selama ini, yang dicambuk terkesan hanya warga
biasa. Sementara sejumlah kasus pelanggaran syariat Islam yang melibatkan
pejabat, tak pernah dieksekusi cambuk. Contohnya, empat pejabat di Aceh Besar
yang bermain judi, telah divonis masing-masing 11 kali cambuk oleh Mahkamah
Syariah Jantho, Januari tahun lalu. Tetapi, hingga kini belum juga dicambuk
karena mereka mengajukan banding ke Mahkamah Syariah Aceh.
“Umumnya warga yang divonis Mahkamah Syariah
langsung menerima putusan majelis hakim karena tidak mau repot padahal mereka
ada hak untuk banding ke Mahkamah Syariah provinsi atau kasasi ke Mahkamah
Agung,” kata Marzuki.
“Yang membuat saya bingung adalah kritikan
negatif selalu ditujukan pada WH padahal dalam penerapan syariat Islam di Aceh
juga melibatkan polisi, jaksa dan hakim Mahkamah Syariah. Banyak juga kasus
yang penyidikan ditangani oleh polisi, bukan oleh penyidik WH.”
Bagi M, klaim banyak kalangan bahwa hukum
cambuk kejam dan berpotensi cacat permanen tak berdasar. Menurut dia, hukuman
cambuk di Aceh bukan untuk menyakiti, tapi lebih untuk mempermalukan dan pembelajaran
bagi masyarakat agar tidak melakukan perbuatan bertentangan dengan syariat
Islam.
“Terhukum sengaja memakai baju putih agar
ketahuan bila keluar darah. Sebab kalau sudah keluar darah, prosesi cambuk
harus dihentikan. Jadi menurut saya, hukuman cambuk di Aceh cukup manusiawi,”
katanya.
Marzuki menambahkan, algojo tak boleh
emosional terhadap terhukum cambuk, tetapi melaksanakan sesuai standar baku. “Menurut
saya, lebih tidak manusiawi kalau seseorang ditahan dalam penjara karena
berdampak pada keluarga dia, sedangkan kalau dicambuk hanya beberapa menit saja
selesai. Setelah itu dia menjadi manusia yang bebas merdeka,” katanya. “Tidak
ada seorang pun yang cacat setelah dicambuk.”
Ketika sedang berlangsung eksekusi cambuk,
sering terdengar teriakan warga supaya mencambuk lebih keras lagi. Tetapi,
menurut M, seorang algojo tak boleh terpengaruh dengan teriakan itu karena dia
harus melaksanakan sesuai aturan yang telah ditetapkan.
"Menjadi algojo, prinsip saya tidak
benci dan tidak sayang kepada terpidana cambuk karena itu bagian dari
tugas. Makanya, saya bisa melaksanakan cambuk sesuai aturan," kata pria
yang kerap mengumbar senyum itu.[http://www.theacehglobe.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar